OpiniReview

Catatan Perjalanan: Negeri Singa VS Negeri Kita

Oleh Ade Ubaidil

 

biem.co — Teknologi di abad ini memang sangat pesat perkembangannya. Teknologi menjamah hampir setiap pelosok di berbagai belahan dunia, sebut saja salah satu contohnya, gadget semisal ponsel pintar. Tanpa membutuhkan survei, dengan mata telanjang saja, di jalan-jalan, kita pasti akan menemukan beratus, bahkan berpuluh-puluh ribu orang memiliki ponsel pintar alias smartphone. Tak pandang lagi dari kalangan atas, menengah, atau bawah sekalipun. Jadi tak perlu heran andai kita melihat seorang pemulung, tukang sapu, atau penjaja dagangan kaki lima tengah tertawa ria dengan benda mati yang bisa hidup dalam genggaman manusia itu. Penyebutan profesi di atas tentu saja saya tidak bermaksud mendiskreditkan mereka. Hanya saja, itu sebagai contoh bahwa kemajuan zaman tak bisa dielakkan lagi.

 

Seperti yang saya temukan di sebuah negara kecil dengan luas wilayah hanya 710.2 km2, Singapura. Selama 3 hari kemarin (1-3 September 2015), saya bersama para pemenang sayembara menulis resensi buku Gaduh, dihadiahi jalan-jalan oleh pengarangnya, Bapak Boyke Pribadi, menjelajahi negeri berikon singa itu. Perjalanan yang ditempuh hanya 1 jam dari bandara SoekarnoHatta, Tangerang, sampai bandar udara Changi di Singapura. Jelas sekali kami tak menghabiskan waktu banyak di pesawat Air Asia yang kami tumpangi. Ini pengalaman yang luar biasa bagi saya. Apalagi, ini adalah pengalaman pertama saya menaiki pesawat ke luar negeri. Suasana di bandara yang luasnya dua kali dari bandara di Tangerang Selatan itu membuat kami takjub. Dan hal yang mengesankan adalah, hampir segalanya memanfaatkan teknologi dengan baik. Ditambah ruangannya yang mengutamakan kebersihan serta kerapian, pemandangannya terasa berbeda sekali. Siapa saja yang berada di sana, tentu hal pertama yang terpikir adalah membandingkan dua hal. Saat itu saya membandingkan Indonesia dan Singapura, tentu saja. Pelayanan yang baik (meski tak ada senyum di wajahnya), tegas serta disiplin. Berbeda jauh saat berada di bandara Indonesia. Tetapi bukan berarti bandara di negara ini tidak bisa mencapai titik pencapaian tersebut.

 

Gegar Budaya

Kembali ke pembahasan pendayagunaan teknologi. Singapura adalah contoh negara kecil yang berhasil memanfaatkan teknologi secara maksimal. Hampir setiap hendak menaiki kendaraan umum, kami cukup membeli sebuah kartu seukuran kartu ATM seharga SGD 30, lalu dengan leluasa berkeliling ke berbagai tempat wisata, atau bagian mana pun dari Singapura. Kartu itu bisa dipakai untuk menumpangi bus, MRT, dan saat memasuki stasiun. Padahal, bila kita mundur ke belakang, melihat sejarah yang tercatat, usia Singapura masih terbilang muda dibanding negara-negara lainnya di kawasan Asia Tenggara. Sebut saja, Indonesia yang merdeka di tahun 1945 bulan Agustus, tanggal 17. Tak jauh berbeda, masih di bulan yang sama, negara bermaskot patung Merlion itu menyatakan kemerdekaannya dari Inggris tahun 1965 tanggal 9. Jelas sekali perbedaanya waktu yang hampir 2 dekade dengan negara kita. Tetapi, lagi-lagi terlepas dari luas wilayah yang kecil, Singapura bisa dikatakan mengungguli tanah air kita. Baik dari sisi SDM, perkembangan tata kota, serta wilayahnya. Bahkan, masyarakatnya yang memiliki kultur dari berbagai latar belakang negara itu hampir semuanya berkarakter serupa. Tegas dan disiplin. Kesadaran diri masing-masing individunya sangat tinggi. Sebagai contoh, ketika kami berdiri di rambu-rambu lalu lintas, bila lampu belum berwarna merah, sekalipun jalanan lengang dari kendaraan, mereka akan tetap menunggu sampai lampu berwarna hijau menyala dan menyilakan pejalan kaki menyeberang. Kami, para peserta yang berjumlah 7 orang, dibuat cukup takjub sekaligus heran. Bisa dibilang kami terserang gegar budaya. Di mana, setiap tingkah laku masyarakat lokal dibandingkan dengan masyarakat di daerah yang kami tinggali, Indonesia.

