ResensiReview

Sisi Gelap Kepribadian Manusia di Balik Kisah-Kisah Horor

Oleh Umar Affiq

 

Judul                : Kumpulan Budak Setan

Pengarang       : Eka Kurniawan, Intan Paramadhita, Urogan Prasad

Penerbit           : Gramedia

Cetakan           : Pertama, Februari 2010; Kedua, Agustus 2016

Tebal                : 174 halaman

ISBN                : 978-602-03-3364-9

“Jika saya harus menyebut tiga novelis terpenting dalam kesusastraan Indonesia, saya akan menyebut Pramoedya Ananta Toer, Asmaraman S. Kho Ping Hoo, dan Abdullah Harahap. Membaca semua karya mereka, saya pikir sudah cukup untuk memasuki rimba kesusastraan, dan menjadi yang paling gila di antara orang-orang gila.”

 

Demikian apresiasi Eka Kurniawan terhadap karya sastra (khususnya novel) dari penulis Indonesia. Abdullah Harahap adalah satu di antara tiga yang disebut penting oleh Eka. Tidak hanya berhenti di situ, Eka mengapresiasi kecintaannya terhadap karya-karya Abdullah Harahap dengan membuat antologi cerita pendek bersama Intan Paramadhita dan Urogan Prasad sebagai sesama pembaca Abdullah Harahap (AH).

 

Penulisan kumpulan cerpen ini memiliki proses panjang, mengingat ketiga penulis berada di belahan dunia yang berbeda: Urogan Prasad di Jakarta, Eka Kurniawan di Yogyakarta dan Intan Paramadhita di New York City. Ketiganya, setelah menyepakati pembuatan proyek untuk AH, melakukan pembacaan ulang karya-karya AH dari berbagai sumber: Urogan membaca ulang koleksinya di Tanjung Karang, Eka membeli beberapa buku AH di pasar di Solo dan Intan meminjam dari koleksi studi Asia Cornell University.

 

Sebagai sebuah persembahan untuk AH, Kumpulan Budak Setan berusaha menyodorkan tema horor khas AH. Memang sebagian besar cerita-cerita AH beredar seputar hantu, arwah penasaran, mistisisme lokal sebagai tema besar, namun AH juga melakukan apropriasi logika narasi Barat. Di mana aproriasi konvensi realisme dalam horor AH yang paling mendasar adalah bahwa seluruh karakter hantunya ia lengkapi dengan motif dan kausalitas yang menegaskan dualisme tubuh dan jiwa dalam arwah-arwah penasaran untuk melakukan balas dendam. Ide mendasar itulah yang menjadi benang pengikat dan penghubung karya-karya Eka, Urogan dan Intan dalam buku ini.

 

Nuansa mistisme lokal terasa kental sekali dalam cerpen Penjaga Malam karya Eka Kurniawan yang mengambil latar pos ronda di pedesaan. Lampu senter, lampu dengan bahan minyak tanah, kentongan, ujung jalan yang gelap, kemunculan ajak dan property lain yang diceritakan detil dalam beberapa moment menjadi unsur penguat alur cerita.

 

“Kesunyian itu dikejutkan oleh bunyi pemantik, dan aku melihat seseorang membakar rokok lintingan daun aren di tentangku. Itu Karmin. Kulihat wajahnya kemerahan di balik lidah api, matanya redup, lalu lenyap selepas ia memadamkan apinya. Yang tersisa hanya ujung rokok yang oranye, mengapung di lautan hitam pekat.” (Hal.3)

 

Penjaga Malam berkisah tentang Aku, Miso, seorang anak bernama Hamid dan Karmin yang kemudian menghilang. Karmin menghilang saat berjalan menuju ujung jalan yang gelap, diikuti Miso, Hamid dan kemudian Aku. Mereka menghilang tanpa pernah kembali lagi.

 

Eka mencoba menguak mistisme adanya hantu bajang yang berwujud serupa musang namun mengeong serupa kucing. Kisah ini mengingatkan pembaca pada kisah horor di pedesaan awal 2000, di mana di beberapa daerah riuh beredar berita adanya hantu cekik; setan berupa kucing hitam dan membunuh dengan cara mencekik leher korban. Namun tentu saja Penjaga Malam Eka adalah cerita yang berbeda, setan bajang-nya Eka bukan seekor kucing dan tidak mencekik, melainkan memangsa kandungan ibu hamil dan merampas jabang bayi atau membuatnya gila sejak dalam kandungan.

