InspirasiOpini

Esai Niduparas Erlang: Badak-Badak-Badak-Badak

biem.co — Seekor badak tersesat ke tengah kota dan mampir di halaman rumah saya. Sebagai seorang lulusan tiga pintu (pintu rumah, pintu sekolah, dan pintu kantor) yang tak banyak peduli dengan isu-isu lingkungan, kelestarian, apalagi politik, tentu saja saya terperangah setengah maut dengan mata terpicing tak percaya. Bukankah badak selalu langka? Ngapain ia main-main ke tengah kota? Atau barangkali, saya hanya tahu bahwa badak adalah binatang langka karena badak memang selalu langka, sebagaimana diajarkan guru SD kita.

Tidak, dulu badak tidak langka. Dulu jumlahnya “berlimpah”, kata seseorang yang tiba-tiba menyeruak dari halaman sebuah buku usang. Ah, bukankah kita hanya menemukan “dulu” di dalam buku-buku, di dalam catatan-catatan itu? Seperti catatan-catatan Alfred Russel Wallace, seorang ahli taksonomi asal Inggris, ketika mengunjungi Nusantara pada 1854-1862, misalnya. Dalam salah satu catatannya dalam buku The Malay Archipelago itu, memang, Wallace menulis seperti ini: “Badak Sumatera jumlahnya masih banyak. Saya seringkali menemukan jejak dan kotoran badak. Sesekali ia membuat kegaduhan di hutan ketika sedang mencari makan. Saya pun hanya bisa mengamatinya sementara, di balik lebatnya hutan. Saya berhasil menemukan tengkorak badak yang cukup bagus dan beberapa gigi yang ditemukan penduduk setempat.”

Tapi “dulu” tak pernah sama dengan “kini”. Sebab dalam “kini” kita hanya menemukan yang di sini, sementara “dulu” tak pernah terjangkau secara kasat mata—tak pernah di sini. Agaknya, menemukan yang “dulu” memang melulu perlu imajinasi dan persepsi. Apalagi, jumlah yang banyak di lampau waktu itu, kini hanya berupa deret angka-angka, yang semakin ke sini semakin mendekati langka, mendekati tiada. Dan catatan-catatan Wallace itu, kini, agaknya tak lebih dari sekadar nostalgia. Mungkin sebuah nostalgia yang tak begitu menyenangkan karena mengenangkan badak lewat jejak dan kotoran.

Barangkali, pada mulanya bukan langka. Tapi kerakusan yang diukur-timbang oleh pasar, oleh permintaan, oleh obsesi keperkasaan. Maka badak pun diburu sedemikian rupa demi seonggok cula, yang dimaknai para penggila keperkasaan dalam bercinta sebagai lingga. Dalam hal ini, mitos pun mengukuhkan perannya, memperdaya sebagian orang yang ingin seperkasa badak tapi enggan bermetamorfosis menjadi badak, berkulit tebal-kaku-berlipat-lipat, dan gemar berkubang lumpur. Ah, bahkan, agaknya tak ada di antara kita yang sudi disebut “si muka badak”?

Dan kini, kita hanya dapat menemukan badak-yang-bukan-badak. Sebab badak-yang-sebenarnya-badak bahkan tak pernah bisa kita temui di wahana sirkus sebagaimana gajah atau harimau atau singa. Dan kelak, barangkali, kita hanya tahu tentang badak dari seonggok patung badak bercat putih di gerbang Yonif 320, atau patung badak di alun-alun Pandeglang itu. Hem, itu pun jika patung-patung badak tersebut tidak dikira berhala oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama dan menuntut penghancurannya—sebagaimana pernah mendera nasib patung-patung di Kota Serang beberapa tahun lampau. Atau yang lebih menggelikan lagi, kelak kita hanya mengenali badak dari patung-badak-kayu yang begitu kerdil dengan tubuh bermotif batik yang sekadar menjadi suvenir.

Duhai, sembari memikirkan badak, si muka badak, dan patung badak itu, saya teringat prosa liriknya F. Rahardi yang bertajuk Negeri Badak. Dalam salah satu bagiannya ada tertulis begini: badak/ kapankah kalian bersedia/ masuk ke lab/ untuk menjalani kloning massal/ hingga cula-cula itu/ bisa diproduksi/ dengan biaya murah/ dalam jumlah tak terbatas?