 

Ada lagi ketika kami menaiki sky train. Kereta yang jalurnya berada di atas permukaan tanah dan bukan di jalur darat. Kami dibuat bertanya-tanya, mengapa setiap kali ada kursi kosong, warga asli atau orang yang sudah lama tinggal di Singapura tak lekas mendudukinya? Mereka memilih berdiri dengan kuda-kuda yang kuat dan kedua tangan tanpa berpegangan pada tali yang disediakan, sekalipun itu perempuan remaja yang sepertinya egosentrisnya lebih tinggi, dan menunggu sampai sky train berhenti di tempat tujuan masing-masing. Teman saya, Aprilian Cena, memiliki rasa penasaran dan keingintahuan yang tinggi. Akhirnya ia memutuskan untuk bertanya pada salah seorang penumpang. Jawabannya cukup membuat kami semakin kagum dengan mereka. “Kami menghormati para tamu yang berkunjung ke negara ini,” kurang lebih begitu jawaban mereka.

 

Betapa tingginya rasa berbagi dan rasa menghargai antara satu sama lain di negeri Singa. Entah bagaimana cara memupuk kesadaran diri sedemikian rupa itu kepada masyarakat Indonesia yang salah satu beritanya dalam koran di beberapa waktu lalu bahwa ada seorang remaja yang tanpa berdosa duduk mengambil jatah kursi khusus ibu-ibu hamil, disabilitas, maupun orang jompo.

 

Identitas dan Ruang Kosong

Terlepas dari semua penjabaran saya di atas, ada satu hal pula yang membuat saya bertanya-tanya. Di mana Singapura? Atau, apa itu Singapura? Dari sekian banyak manusia yang kami temui di sana, warga pribuminya kami tidak bisa melihatnya (baca: membedakannya) secara signifikan. Memang benar, Singapura rata-rata penduduknya warga keturunan Tionghoa. Tetapi herannya, bahasa yang digunakan di sana cenderung bahasa Melayu dan bahasa Inggris. Dan lagi, ketika ditelisik lebih jauh, kami seperti berada di sebuah ruang kosong, atau sebut saja kompleks, yang di dalamnya dihuni oleh warga India di blok Little India, warga Tionghoa di blok Cina Town, warga Arab di blok Kampong Arab, serta beberapa warga negara asing lainnya yang menetap di kawasan Singapura dan mungkin resmi menjadi bagian dari Singapura itu sendiri. Menurut Wikipedia, 42% penduduk Singapura adalah orang asing yang bekerja dan menuntut ilmu di sana.

 

Lantas, di mana identitas mereka? Mungkin di bagian inilah kita sebagai warga Indonesia patut berbangga. Setidaknya kita masih unggul sebab memiliki beraneka identitas, bahasa, adat, serta budaya di masing-masing pulau Nusantara. Berharap sajalah di hari depan, Macan Asia benar-benar bisa kembali mengaung dan bukan hanya harapan belaka. Dan bukan pula menjadi penduduk yang terus berpura-pura.

 

Boleh dibilang saya mengambil kesimpulan terlalu cepat, apalagi pengamatan saya di Singapura hanya beberapa hari saja. Tetapi, sekalipun Sahabat biem berkunjung ke sana, sepertinya apa yang kami pikirkan, saya meyakini tidak akan jauh berbeda. Ibaratkan Singapura adalah ruangan kosong yang siapa pun boleh berkunjung dan menetap di sana. Entah siapa nenek moyang mereka yang lebih dahulu tinggal di sana, yang jelas, satu hal yang sulit terlepas dari Singapura adalah teh tarik. Ingin sekali saya menjabarkan bagaimana rasanya teh tarik di Singapura, tetapi mungkin di lain kesempatan saja saya bercerita. Atau bisa pula di suatu hari kita duduk bersama di salah satu kafe pinggir jalan Singapura dan menikmati teh tarik bersama-sama sambil mendengarkan percakapan orang India di setiap sudut kota. Semoga saja. [*]

 

Cilegon, 5 September 2015


Ade Ubaidil berdomisili di Cilegon. Mahasiswa jurusan Sistem Komputer di Universitas Serang Raya (UNSERA).

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button