 

Apropriasi logika narasi Barat pernah dilakukan oleh AH. Dalam buku ini, teknik tersebut juga dipakai oleh Eka Kurniawan dalam Taman Patah Hati, di mana penulis berusaha memunculkan ceritera legenda “Roro Jonggrang” dan “Benzaiten” di Taman Inokashira, Jepang dan mencipta ruang fiksi yang berpola sama dengan legenda tersebut. Di Taman Patah Hati, tersebutlah Ajo Kawir yang ingin memutuskan hubungan cinta dengan kekasihnya, Mia Mia. Ajo Kawir sebenarnya pemuda yang berpikir logis dan kurang mempercayai takhayul, namun keinginan kuatnya untuk mengakhiri hubungan dengan Mia Mia membuatnya mau tak mau percaya takhayul sehingga kemudian ia membawa Mia Mia ke Prambanan karena mendengar takhayul bahwa pasangan yang berkencan ke Prambanan akan pupus. Mengakhiri hubungannya dengan Mia Mia, itu pula tujuannya ke Taman Patah Hati, Taman Inokashira.

 

“…perkara orang-orang patah hati di atas sampan Danau Inokashira hanyalah ulah para pemuda kurang ajar: jika mereka memutuskan kekasih di atas kereta atau di restoran, tentu akan banyak orang yang melihat sang kekasih menangis, jika mereka melakukannyadi atas danau, hanya mereka berdua dan langit membentang jadi saksi peristiwa itu.” (Hal.17).

 

Tak hanya Eka, apropriasi logika narasi Barat yang pernah dilakukan oleh AH, pun dilakukan oleh Intan Paramadhita dalam keempat cerpennya: Goyang Penasaran, Apel dan Pisau, Pintu dan Si Manis dan Lelaki Ketujuh. Dalam Goyang Penasaran, Intan mencoba meracik narasi cerita dengan sempalan-sempalan lagu dangdut. Cerpen ini memiliki konflik yang sangat komplek; antara tokoh satu dengan yang lain berkaitan dan berperan sama pentingnya. Mengisahkan Salimah (tokoh utama) seorang penyanyi dangdut yang memiliki goyangan yang membikin penasaran penontonnya.

 

Latar belakang masalalu Salimah sebagai seorang yang pernah ikut seleksi Musabaqah Tilawatil Quran yang kemudian menjadi penyanyi dangdut dengan goyangan yang bikin mesum lelaki sekampung adalah sebuah potret bahwa orang yang masa kecilnya begitu agamis belum tentu akhir hanyatnya tetap seorang agamis. Begitu juga pada tokoh Haji Ahmad, kritik tampak lebih tajam dalam tokoh satu ini, bahwa orang yang berpenampilan baik, ahli agama ternyata memiliki pikiran tak lebih kotor dari para lelaki yang didakwa zina mata karena menonton goyangan Salimah.

 

Setelah membaca beberapa ayat, Salimah menyadari Haji Ahmad tak memperhatikan tajwidnya. Ia sengaja membuat kesalahan-kesalahan, namun sang guru tak mencoba membetulkannya. Salimah merasa Haji Ahmad semakin mencondongkan tubuhnya hingga ia mendengar dengan jelas suara nafas yang berat. Nafas lelaki. Salimah mengangkat kepala dan mendapati Haji Ahmad tengah menatapnya. Tatapan itu lamat dan ganjil, seolah mampu menembus kerudung dan bajunya yang terkancing hingga ke leher.” (Hal.50)

 

Cerpen Apel dan Pisau adalah cerpen yang dibangun dengan logika cerita sebagaimana kisah cinta Zulaikha terhadap Nabi Yusuf dalam kitab-kitab. Teknik yang sama, yaitu pencampuran logika cerita juga dapat ditemui dalam cerpen Si Manis dan Lelaki Ketujuh, yang menggunakan pondasi dasar kisah Putri Salju dengan tujuh kurcaci, juga kisah Si Manis Jembatan Ancol. Cerpen ini berkisah tentang tokoh aku, sosok kepala keluarga yang menjadi korban krisis moneter sehingga harus ditendang dari tempat ia bekerja dan tak diterima lagi di perusahaan mana pun karena menderita lepra. Dalam kondisi putus asa itulah ia menerima tawaran bekerja dengan Siti Ariah, perempuan yang mau membayarnya dengan mahal cukup lewat bercinta dengannya dalam scenario seperti kisah pemerkosaan dalam Si Manis Jembatan Ancol. Di luar dugaan, Ariah memiliki wajah yang sangat buruk rupa.

