CerpenInspirasi

Cerpen Hardi Rahman: Ihwal Lelaki yang Menangis

 

biem.co – Tepat sebelum matahari tenggelam, Jimmy telah sampai di rumah setelah menghabiskan waktu seharian di kantor, rutinitas biasa dari Senin sampai Jumat. Semburat jingga melesat menyinari separuh rumahnya yang tepat menghadap ke barat. Ketika ia hendak membuka pintu, tubuhnya menyala berwarna jingga dengan siluet yang membentur dinding dan jendela. Ia melihat bayang-bayangnya sendiri, sekilas dan segera masuk ke dalam rumah.

 

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Tas berukuran sedang ia letakkan di samping rak sepatu, kemudian ia melepas sepatunya. Sepasang sepatu wanita mengisi sela kosong di sana, Ann, istrinya telah pulang lebih dulu. Ia tersenyum walau terasa hambar, kemudian melangkah masuk tanpa mengucapkan sepatah kata.

 

Ia berjalan dan membuka kamar. Tidak didapati sosok Ann di sana. Kemudian ia melangkah ke belakang. Dinyalakannya keran air, ia pun membasuh wajah lelah yang penuh peluh. Cermin berbentuk oval memunculkan wajah tirusnya. Di usianya yang belum genap kepala tiga, ia merasa lebih tua dari rekan seusianya. Ditepuk-tepuk pipinya beberapa kali lantas berkedip dan melangkah terus ke belakang.

 

Di ruang tamu, letaknya sebelum dapur, ia melihat Ann sedang duduk menonton televisi. Tampaknya wanita itu tidak fokus terhadap salah satu siaran sehingga beberapa kali ia harus menekan remot demi mendapatkan siaran yang menarik. Segelas teh tersaji di hadapannya dengan uap yang masih mengepul. Ada butiran air yang menempel di sekitar gelas. Tidak terlihat bekas bibir di mulut cangkir, mungkin Ann belum sempat menenggak teh itu.

 

Jimmy mendekat dan menepuk pundaknya. Ia tersenyum. Ann membalas senyuman itu dengan datar, lalu mematikan televisi. Ia pun mendekat dan duduk di sebelah istrinya.

 

“Tidak biasanya kamu pulang lebih awal,” kata Jimmy sambil meletakkan tasnya di atas meja, tepat di samping secangkir tehnya Ann.

 

“Tidak ada yang bisa diprediksi di kantorku, semuanya berjalan tanpa ada yang tahu kapan pekerjaan harus selesai.”

 

Jimmy memerhatikan Ann, istrinya masih tetap cantik, seperti lima tahun lalu sejak ia menikahi Ann. Seragam kerja Ann masih melekat di tubuhnya. Mungkin sekitar sepuluh atau lima belas menit yang lalu ia sampai.

 

Jimmy membuka tas dan mengeluarkan koran. Ia merasa canggung dengan istrinya yang memilih banyak diam daripada menyapanya dengan akrab.

 

Satu per satu ia membaca berita sekilas. Tidak ada yang menarik. Pemberitaan kebanyakan masalah politik yang ruwet. Masing-masing pihak saling menjatuhkan, tidak ada usulan terbaik yang digunakan untuk kepentingan rakyat. Mereka seolah haus kekuasaan. Di halaman berikutnya adalah berita olahraga, di mana sebuah tim raksasa Spanyol harus tunduk oleh lawan satu kotanya.

 

Hanya beda satu angka, pikir Jimmy. Tapi satu angka tersebut cukup berarti mengingat pertandingan itu berlangsung di lapangan mereka sendiri dan kekalahan tersebut terasa cukup menyakitkan.

 

Jimmy melipat lagi korannya dan meletakkannya di atas meja. Ia beranjak ke dapur. Sambil berjalan ia bertanya, “Apakah kamu membawa makanan?”

 

“Tidak.”

 

Jimmy menghentikan langkahnya dan terdiam. Kemudian berjalan lagi. Lemari tempat penyimpanan makanan ia buka dan di sana hanya ditemui roti gandum dengan setoples selai nanas yang baru ia beli dua hari yang lalu. Ia urung melahap roti tersebut kemudian menutup lemari dan kembali ke ruang tamu.

 

“Hmm, mungkin lebih baik kita makan di luar saja,” katanya.

 

Ann yang sedang membaca menutup korannya dan memutar kepalanya menghadap Jimmy. Tanpa senyum ia menanggapi perkataan suaminya, “Tadi sebelum pulang aku makan dulu dengan teman kantorku di restoran sekitar Ciffest Mardigras, jadi… masih kenyang.”

 

Jimmy diam saja. Ia masih terpaku di depan pintu sambil menatap Ann.

 

“Kalau kamu ingin makan di luar, silakan. Aku tidak melarang, kok,” tambah Ann.

 

“Teman kantormu? Siapa dia? Apakah lelaki atau wanita?”

 

“Ah, hanya teman kantor saja, sekalian membicarakan masalah pekerjaan yang belum tuntas.”

 

“Lelaki atau wanita?”

 

“Dua-duanya.”

 

“Ooh….”

