CerpenInspirasi

Cerbung Kholi Abas: Pesan Cinta Dandelion (Bagian 2)

Cerita Bersambung Kholi Abas

(Baca kisah sebelumnya di sini)

 

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Aku Jatuh Cinta?

Sinar matahari perlahan memasuki celah-celah kamarku. Sedangkan aku masih betah bermalas-malasan di atas tempat tidur. Hangatnya mentari aku rasakan mulai menyentuh kedua pipiku dengan lembut. Iringan musik “Kupu-kupu Cinta”-nya Sigma mengalun indah dari ponselku. Di balik pintu kamar, abaya putih telah siap dan tergantung rapi. Manik-manik biru lautnya yang berbentuk bunga menambah sempurna keindahan abaya itu. Aku hanya mengamatinya. Menarik napas panjang karena berat memikirkan harus melewati hari ini. Hari dimana semua orang akan merasa bahagia. 

 

Aku masih memegang erat buku biru bersampul “All About You, Dandelion” di saat wanita paruh baya yang sangat aku cintai itu masuk ke ruangan 4×4 ini.

 

“Ya Allah, Nak, kok belum siap-siap? Ini bentar lagi pukul 7.00. Akadnya mulai pukul 10.00, loh. Kamu kan kalau mandi lama. Belum dandannya, pakai jilbabnya. Bisa berjam-jam itu. Gih, buruan mandi!”

 

Aku hanya bisa tersenyum melihat kebiasaan Ibu yang merepet kalau sudah berbicara. Belum sempat aku menjawab, rupanya Ibu tertarik dengan buku biru yang ada di pangkuanku. Ia menatap mataku dalam-dalam dan melanjutkan kalimatnya.

 

“Masih tentang Dani, Lion?”

 

Aku tak langsung menjawabnya. Napasku tercekat dan mataku hampir berair kembali. Tapi itu tidak boleh terjadi. Aku berusaha menahan agar butiran bening itu tidak jatuh lagi. Huft… kutarik napas yang panjang dan berusaha memberikan senyum yang terbaik. Aku tidak ingin hati wanita di hadapanku ini kembali terluka hanya karena melihat putri satu-satunya ini terus bersedih. Apalagi hari ini adalah hari bahagia baginya, dan seharusnya juga bagiku.

 

“Eng… enggak, kok, Bu. Lion cuma liat-liat tulisan lama aja,” aku terbata menyusun kata.

“Hmmm… Lion, ibu ini bukan orang lain yang mungkin bisa kamu bohongi. Ibu tahu buku yang kamu pegang itu. Ibu pernah membacanya. Ibu juga tau kalau sekarang kamu masih memikirkan Dani. Tapi tolong, Nak, di hari ini kamu juga harus ikut bahagia. Sekarang, ayo bergegas!”

 

“Iya, Bu, Lion pasti bahagia, kok. Sebelum pukul 10.00 Lion janji sudah siap. Tapi, beri Lion waktu 1 jam dulu, ya, Bu. Ada yang ingin Lion kerjakan.”

 

“Baiklah… Ibu tunggu di luar, yah,” Ibu mengulas senyum manisnya sembari mengusap bahuku. Ada damai menjalar di sana. Kecupan lembut Ibu mendarat di keningku sebelum ia pergi dan menghilang dari pintu kamar.

 

Lagi dan lagi, untuk ke sekian kalinya aku memandangi halaman demi halaman buku biru itu. Semuanya menceritakan tentang aku dan kamu, Dan. Aku tidak pernah bosan walaupun harus mengulang ribuan kali untuk membaca cerita tentang kita, Dani. Beberapa foto juga turut menghiasi kelengkapan cerita yang aku tulis tentangmu. Mulai dari foto ramai yang memang ada aku dan kamu sampai foto tempat atau benda-benda yang mengingatkan aku tentang kamu. Hingga tiba di halaman yang terakhir ditulis, aku teringat kalau aku berjanji akan menceritakan bagaimana aku mulai menyukaimu. Dani, inilah ceritanya tentang bagaimana Allah menitipkan rasa indah itu. Maukah kamu membacanya, Dan?

 

Bismillaah…

Hai, Dani Muhamad Firdaus. Sedang apa kamu di sana? Apakah kamu merindukan aku? Sama seperti aku yang selalu merindukanmu. Apakah kamu merasakan sesak dan perih karena menahan rindu yang tak tersampaikan? Sama seperti halnya diriku yang selalu terisak ketika mengingatmu. Aku terisak, sedih, dan sakit ketika mengingat semua tentangmu, bukan karena aku membencimu. Tapi karena aku harus menerima kenyataan jika kini kamu sudah memutuskan untuk benar-benar pergi melepaskanku. Sesakit apa pun kenangan itu, toh, aku masih memilih untuk menyimpannya dalam-dalam dan mengenangnya. Aku selalu menyukai apa pun tentangmu walaupun itu menyakitkan.