 

Di hadapanku tak kujumpai si Manis, melainkan sebuah kekejuan yang siap menelanku bulat-bulat. Wajah perempuan itu rusak. Hidung dan pipinya sulit dibedakan, tertutup gumpalan daging tak rata, kasar. Mata kirinya bengkak, merah seperti bisul meradang. Tanpa rambut lurusnya aku tak yakin ia manusia. Ia serupa tumor besar, menggelembung, carut-marut.” (Hal.93).

 

Tokoh Aku menjadi lelaki ketujuh yang bercinta dengan Ariah setelah enam pria sebelumnya gagal. Dalam hari-hari percintaan tokoh Aku dengan Ariah, cerita mengalir dengan narasi yang begitu liar, kadang menjijikkan, menyeramkan sekaligus menegangkan. t Seperti enam pria sebelumnya yang juga menandatangani kontak yang serupa, bercinta dengan Ariah si buruk rupa, pada akhirnya tokoh Aku memiliki riwayat serupa pula. Aku mengakhiri kontrak sebelum pada waktu yang ditentukan.

 

“Tak lagi berusaha mencari udara, aku tertunduk lemas di atas kotoranku sendiri. Kutemukan kepingan baru dari cerita Ariah, yang bagaimanapun juga tak mungkin utuh. Enam lelaki sebelum diriku tak pernah berhasil melepaskan diri. Alangkah bodohnya, aku tak pernah bertanya-tanya di mana mereka sekarang. Mereka semua mencandu bahkan di hari mereka bertobat, menyerahkan diri pada eksperimennya yang berbahaya. Dan di sinilah mereka berakhir.” (hal.109).

 

Cerpen-cerpen Urogan Prasad tak kalah menariknya dengan cerpen-cerpen sebelumnya. Penjaga Bioskop mencoba memotret sisi horor sebuah gedung bioskop dengan masalalu suram, Hantu Nancy berkisah tentang dendam seorang tukang cukur. Dua cerpen penutup yang panjang: Topeng Darah dan Hidung Iblis memiliki daya terror yang mengerikan dalam lanskap cerita realisme magis serta surealis. Peristiwa kanibalisme diceritakan detil dalam Topeng Darah. Sedang dalam Hidung Iblis, bagi pembaca yang mengenal lukisan Rape karya Rene Magritte cerpen ini memiliki konsep yang hampir serupa dalam penggambaran laki-laki yang memiliki pikiran mesum: hidung dalam cerpen ini digambarkan dalam bentuk kemaluan lelaki, yang bila tuannya berpikiran mesum hidung itu pun ereksi.

 

“Benda kecil di selangkanganmu, itulah iblisnya. Laki-laki hanyalah inangnya.” (hal. 160).

 

Bercerita tentang Sujatmoko (seorang suami) yang sangat mencintai istrinya sampai ia membunuh setiap orang yang tertarik pada istrinya, Mirna yang memiliki penglihatan ganjil: bisa melihat hidung laki-laki berubah menjadi batang kemaluan laki-laki. Pembunuhan terjadi berulang hingga empat kali, dan pembunuhan kelima yang gagal dan justru membuat Moko terbunuh oleh senjatanya sendiri.

 

Kisah horor dalam buku ini, pada dasarnya mengingatkan dan mengikatkan kita pada suatu pemikiran yang pernah dikatakan Carl Gustav Jung bahwa ada sisi gelap dari kepribadian manusia. Di mana yang kita nggap jahat dan semua yang kita anggap tidak layak, berkumpul di situ. Buku ini mengajak pembaca sejenak merenung, bahwa kehidupan memiliki sisi kurang, sisi pincangnya yang semua itu dipengaruhi energi psikis, yang bersumber dari pengalaman masa lalu, konflik masa kanak, sisi negative individu dan pengaruh alam bawah sadar. (umar affiq)

 

Tuban, Maret 2017


Umar Affiq, lahir di Rembang. Alumni Kampus Fiksi #KF16. Salah satu orang yang percaya, bahwa: jatuh cinta atau mencintai adalah dua penderitaan yang berbeda. Wayang kulit adalah hiburan paling disukainya. Membaca adalah liburan paling disukainya. Beberapa cerita fiksi, puisi, dan resensi secara kebetulan bersarang di beberapa media dan antologi. 

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button