CerpenInspirasi

Serial Ramadhan: 30 Hari Menafsir Kehidupan (Bagian 5)

Episode Sabar Adalah Benteng

 

Kisah sebelumya, baca di sini!

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

 

DARI ZAMAN SEKOLAH Adi adalah seorang pecandu buku. Kebiasaan itu terus melekat pada dirinya hingga masa kuliah, lalu menikah dengan Wardah, dan sampai saat ini. Di rumahnya, tersedia ruang khusus tempatnya menata berbagai koleksi buku—barangkali itu adalah perpustakaan pribadi miliknya. Masa libur selama Ramadhan dimanfaatkannya untuk membaca buku-buku agama, salah satunya tentang hakikat puasa.

 

Telah ratusan judul buku khatam dibacanya. Dan kebiasaan Adi dari dulu, setiap selesai membaca satu buku, dirinya akan mendiskusikannya dengan orang lain, karena Adi adalah orang percaya bahwa ilmu yang dia dapat akan bertambah-tambah ketika dibagikannya kepada orang lain.

 

“Dalam beberapa literatur keagamaan disebutkan bahwa puasa adalah separuh dari sabar, dan sabar adalah separuh dari iman. Mengapa demikian? Karena rasa sabar yang membedakan manusia dengan hewan dalam menjaga hawa nafsunya,” ujarnya di suatu sudut petang selepas shalat Asar.

 

“Coba saja bayangkan bagaimana mana hewan ketika nafsu syahwatnya datang? Tanpa peduli terhadap lingkungan atau menunggu faktor-faktor lain, ia langsung melampiaskan dengan ‘korbannya’ baik untuk nafsu seksual maupun rasa laparnya,” lanjutnya.

 

Fandi, teman diskusinya yang juga satu organisasi sosial kemasyarakatan dengan Adi di kota tempat tinggal mereka, mangut-mangut.

 

“Memang betul, ya, bahwa kesabaran merupakan benteng bagi kita untuk menghadapi berbagai cobaan dan godaan hidup dari harta, tahta, dan jabatan,” lanjut Adi.

 

Fandi masih khidmat menyimak perkataan Adi. Sebagai teman, dari tadi dirinya lebih banyak menyimak. Terlihat dari tatap matanya yang berbinar, dan kepalanya yang menganguk-angguk, pertanda Fandi setuju dengan apa yang disampaikan Adi.

 

“Berbagai hiruk-pikuk dan keriuhan yang muncul dalam pemberitaan di media massa, sebagian besar diakibatkan oleh kurang sabarnya manusia dalam mencapai keinginanannya, Fan.”

 

“Maksudnya, Bang?” sisi keingintahuan Fandi mulai tergelitik. Dirinya penasaran tentang hubungan antara pemberitaan di media dengan persoalan sabar.

 

“Maksud yang mana?” timpal Adi. Matanya disipitkan, kurang paham dengan pertanyaan Fandi.

 

“Itu, lho, maksud Abang bahwa keriuhan yang muncul berhubungan dengan sabar.”

 

“Ooh, maksudnya, mengapa orang membegal, melakukan korupsi, memperkosa, membunuh, menajadi penyelundup, hingga menyuap untuk masuk sekolah favorit, itu semua terjadi karena kurangnya rasa sabar,” jelas Adi berusaha mengurai penjelasannya.

 

Kening Fandi mengernyit. Sekali lagi dia bertanya, “Maksudnya, Bang?” Diperbaiki posisi duduknya. Sebab, perbicaraannya kali ini mulai memasuki bagian yang perlu konsentrasi untuk menyimak.

 

“Waduuh, Faan, kamu ini kok susah paham, sih? Semalam nggak sahur, ya?”  seloroh Adi sembari menepuk-nepuk pahanya.

 

Yang ditanya jadi kikuk. Menggaruk-garuk kepalanya yang sejatinya tidak gatal. “Hehehe. Nggaklah, Bang, cuma saya masih belum bisa mencari benang merah antara rasa sabar dengan kasus-kasus yang Abang sebutkan itu,” kilah Fandi.

 

Adi menarik napas panjang. Matanya mengerjap beberapa kali, pertanda dirinya mulai tertarik dengan diskusinya dengan Fandi.

 

“Jadi begini, Fan,” ujarnya, “apa motif orang membegal, korupsi, menerima suap? Apakah karena hobi atau karena urusan harta?”  tanya Adi, sengaja mencipta sedikit jeda untuk Fandi memikirkan jawaban dari pertanyaanya.

 

Bola mata Fandi berputar-putar. Ke kiri dan ke kanan. “Ya, pastinya karena mencari uang atau hartalah, Bang, itu sudah jelas,” jawabnya.