 

Ann membalikkan lagi tubuhnya dan kembali membaca koran sedangkan Jimmy kembali ke dapur untuk menyiapkan roti gandum. Di sela-sela polesan selai di atas roti, ia mengenang masa-masa awal pernikahannya dengan Ann.

 

Wanita yang sangat ia cintai itu tampak cantik apalagi ketika menyiapkan hidangan untuknya. Waktu-waktu menjelang malam seperti ini adalah waktu yang menyenangkan baginya, karena pas ia pulang kerja, Ann muncul dengan senyum dan memeluknya beberapa kali kemudian mengapit lengan kanan sambil menjinjingkan tas yang semua dipegang oleh Jimmy. Ia pun menuntun suaminya menuju dapur.

 

“Pejamkan matamu,” ucapnya saat itu. Dengan senang hati Jimmy pun memejamkan matanya dan menajamkan penciumannya. Benar saja. Ada bau-bau khas makanan yang ia nanti menyengat hidung.

 

Sesekali ia menggoda Ann dengan mengancam akan membuka mata, saat itu Ann langsung cemberut dan melarang Jimmy untuk masuk ke dapur. Jimmy memohon sambil bercanda kepada Ann dan wanita itu langsung memeluknya lagi. Masa-masa indah itu tidak bisa ia hapus dari memorinya sampai saat ini.

 

Tapi selang beberapa tahun, Ann meminta kepada Jimmy untuk bekerja. Padahal gaji yang Jimmy terima selama ini sangat cukup, bahkan lebih untuk kebutuhan mereka berdua.

 

“Untuk apa lagi?” tanya Jimmy kala itu.

 

Ann tidak mengatakan alasannya secara langsung. Ia menjawab dengan berbelit-belit dan alasan-alasan yang sebenarnya sulit Jimmy terima, tapi karena rasa sayangnya begitu besar, Jimmy pun membolehkan Ann bekerja.

 

Sebulan, dua bulan, dan tiga bulan berselang, Ann merasa semakin nyaman dengan pekerjaan barunya, itulah yang Ann sampaikan kepada Jimmy. Tentu sebagai suami ia merasa senang melihat senyum yang tulus dari istrinya. Tapi lama kelamaan tampaknya pekerjaan itu hampir merenggut masa-masa di rumah sebagai keluarga kecil. Walau mereka belum memiliki anak, Jimmy bersikeras mengatakan kalau mereka itu adalah sebuah keluarga karena telah diikat dengan pernikahan.

 

Hari-hari Ann dihabiskan di kantor. Apabila pulang ke rumah, pastinya sudah memasuki malam dan yang tersisa hanyalah rasa lelah. Komunikasi di antara mereka semakin merenggang. Jimmy merindukan masa lalu, di mana mereka bisa tertawa dan Ann masih menyiapkan makanan saat ia tiba di rumah. Ada cinta yang besar waktu itu.

 

Empat potong roti gandum yang dibalut selai nanas di tengahnya telah siap. Ia pun membuat secangkir teh lagi peneman sorenya kali ini. Kemudian ia melangkah menuju ruang tamu. Ia merasa rindu saat-saat berdua dengan Ann, walau ada jarak yang merenggang di antara mereka berdua.

 

Saat ia melangkah dan hampir sampai di ruang tamu, ada ponsel bergetar di atas buffet. Itu ponselnya Ann. Ia meraihnya. Ternyata ada pesan masuk. Sambil melirik ke ruang tamu, ia membuka pesan tersebut dengan agak canggung. Ia tersentak kaget ketika membaca pesan singkat itu. Padahal hanya berisi sapaan singkat saja.

 

“Sayang!” teriak Jimmy. Sudah lama ia tidak menggunakan sapaan itu kepada istrinya. “Kok aku bikin teh kurang manis, ya?” suaranya cukup keras, supaya bisa didengar oleh Ann.

 

“Tinggal ditambah gula saja, kok!” sahut Ann tanpa pikir panjang.

 

Jimmy pun bergegas menuju ruang tamu. Ia meletakkan roti gandum buatannya dan secangkir teh. Ann menatap teh tersebut. Uap mengepul ke udara. Langit semakin menggelap dan waktu terus bergerak memasuki malam.

 

“Sudah ditambah gulanya?” tanya Ann. Pertanyaan yang sangat Jimmy tunggu akhirnya keluar juga. Pertanyaan apa pun, walau sekadar basa-basi belaka. Hatinya merasa sedikit tenang, walau masih belum mampu mengobati semuanya.

 

“Sayang,” kata Jimmy. Suaranya terdengar parau. “Aku ingin bicara empat mata saja denganmu.”

 

Ann bingung. Bukankah mereka sedang berhadapan dan di sana hanya ada mereka berdua tentunya sudah empat mata. Jimmy menatap dalam wajah Ann, begitu juga dengan Ann. Mulanya hanya berkaca-kaca, kemudian butir-butir air mata muncul dari sela kelopak mata Jimmy dan meluncur membelah pipinya seraya menyerahkan ponsel tadi kepada istrinya. Ann gemetar. [*]

 

Balaraja, September 2014


 

Hardi Rahman, suka memotret dan jalan-jalan. Bukunya berjudul Sembarang Wajah, kumpulan cuap-cuap Fotografi.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button