 

Terkadang, aku bertanya pada diri sendiri. Mengapa aku bisa sampai sejauh ini terjatuh dalam rasa yang tak terdefinisikan ini? Rasa yang kata kebanyakan orang disebut jatuh cinta. Padahal masih sangat jelas teringat bagaimana mudah dan simpelnya aku menyukaimu. Kamu tahu, Dan? Kata seorang penulis, sesakit apa pun akibat jatuh cinta bukankah yang paling indah adalah proses ketika jatuh cinta itu sendiri? Jadi, biarlah aku genggam erat semua kenangan kita sehingga tak akan lagi terasa sakit dan yang tersisa hanyalah keindahannya saja.

Baiklah, cukup pengantarnya. Kita mulai saja, ya, Dan, cerita tentang bagaimana aku menyukaimu?

 

Aku tidak tahu kapan tepatnya. Tanggal berapa dan bulan apa. Aku hanya ingat jika waktu itu kita sudah tingkat 2, tepatnya semester 4 saat kita sudah sibuk di fakultasnya masing-masing. Kesibukan di fakultas membuatku merasa jenuh di berbagai kegiatan organisasi. Termasuk organisasi kemanusiaan yang kita jalani bersama. Sepertinya kejenuhan itu bukan hanya aku yang rasa, hampir semua anggota di organisasi yang berjumlah 150 orang ini juga merasakannya. Kamu selaku pemimpin dari kumpulan orang ini menyadarinya, hingga akhirnya kamu memutuskan untuk mengadakan agenda bersama supaya terjalin ikatan persaudaraan yang kuat antar anggotanya dan bisa menumbuhkan semangat berorganisasi lagi. Kamu akhirnya mengumpulkan semua ketua dan sekretaris divisi untuk rapat koordniasi merencanakan kegiatan itu. Di sinilah semua itu bermula, dari pertemuan itu.

 

Aku yang entah karena alasan apa ketika semester 3 tiba-tiba terpilih menjadi sekretaris salah satu divisi di organisasi ini. Awalnya aku pikir itu hanya kebetulan, tapi setelah aku pikir itu semua mungkin sudah jadi rencana Allah dalam mempertemukan kita, Dani. Posisiku sebagai sekretaris memaksaku harus hadir dalam pertemuan rapat koordinasi itu. Jujur, saat mendapat undangan rapat aku sama sekali tidak tertarik. Aku jenuh dengn rutinitas rapat seperti ini. Aku bosan, ingin rasanya aku idak hadir dan kabur ke tempat yang aku inginkan. Tapi itu semua tidak terjadi. Kalau saja waktu itu aku mengikuti keinginanku untuk bolos rapat pastilah jalan ceritanya sudah berbeda, Dan. Aku mungkin tidak akan menyukaimu, dan cerita tentangmu tidak akan pernah ada. Tapi sekali lagi, ini sudah takdir-Nya dalam mempertemukan kita.

 

Rapat sore hari yang cerah itu dilaksanakan di tempat kesukaanku, lapangan belakang Gymnasium. Rumput hijau yang menghampar sangat menyejukkan mata yang memandang. Angin di sore hari sangat lembut mengelus wajah. Pohon-pohon rambutan yang kala itu masih kecil bergoyang mengikuti irama angin. Tepat di atas rerumputan di antara pohon rambutan, aku, kamu, dan orang-orang yang menghadiri rapat duduk melingkar. Walaupun rapat kali ini di tempat yang aku suka, tetap saja aku hadiri dengan rasa malas dan setengah hati. Aku sengaja datang terlambat agar tidak turut dalam pembahasan rumit yang panjang. Sesampainya di tempat rapat, ternyata bahasannya masih alot. Aku memilih duduk di paling ujung agar dapat melihat pemadangan belakang Gymnasium sore hari. Sedikit mengusir penat, pikirku. Sepanjang rapat, aku sama sekali tak mengikuti alurnya. Bahkan tidak memperhatikan siapa yang berbicara dan apa yang dibicarakan. Hingga akhirnya tiba di sesi pengambilan keputusan. Selaku pemimpin rapat, kau bertanya kepada semua orang, Dan, tentang pendapat mereka. Dan tibalah giliranku untuk kautanyai, tapi aku masih asyik dengan lamunanku. Sampai-sampai teman di sampingku menepuk pundakku dengan halus.

 

“Li, ditanyain, tuh”

 

“Hah? Apa? Kenapa?” jawabku sekenanya. Aku gelagapan. Semua mata tertuju padaku saat itu. Aku malu. Malu karena ketahuan tidak memperhatikan jalannya rapat..

