InspirasiOpini

Esai Niduparas Erlang: Pindah Rumah

 

biem.co – “Barang siapa memiliki tanah dia juga memiliki segala yang ada di atasnya sampai surga dan segala yang ada di bawahnya sampai pusat bumi,” kata Peter Butt. Tapi Butt belum pernah bertemu penduduk di dua belas desa di Rangkasbitung yang digusur-disingkirkan—direlokasi, kata pemerintah—demi pembangunan waduk Karian. Maka ia tak tahu, jelas tak tahu, bahwa di sini tanah hanyalah selapis tipis sedalam cangkul, yang meskipun telah menjadi hak milik secara legal-formal-bersertifikat, tapi tetap saja bawah tanah sampai kerak bumi dan terutama atas tanah sampai ke surga itu, dikuasai oleh negara.

 

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Segalanya atas nama “kepentingan umum” atau “peningkatan APBD/APBN” atau “pembangunan wilayah” dan hal-hal yang berpusar dalam libido-ekonomi semacam itu. Negara berhak mencabut hak atas tanah yang ditinggali, berhak meruntuhkan rumah-rumah yang meskipun sering sepi ditinggal berladang namun memerangkap kenangan pada dinding-dindingnya itu. Sebab pembangunan waduk Karian—sebagai salah satu pembangunan nasional yang telah direncanakan bertahun lalu—mesti terealisasi. Dan konon, pada bulan Juli 2015 mendatang, penggalian pondasi sebagai tahap awal pembangunannya (ground bracking) akan segera dimulai, dan diresmikan oleh Presiden Jokowi.

 

Ah, pembangunan waduk Karian itu—entah waduk keberapa yang dibangun di negeri ini—sebagaimana waduk-waduk lain di kota-kota lain, di negara-negara lain, melulu diproyeksikan sebagai salah satu pengendali banjir, pengairan irigasi, persediaan air baku, pembangkit listrik, dan kerap dinilai akan memiliki berdampak positif, maslahat, bagi peningkatan sosial-ekonomi masyarakat-yang-banyak. Dalam hal ini, masyarakat-yang-banyak kerap merujuk pada mereka yang notabene hidup di kota-kota yang gaduh-riuh, dan bukan di kampung-kampung yang tenang-bersahaja, kampung-kampung yang digusur itu.

 

Belum lagi, mimpi tentang datangnya para investor yang akan membuka usaha-usaha di atas atau di sekitar waduk itu—sebagaimana terjadi pula di waduk-waduk lain di kota-kota lain—, membayang jelas-tegas di depan mata. Barangkali, memang, dua belas desa yang melingkung sekian kampung dan sekian rumah yang akan ditenggelamkan itu, rumah-rumah sederhana yang dihuni masyarakat-yang-sedikit itu, memang tak pernah berbanding lurus dengan tiga atau empat kota yang akan menerima “manfaat” dari keberadaan waduk itu. Namun, ke manakah mereka, masyarakat-yang-sedikit itu, akan berpindah rumah?

 

Saya membayangkan, para penduduk itu mengemasi segala benda yang bisa dibawa, melipat segala kenangan yang masih mendekam dalam ingatan, dan bergerak lunglai meninggalkan kampung halaman. Mereka berpindah rumah ke kampung lain dalam keriuhan yang sunyi. Mungkin, sembari melangkah meninggalkan kampung halaman itu, sesekali mereka menoleh ke belakang, melongok kenangan yang tertinggal sambil menyeka air mata yang tak tertahan. Dalam pada itu, tiba-tiba saya jadi teringat “Syair Pindah Rumah”-nya Agus R. Sarjono: Sambil mengemasi barang-barang dan kenangan, berapa kali/ sebenarnya kita sanggup pindah rumah, mengubah alamat/ dan tempat pulang?…. Di saat-saat begini/ aku ingin tiduran saja di atas gumpalan awan/ atau dadamu, sambil menukar-nukar peta di cakrawala/ membayangkan sebuah rumah lain tempat kita/ tak bakal berpindah dan terusir/ selamanya.

 

Duhai, kampung halaman yang akan ditenggelamkan! Dan ikan-ikan di sungai-sungai yang akan tergantikan! Lalu, segala keriangan di beranda rumah—bekas beranda rumah itu—lambat-laun akan dilupakan.

 

Dan kelak, 20 atau 30 tahun yang akan datang, seseorang hanya akan mengenangnya lamat-lamat bahwa di dasar waduk itu, di dalam setumpuk lumpur yang mengendap itu, ia pernah bermain riang-ceria di halaman yang saban pagi disapu Ibu, bermain dengan kawan-kawannya di bawah matahari pagi, atau mengenangkan sebuah makam moyangnya yang tak pernah lagi diziarahi. Mungkin, seseorang itu akan bernostalgia dengan sungai yang telah hilang yang riak-jeramnya dulu pernah mengajarinya berenang, atau mengenangkan jembatan gantung yang merapuh dan sempat ambrol itu: jembatan yang saban pagi dilalui—meskipun sembari bergelantungan—ketika mereka hendak menuju sekolah; jembatan yang perbaikannya dinilai bakal sia-sia karena akan ditenggelamkan juga. Mungkin akan terbayang juga dalam benaknya satu-dua jenis ikan sungai yang telah hilang. Namun, segala kenangan itu, hanyalah kenangan yang lamat-lamat saja terbesit dalam pikiran, sebab segala yang mampu dikenangnya telah terkubur endapan lumpur.