 

“Nah, itu kamu tahu. Itu artinya mereka ingin cepat mendapat uang dengan cara pintas, padahal uang itu bisa didapat dengan cari lain tanpa harus melakukan perbuatan kriminal begitu,” jelas Adi. “Itu tandanya mereka tidak sabar untuk mendapat rezeki dengan cari yang halal,” tambahnya.

 

“Benar juga, sih, Bang, tapi kalau orang membegal mungkin karena dia tidak tahu cara lain untuk mendapatkan uang karena mereka kurang berpendidikan, lain soal dengan para koruptor dan penerima suap karena mereka rata rata orang yang memiliki pendidikan tinggi.” 

 

“Hmmm, betul juga, ya. Mungkin mereka tidak sabar untuk menjalani pendidikan ketika di SD atau SMP atau SMA. Atau sering bolos. Sehingga akhirnya tidak memiliki wawasan atau keterampilan lain, akhirnya memilihi jalan pintas untuk memiliki uang.” kilah Adi sambil mencari jawaban lain dalam benaknya.

 

“Ya, justru karena mereka berasal dari keluarga tidak mampu, sehingga tidak bisa bersekolah secara normal, Bang,” jawab Fandi, dengan nada gembira karena Adi tampak kebingungan dengan jawababnya sendiri.

 

“Nahhh!” teriak Adi seolah pikirannya telah menemukan argumen yang tepat. “Itu dia benang merahnya, mereka tidak bisa menikmati sekolah murah akibat dari perilaku para koruptor dan penerima suap untuk dunia pendidikan,”  terang Adi seraya menarik napas lebih dalam, karena terlalu bersemangat.

 

“Coba bayangkan, gara-gara perilaku korup para penyelenggara negara, jumlah bangunan sekolah menjadi berkurang daripada target yang dibutuhkan untuk anak-anak kita bisa bersekolah semua. Padahal sudah sangat jelas amanah pembukaan UUD 45 bahwa salah satu tujuan bernegara adalah mencerdaskan kehidupan masyarakat,” jelas Adi panjang lebar. Keluar juga keilmuan yang dimilikinya sebagai pengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

 

“Jadi, akibat para koruptor tidak sabar untuk cepat menjadi kaya, ini berimbas kepada buruknya dunia pendidikan yang menyebabkan anak-anak kita hilang kesempatan untuk mendapatkan ilmu. Akibat dari mereka berpikiran pendek untuk mencari uang dengan cara apapun,” tambah Adi dengan argumen yang dipaksakan untuk mencari hubungan antara kasus-kasus yang terjadi dan kaitannya dengan rasa sabar.

 

Fandi mengelur-ngelus jenggot tipis di dagunya. “Hmmm… kalau di pas-pas-in, sih, nyambung juga, tuh, Bang,” ucap Fandi sambil manggut-manggut, pertanda mulai paham maksud ucapan Adi.

 

Adi menerawang. Perjalanan hidup Tirta, sahabatnya yang saat ini mendekam di penjara akibat kurang sabar dalam menjalani kehidupan, singgah di pikirannya. Padahal ketika semasa sekolah dan kuliah dulu, Tirta dikenal sangat sabar menghadapai keadaan ekonomi keluarganya yang sangat kekurangan, hingga ia bisa menjadi sarjana dan mengantarnya sebagai anggota DPRD di kota tempat Adi, Fandi dan Tirta tinggal.

Langit mulai kuning gading. Cahaya merah terbentang di ufuk barat. Di langit tampak gerombolan burung pulang ke sarang. Cericitnya sampai ke pohon mangga di halaman rumah Adi, di sanalah beberapa burung itu bersarang. Puji-pujian Rasul pun mulai menggema dari toa masjid dan musala yang dilantunkan dengan riang oleh bocah-bocah. Tidak terasa, hampir dua jam kedua sahabat itu berdiskusi perihal sabar. Fandi melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

 

“Wah, sudah pukul 5 lewat, Bang. Saya pulang dulu, ya. Obrolan sore ini sangat bermanfaat buat saya. Kapan-kapan kita sambung lagi,” ujar Fandi sembari bangkit dari duduknya.

 

“Hehehe. Moga mengingatkan kita untuk mempertebal benteng sabar, ya. Udah, buka di sini aja. Kebetulan tadi istri saya bikin kolak pisang, tuh,” sambung Adi berbasa-basi.

 

“Hehehe, terima kasih banget, Bang. Kebetulan istri juga udah nge-WhatsApp, nih. Udah ditunggin di rumah. Saya pamit, ya, assalamualaikum….”

 

Waalaikumsalam… salam buat keluargamu di rumah,” Adi menjabat tangan dan salam Fandi.

(Bersambung)


Penulis: Boyke Pribadi

Editor: Setiawan Chogah

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button