Masih sembari memandangi badak di halaman rumah saya yang kini tampak siaga, saya jadi membayangkan suatu kloning massal atau semacam rekayasa genetik terhadap badak-badak seperti dalam film-film Hollywood. Sejumlah badak Jawa (rhinoceros sondaicus) dari Taman Nasional Ujung Kulon itu, antre ke laboratorium untuk dikloning hingga jumlahnya yang kini tak lebih dari 50 ekor—atau mungkin kurang?—kelak akan berlipat-berganda. Dan sejumlah badak Sumatera (dicerorhinus sumatrensis) dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, yang pada 2013 lalu telah dinyatakan punah di habitat aslinya di Semenanjung Malaysia, Sabah, Serawak, dan Kerinci Seblat itu, sebagiannya dapat kembali lagi ke sana, ke habitatnya semula. Jika ini berhasil, saya rasa, dunia kedokteran akan tersenyum karena kontribusinya kepada badak dan para aktivis konservasi akan sumringah penuh syukur. Dan anak-anak kita, generasi-generasi mendatang, tak lagi sekadar bernostalgia dengan catatan-catatan usang, tapi dapat dengan mudah menemukan kotoran dan jejak badak di banyak tempat. Betapa, kotoran dan jejak saja dapat begitu menggembirakan kita?

Hanya saja, bayangan itu lekas buyar awur-awuran ketika sebuah pertanyaan mampir begitu saja: bagaimana jika kloning badak ternyata lebih lambat ketimbang gesitnya para penggila cula?

Duh, badak. Bapak badak, ibu badak, anak badak, mengapa mitos yang memperdaya manusia itu melekat pada cula? Sebab manusia lebih percaya mitos yang dikira menguntungkannya, menyugesti semestanya, dan lebih gila daripada badak gila, kata badak yang masih betah main-main di halaman rumah. Saya terhenyak lagi. Memang, memang, manusia sering gila! Sebagian mengolah tubuhnya sedemikian rupa agar gagah-kekar-perkasa, sekalipun mereka tahu tak mungkin dapat meringkus banteng tanpa senjata. Sebagian lagi berlatih menggerakkan kaki dan berlari, sekalipun mereka paham belaka tak mungkin mengalahkan cheetah. Namun, tampaknya, kedua hal itu masih bisa dianggap wajar sebab mereka tak memburu banteng untuk memakan tanduknya agar gagah-kekar-perkasa, atau memburu cheetah untuk memakan belangnya atau taringnya agar gegas-lekas-tangkas. Tapi mereka yang tergila-gila pada mitos keperkasaan dalam bercinta, entah mengapa malah memakan cula.

Barangkali, yang terakhir ini adalah mereka yang terlampau mengimani adagium “kau adalah apa yang kau makan”, dan memaknainya secara serampangan. Padahal mereka tahu belaka bahwa mereka tak mungkin bisa melayang sekalipun memakan capung atau burung atau kumbang.

Di kejauhan, terdengar huru-hara dan suara gaduh bergemuruh. Seperti suara banyak kaki yang menghendak-berlari. Debu bergelung-gelung, membumbung. Semakin lama semakin gaduh. Badak. Dua, lima, tujuh, sepuluh, lima puluh, seratus, mungkin seribu. Banyak. Badak-badak berlarian. Cula satu cula dua. Orang-orang panik dan berlarian lintang-pukang sembari berteriak ketakutan. Dan seekor badak yang tadi mampir di halaman rumah saya telah hilang, mungkin bergabung dengan badak-badak yang berlarian, menyeruduk apa saja. Lalu, di televisi hanya ada badak. Di radio terdengar suara badak-badak. Di kantor polisi, di gedung-gedung pemerintahan, di kampus, di kantor imigrasi, manusia-manusia bermetamorfosis juga menjadi badak. Menjadi masyarakat badak!

Saya kembali terperangah. Sendirian. Dan, Eugene Ionesco, penulis absurd itu, membayang dan menyeringai di balik kesiur angin yang merontokkan selembar daun di halaman. Tiba-tiba, saya mendapati diri saya tengah berdoa sembari berharap menjadi Berenger dalam lakon Rhinoceros itu. [*] 


Niduparas Erlang lahir tahun 1986 di Serang, Banten. Produktif menulis prosa dan telah memenangi beberapa lomba penulisan cerita pendek dan esai tingkat nasional. Bukunya, La Rangku mendapat penghargaan sebagai kumpulan cerita pendek terbaik di Festival Seni Surabaya 2011. Sementara kumpulan cerpen keduanya berjudul Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar direncanakan terbit tahun ini.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button