 

Dalam jangka waktu 20 sampai 30 tahun itu, mungkin kita bisa memprediksi seberapa tebal endapan lumpur di dasar waduk itu, dan ke manakah sedimentasi itu akan disingkirkan? Saya pikir, hal semacam ini mesti kita canangkan sedari mula. Sebab, bukankah kita punya kenangan yang memedihkan mata terkait jebolnya tanggul Situ Gintung pada 2009 lalu? Dan sementara ini, saya baru sekadar mendengar bahwa bupati Purwakarta, dua tahun lalu, dilanda kebingungan untuk membuang lumpur yang mengendap di dasar waduk Jatiluhur. Sidementasi yang tak pernah ditangani semenjak waduk Jatiluhur dibangun pada 1957 itu, terus menebal. Bahkan, pada tahun 2013 itu, ribuan ikan yang dibudidaya dalam keramba-keramba apung di sana, mati terkapar akibat fenomena upwelling—perubahan arus bawah air yang mengakibatkan terangkatnya endapan lumpur ke permukaan. Dan konon, jika sedimentasi waduk Jatiluhur tak segera ditangai, dan endatan lumpur itu terus meninggi, turbin-turbin yang dipasang sebagai penghasil listrik itu dapat saja terganggu, macet, dan akhirnya meledak. Dan jika waduk itu jebol akibat ledakan turbin, konon, hanya dalam waktu 15 menit saja, berpiluh ribu kubik air yang menggenang tenang itu akan merendam Ibu Kota Jakarta.

 

Waduk Jatiluhur itu, memang, telah berusia hampir 60 tahun. Telah cukup renta jika dibandingkan dengan usia manusia. Dan barangkali memang tak sebanding dengan waduk Karian baru saja hendak dilahirkan. Tapi, bukankah kita mesti mengantisipasi sedimentasi waduk Karian dari jauh hari? Di samping itu, kita mesti juga memikirkan kemungkinan tercemarnya air waduk, kemungkinan rusaknya kualitas air karena terlampau lama menggenang, kemungkinan rusaknya tanah di sekitar waduk, punahnya ikan-ikan di sungai-sungai, suburnya perkembangbiakan nyamuk malaria, dan sebagainya dan seterusnya.

 

Namun, saya membayangkan, sebagian penduduk yang digusur itu, akan memilih tinggal dan berumah tak jauh dari waduk Karian. Barangkali, sebagian dari mereka akan dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan itu. Barangkali mereka akan beralih profesi menjadi penangkar ikan-ikan yang diperangkap dalam keramba-keramba apung, atau mengelola tempat-tempat pariwisata di sekitar waduk itu. Barangkali, kelak mereka menjadi pengusaha-pengusaha yang sukses, dan waduk itu tak hanya maslahat bagi masyarakat-yang-banyak di kota-kota, tapi sungguh-sungguh bermanfaat bagi masyarakat-yang-sedikit yang digusur itu. Sementara kebutuhan air dan listrik di Banten dan Jakarta benar-benar tertangani dengan baik. Semoga begitu….

 

Hanya saja, saya juga membayangkan, sebagian penduduk tak mampu beradaptasi. Penduduk yang digusur dan berpindah rumah itu, barangkali akan merasakan bahwa tanah garapan di “kampung halaman yang baru” tak sesubur tanah garapan yang telah ditenggelamkan. Dan kebutuhan air bersih bagi mereka tak lagi memadai karena prioritas waduk adalah kebutuhan air di kota-kota. Sementara penduduk di sekitar waduk yang tanahnya tak termasuk sebagai tanah yang digusur, boleh jadi akan mengalami nasib lebih buruk daripada mereka yang digusur itu. Yang terakhir ini, tentu saja tak menerima kompensasi apa pun karena tanahnya tak ditenggelamkan. Dan mungkin saja, jarak tempuh antara rumah dan ladang atau sawah mereka akan semakin jauh karena terhalang waduk yang terbentang lebih dari 2.000 hektare itu.

 

Lantas, masihkah kita bisa “memiliki” surga di atas tanah kita? Atau kita malah rikuh, membayangkan sebuah rumah lain tempat kita tak bakal berpindah dan terusir selamanya? [*]


Niduparas Erlang lahir tahun 1986 di Serang, Banten. Produktif menulis prosa dan telah memenangi beberapa lomba penulisan cerita pendek dan esai tingkat nasional. Bukunya, La Rangku mendapat penghargaan sebagai kumpulan cerita pendek terbaik di Festival Seni Surabaya 2011. Sementara kumpulan cerpen keduanya berjudul Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar direncanakan terbit tahun ini.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button