 

Gimana pendapatmu setuju nggak sama hasil rapat yang tadi udah didiskusikan?” tanya temanku lagi.

 

“Hmmm… aku ngikut aja, deh, hasil keputusan terbanyak. Maaf tadi kurang memperhatikan,” jawabku kikuk.

 

Aku hanya bisa menundukkan kepala. Tidak berani menatap mata-mata itu. Tatapan mata mereka seolah menghakimiku. Tapi, ketika semua orang menatapku dengan pandangan aneh, aku melihatmu menatapku dengan pandangan yang berbeda, Dan. Di saat aku tergugup menjawab pertanyaanmu, aku melihat dengan jelas kalau kamu justru menatapku dengan tatapan teduh dan tersenyum melihat kegugupanku. Mungkin menurutmu itu lucu. Kamu tersenyum padaku dengan senyuman khasmu. Senyuman yang akhirnya membuatku jatuh cinta. Konyol dan aneh memang, aku jatuh cinta semudah itu? Hanya karena sebuah senyuman? Senyuman yang diberikan oleh orang yang memang murah senyum. Aku yakin, kamu akan tetap tersenyum walaupun bukan aku orangnya, kan, Dan? Ah, entahlah, yang jelas aku merasa spesial saat itu. Senyumanmu, tatapanmu, semuanya. Saat itulah sepertinya Allah menitipkan fitrah itu di hatiku untuk yang pertama kali.

 

Setelah kejadian rapat itu, aku merasakan hal yang tak terdefinisikan. Perasaan aneh dan campur aduk. Aku tak mengerti semua ini. Aku hanya tahu, aku senang tak terkira jika tak sengaja bertemu denganmu. Aku selalu gugup jika harus berinteraksi denganmu. Aku selalu tersenyum sendiri jika mengingatmu. Aku merasakan jantungku berdegup lebih cepat sampai-sampai membuatku sesak dan lemas ketika berhadapan denganmu. Bahkan ketika mendengar namamu disebut oleh teman-temanku saja aku merasa deg-degan. Hahaha, aneh, memang aneh. Tapi aku menyukainya, aku menikmatinya.

 

Saat itulah aku mulai menyukaimu, Dan. Saat itu juga aku mulai peduli semua hal tentangmu walaupun masih hanya sebatas pergolakan kecil dalam hatiku. Saat itu, dalam kesunyian aku mencintaimu, karena dapat kupastikan saat itu hanya aku dan Allah yang mengetahuinya. Tak ada orang lain apalagi dirimu, Dani. Itu ceritaku, Dan. Kamu, sejak kapan mulai menyukaiku? Bagaimana pertama kali kamu merasakan rasa itu? Rasa indah yang Allah titipkan untukku.

***

Aku tutup buku biru dan segera bersiap untuk hari bahagia ini. Satu jam berlalu dan aku telah siap dengan abaya putihku. Kupandangi diriku dalam cermin. Kupasang senyum paling manis dan aku berbicara dengan diriku sendiri untuk menyemangati.

 

”Kamu nggak boleh sedih, Lion. Harus bahagia, setidaknya untuk hari ini saja.”

 

Ya, memang. Aku harus bahagia di hari pernikahan Teh Nisa, bibiku. Jangan sampai di hari bahagianya ini aku selaku pengiring pengantin akan merusak momen indah karena wajah masamku yang terus-terusan bersedih.

 

Terima kasih, Dani. Menyapamu lewat surat tak berbalas saja sudah cukup membuatku sedikit terobati. Mengenangmu saja sudah bisa menumbuhkan kesenangan dalam hatiku. Andai kamu di sini, di tempat sakral dan suci ini. Pasti kamu akan mengerti jika memang obat untuk dua orang yang saling mencintai adalah menikah. Lihatlah, betapa kebahagiaan itu sangat jelas terpancar dari kedua mempelai di sini, Teh Nisa dan Kang Firman. Kebahagiaan itu bukan hanya di kedua pengantin, tapi kebahagiaan itu ada di setiap wajah yang hadir di sini. Esok, izinkan aku untuk terus menuliskan surat untukmu, ya, Dan. Aku ingin bercerita lagi tentang bagaimana Allah terus menumbuhkan rasa itu.

Bersambung


Kholi Abas adalah nama pena dari Kholiyah. Kelahiran 18 Oktober 1993 ini gemar menulis. Cerita-ceritanya terangkum dalam antologi Gilalova 2Gilalova 3, danToga di Tepi Jendela. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di koran Radar Banten. Saat ini bergiat di lembaga kemanusiaan Dompet Dhuafa cabang Banten. 

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button