biem.co — Setelah Muhammad diangkat menjadi Rasulullah, maka dengan perintah Allah, beliau melakukan perubahan terhadap kehidupan masyarakat Arab kala itu, tidak hanya dalam hal teologi, namun juga soal sosial ekonomi. Nabi Muhammad saw dengan ajaran yang dibawanya membebaskan manusia dari penderitaan, takhayul, penindasan, perbudakan, dan ketidakadilan. Pembebasan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia.
Nabi Muhammad saw melalui Al-qur’an mendeklarasikan hak-hak perempuan, sebagaimana yang disampaikan dalam ayat Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 228. Dengan Al-qur’an keberadaan perempuan sebagai makhluk hidup diterima tanpa ada persyaratan. Perempuan dapat mewarisi harta dari keluarganya dan dapat memiliki harta sendiri dengan hak penuh.
Nabi Muhammad saw dengan ajaran Islam juga membebaskan masyarakat dari kungkungan cara pandang kesukuan. Cara pandang itu dihapuskan oleh Al-qur’an. Al-qur’an menyatakan bahwa manusia itu sama, yang membedakannya hanyalah taqwa kepada Allah swt. Al-qur’an juga menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk saling kenal-mengenal. Konsep itu secara nyata dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dengan mengangkat seorang budak negro yang bernama Bilal bin Rabah, menjadi muazin. Tindakan Nabi Muhammad saw tersebut jelas menunjukkan bahwa harkat dan martabat manusia itu tidak ditentukan oleh warna kulit maupun status sosial.
Al-qur’an dengan tegas melarang ketidakadilan dan membolehkan orang yang tertindas untuk melawan penindasnya. Sebagaimana Al-qur’an surat An-Nisa’ ayat 75 yang artinya;
Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdoa “Ya Tuhan Kami keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami perlindungan di sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.
Maka demikian, dari ayat-ayat tersebut, dapat dilihat bahwa Al-qur’an merupakan piagam kebebasan bagi kaum yang tertindas. Ayat Al-qur’an tersebut turun di mekkah disaat begitu masifnya penindasan bagi kaum yang lemah, miskin dan perempuan yang dipandang status sosialnya sangat rendah, dan sering diperlakukan semena-mena oleh kaum bangsawan, kaya dan kaum suku-suku yang kuat.
Dalam hal sosial ekonomi, Al-qur’an tidak menginginkan harta kekayaan itu hanya berputar di antara orang-orang kaya saja (surat Al-Hasyr ayat 7). Ancaman terhadap orang yang menumpuk dan menghitung-hitung harta telah disampaikan dalam Al-qur’an surat Al-Humazah. Ketika Nabi Muhammad saw mendakwahkan ajaran Islam di Mekkah, masyarakat di sana secara sosial bersitegang dengan beliau. Harta kekayaan menumpuk di tangan orang kaya tanpa ada keadilan distribusi. Sementara itu golongan masyarakat lemah tidak senang dengan hal itu, karena orang-orang kaya itu tidak peduli dengan fakir miskin dan anak yatim. Melihat kondisi itu Nabi Muhammad saw merasa sedih dan dalam dakwahnya Nabi Muhammad saw menyampaikan bahwa orang-orang kaya yang seperti itu disamakan dengan orang-orang yang mendustakan agama (Q.S. Al-Ma’un).
Konsep ajaran yang dibawa Rasulullah saw yang demikian itu, akhirnya menarik perhatian golongan lemah. Sehingga, mula-mula pengikutnya, selain keluarga dekat seperti Khadijah r.a. (istri beliau), Ali bin Abi Thalib r.a. (sepupu), dan juga Abu Bakar r.a. (teman sesukunya), ada juga dari kalangan budak dan hamba sahaya, di antaranya Sumaayyah r.a. yang saat itu merupakan budak dari Abu Jahal, Yasir r.a, serta anaknya Amar bin Yasir r.a. dan juga Bilal bin Rabah r.a.
Melihat semakin bertambahnya pengikut Nabi Muhammad saw, maka pemuka Quraisy menjadi gelisah. Mereka khawatir akan nasib kekuasaan mereka yang akan hilang jika Nabi Muhammad saw berkuasa. Oleh karenanya pemuka-pemuka Quraisy melakukan penentangan mulai dari olok-olokan dan makian hingga akhirnya menempuh jalan kekerasan.
Kondisi itu, akhirnya memaksa 11 kepala keluarga Mekkah bermigrasi ke Abissinia dan kemudian diikuti oleh sekitar 83 orang lainnya pada tahun 615 M. Tujuh tahun berikutnya, yaitu sekitar 622 M, Nabi Muhammad saw mengizinkan 200 orang pengikutnya untuk menghindari kekejaman Quraisy di Mekkah dan pergi secara diam-diam ke Madinah. Beliau kemudian menyusul bersama Abu Bakar r.a, dan sampai di Madinah pada 24 September 622 M. Kejadian ini kemudian dikenal dengan sebutan hijrah. Peristiwa hijrah, bukan sepenuhnya pelarian, namun sudah direncanakan sekitar 2 tahun sebelumnya. Selain itu masyarakat Madinah sebelumnya pernah mengundang Nabi Muhammad saw untuk tinggal di Madinah, karena mereka terkesan dengan setiap perkataan Nabi Muhammad saw, dan berharap nabi baru itu dapat mendamaikan suku mereka yang berselisih. Peristiwa hijrah tersebut, 17 tahun kemudian, oleh Umar bin Khattab r.a. ditetapkan sebagai awal tahun Islam, atau tahun Qamariyah.
Hijrah ke Madinah tersebut menjadi awal periode Madinah dan awal terbentuknya Negara yang dijalankan dengan syariat Islam. Penataan mula-mula yang dilakukan Nabi Muhammad saw adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin (orang Mekkah) dan Anshar (orang Madinah). Kemudian dengan silaturahmi yang sudah terjalin, Nabi Muhammad saw menanamkan kesadaran kepada kaum Anshar untuk menyerahkan sebagian tanah garapannya kepada kaum Muhajirin. Hal itu dilakukan mengingat kondisi Muhajirin yang pada waktu itu rentan karena tidak mempunyai harta maupun tempat tinggal. Demikian pula untuk kepentingan pembangunan masjid, masyarakat Madinah dengan rela menyerahkan tanahnya. Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa tatkala Rasulullah saw tiba di Madinah, maka penduduk Madinah telah menyerahkan seluruh tanah yang tidak terjangkau air kepada Rasulullah sehingga beliau dapat mengelola dan mengurusnya. Hal itu menunjukkkan bahwa pada saat itu telah terjadi praktik Landreform yang pertama, yang berlangsung secara sukarela.
Dalam perkembangannya, jumlah umat Islam terus bertambah, dan wilayah pun terus bertambah. Dengan kondisi itu, Nabi Muhammad saw kemudian melakukan beberapa kebijakan untuk mengokohkan kondisi ekonomi umat Islam. Di antaranya adalah kebijakan pemberian tanah dari tanah terlantar dan kebijakan menetapkan tanah untuk kepentingan umum (hima).
Sumber;
Philip K. Hitti, History of The Arabs, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014), hlm. 142-143.
Abu Ubaid Al-Qasim, Kitab Al-Amwal, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 367.
Haetami Ahmad, Ketua Presidium Keluarga Mahasiswa Cibaliung (Kumaung) Cabang Serang. Ig: Haetami A.