Oleh Dedet Setiadi
PETA
Aku pilih jalan
untuk mengusung ketenangan
di pos paling ujung
kubiarkan segala percakapan tewas
menumpuk seperti barisan nisan
di pekuburan
Tak ada lagi sisa waktu
untuk mendengar dongeng ini-itu
sebab telinga terlalu sempit
menampung cerita
yang benar-benar tak ada benarnya
Lihat,
rumah yang kutinggalkan
pintunya terbuka
siapa pun bisa jadi penghuninya
Waktu semakin mepet
untuk melipat senja
jalan sejarah
sarat rekayasa
sekusut kain belaco
tak pernah diseterika
Maka
kupilih jalan lempang saja
sebagai gerbong
yang melintasi relnya
sebagai tubuh
yang melepaskan baju kotornya
2017
ANONYMOUS
inilah pasalnya!
kata-kata meninggalkan hulu
seperti kertas berita lelayu
yang kau lipat-lipat jadi perahu
dan di sana
kau tidurkan mataku
dan di muara
percakapan hanyut begitu saja
seperti laut
menelan mentah-mentah
segala yang diusung sungai
inilah pasalnya!
Februari 2017.
SUKUH
jejak kasar pahat
menipu lihat
mata-mata kasat
patung lelaki di pintu candi
membuka imaji
wangsit langit
lingga & yoni
leluhur agung
berkalung gunung
gaduh lesung
mengepung kampung
o, syiwa
o, durga
tubuh buruk telanjang dada
membuka gapura semesta
ke mana undak-undak menuju
tak ini tak itu
hidung dewa yang diburu
kecubung dupa
kemenyan puja
mengepul di latar terbuka
menyundul-nyundul udara
di pinggir lawu
tersampir baju hindu
aristokrat tua menangkap sabda
fragmen-fragmen tantra
relief-relief muda
o, syiwa
o, durga
Magelang, 2015
CANDI ASU
1/
ini makam sang prabu
seorang tua desa
membuka candi dengan kata-kata
jangan bawa balsem ke sini
sekujur tubuh rasa terik matahari
jika dilanggar aturan ini
asu itu istirah!
hayuwangi
darmalih
salingsinga
raja besar di buku adat
datang dan istirahat
ngaso
bahasa jawanya
2/
jika ia lembu
tapi arca rusak itu lebih mirip asu
di samping sumur itu
jika tak pingin jadi arca itu
jadilah perempuan ayu
yang bersolek dengan hatimu
agar badan candi
tetap suci
menghadap sang hyang widhi
tidak serong sana, serong sini
seperti nama candi ini
Magelang, 2015
CANGGAL
ini kota lama
yang diamuk gempa
di abad pallawa
ada kisah sanjaya
tertulis di batu lingga
raib entah ke mana
di dekat altar yoni
duduk Andini
berlumur debu merapi
di bukit wukir
angin mengalir, jejak akhir
cinta yang terukir
dan serak batu
meneguhkan rindu
di kekal waktu
Magelang, 2015
WURUNG
jangan harap jadi
kenthong titir sudah berbunyi
sebelum pagi
patung-patung tak sempurna
bentuk singa
terlihat dari kejauhan saja
lalu, mengapa kutuk bicara
kami tak boleh cinta
dengan remaja dusun sana?
apakah benar
amarah dewa masih terdengar
telor tujuh turunan mungar?
jangan langgar waler wurung
agar dusun tak berkabung!
Magelang, 2015
Dedet Setiadi, lahir di Magelang, 12 Juli 1963, di lingkungan masyarakat agraris yang tidak akrab dengan tradisi menulis dan membaca. Keakrabannya dengan kisah-kisah mitos dan dongeng pada masa kanak-kanaknya, menjadikannya sebagai “pengkhayal parah” yang menganggap dunia dongeng dan dunia nyata tak ada beda.
Baru setelah tamat SMP dan melanjutkan sekolah di SMA N 10 Yogyakarta, ia mulai tertarik pada kesusastraan, khususnya puisi, yang ia baca di majalah Horison dan Basis tahun 80-an. Dari sanalah, ia mengenal dan mengagumi puisi-puisi karya Pablo Neruda, Subagio Sastrowardoyo, Kriapur dan lain sebagainya.Dan sejak itu pula ia mulai mencoba menulis puisi dan mengirimkannya ke media massa, sampai akhirnya pindah ke Solo untuk melanjutkan pendidikan di fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.
Tulisan-tulisannya yang berupa puisi, cerpen dan sesekali esai dipublikasikan di berbagai media massa seperti Suara Karya, Berita Buana, Sinar Harapan, Mutiara, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Bernas, Bali Post, Yogya Post, urabaya Post, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Merapi, Media Indonesia, Indopos, Media Indonesia dan lain sebagainya.
Tahun 1987 diundang dalam temu penyair Indonesia ’87 di TIM Jakarta. Tahun 1990, puisinya yang berjudul “Suluk Bermain Kartu” terpilih sebagai salah satu puisi terbaik versi Sanggar Minum Kopi, Bali. Buku kumpulan puisi tunggalnya yang sudah terbit yakni: Gembok Sang Kala (Forum Sastra Surakarta, 2012) dan Pengakuan Adam Di Bukit Huka (Teras Budaya, 2015).
Saat ini tinggal di kampung kelahirannya, menghidupi keluarganya dengan bekerja di sebuah kontraktor, sambil tetap aktif berupaya mengakrabkan kesusastraan di masyarakat lingkungannya.
Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.