biem.co — Beberapa tahun lalu, sudah lama sekali, saya sangat sinis kepada slip gaji. Kesinisan itu karena pikiran saya yang sedang ruwet-ruwetnya melihat dunia kerja, seperti dunia orang-orang yang kehilangan Tuhan. Itu sebab pengalaman saya sebagai pekerja di suatu tempat, bukan sebagai gambaran umum yang mewakili semua orang yang bekerja dan semua tempat kerja.
Saya merasakan betul bagaimana kawan-kawan saya yang tampak baik-baik saja di depan, ternyata diam-diam menikam. Mereka ternyata suka menjelek-jelekkan saya. Saya sering memergoki momen itu tanpa mereka sadari. Itu juga bikin heran, sekumpulan laki-laki duduk bersama untuk bergosip. Bahkan ketika saya mengundurkan diri, sebulan sebelum surat pengunduran diri itu benar-benar disetujui, saya memergoki seorang teman berbicara kepada atasan saya.
“Biarkan Rois keluar, Pak. Lagipula kerjanya enggak bagus-bagus amat. Saya dapat mengerjakan pekerjaannya. Honornya bisa dilukir untuk tambahan saya.”
Seperti petir. Seperti petir. Saya merasa disambar petir. Bagaimana dia dapat mengatakan itu, padahal dia selalu membujuk saya agar tidak mengundurkan diri?
Tiba-tiba saya menjadi tidak ikhlas (ini kecelakaan yang semestinya tidak terjadi di dalam hidup saya). Terbayang bagaimana tugas-tugasnya selesai karena bantuan saya, bahkan beberapa tugasnya, sepenuhnya saya yang mengerjakan. Terbayang waktu dia dengan mengatakan bahwa dia tidak mengerti bagaimana cara membuat proposal, sehingga semua proposal yang ditugaskan kepadanya adalah proposal yang saya buat.
“Hallo! Ia Pak, proposal sudah saya kerjakan. Beres! Tugas mudah inimah, Pak!”
Saya mendengar obrolan melalui telepon seluler itu. Teman saya tidak ragu mengatakan itu meski saya tepat ada di depannya. Sebab saya memang telah rela. Tidak masalah. Tetapi tiba-tiba itu jadi teror. Kerja saya tidak bagus-bagus amat? Saya tahu, jauh dari kata bagus. Tetapi apa benar dia dapat mengerjakan pekerjaan yang biasa saya kerjakan? O Tuhan! Dia mengatakan yang sesungguhnya tidak dapat dia lakukan. Dia meminta tempat untuk mendapatkan gaji lebih yang dia sendiri pun tahu kapasitasnya tidak di situ.
Saya sebenarnya berusaha memahami, tidak sedikit pekerja melakukan tindakan semacam itu agar mendapatkan promosi jabatan, dan tentu saja kenaikan gaji yang berlipat-lipat karena tuntutan hidup yang berat. Tetapi saya masih kagetan, apatah lagi dilakukan teman sekantor saya. Itulah yang membuat perut saya mual dan kepala saya berdenyut kencang, sebelum akhirnya meledaklah sebuah pertanyaan yang sensitif:
“Tuhan hanya ada di slip gaji?”
Mulanya sebagai staf yang berada langsung di bawah atasan tertinggi di kantor, surat pengunduran diri saya antarkan langsung kepadanya.
Saya sangat yakin surat pengunduran diri saya tidak akan ditolak, karena saya mengerti betapa lelahnya memiliki bawahan yang sulit diatur dan sering protes seperti saya, meski di sisi lain, ia akan kesulitan mencari pengganti saya.
Saya tidak sedang mendemonstrasikan diri, saya hanya mengatakan apa yang mampu saya berikan dalam dunia kerja. Mencari orang yang mampu membuat konsep, proposal, peta pelaksanaan program, sekaligus mengawal pelaksanaan program tidak mudah. Ada orang yang mampu menjadi konseptor, tapi lemah sebagai pelaksana. Ada yang kuat sebagai pelaksana tapi kedodoran ketika memosisikan diri sebagai konseptor. Saya dalam hal ini, sudah terbiasa berada di dua posisi tersebut dan ini bukan kesombongan.
Tetapi rupanya atasan saya lihai juga mendramatisir pengunduran diri saya. Ia menunjukkan respon yang seakan-akan tidak rela.
“Kalau kamu keluar dari sini,” katanya atasan saya, ia berusaha betul untuk tetap tampak bijak. “Kamu mau makan apa? Orang-orang di luaran banyak yang susah makan, kamu sudah enak-enak, malah mengundurkan diri.”
Saya yang mulanya duduk santai dengan tatapan setajam golok (ini kebiasaan buruk saya jika berhadapan dengan orang yang tidak saya sukai dan berlagak berkuasa), seketika menegakkan dada.
“Tuhan di mana, Pak?” seloroh saya. “Slip gaji itu hanya kertas.”
Saya iba juga kepada atasan saya itu. Dunia terbuka menyimpan banyak kemungkinan. Jika kemungkinan-kemungkinan yang terbuka itu dianggap tidak ada, bumi yang dihuni 7 milyar manusia ini terasa sempit. Sesekali piknik, kan, tidak dosa. Setidaknya dia tidak terlalu asyik berada di ruang ber-AC yang ukurannya tidak lebih dari 10 meter kali 10 meter, sehingga tidak sempat memaknai laci ibu-ibu di pasar kelontongan atau para pemulung yang membawa karung di sekitar pembuangan sampah. Mereka tidak punya slip gaji, tapi mereka tidak ditinggalkan oleh Tuhan.
Untuk waktu yang cukup lama, setelah saya menjadi pengangguran yang hidup hanya dari karya-karya yang saya tulis, saya menjadi lebih sinis lagi kepada slip gaji. Saking sinisnya, saya pernah tertawa terbahak-bahak ketika menerima uang kembalian di sebuah warung kelontongan.
Saya memberikan uang Rp10.000 kepada seorang permpuan paruh baya, pemilik warung, kemudian pemilik warung itu memberikan dua potong roti seharga Rp4.000. Saya mendapat uang kembali sebanyak Rp6.000.
“Dari uang ke uang?” pikir saya lalu gegas tak terkendali, saya terbahak-bahak.
Perempuan itu terbengong-bengong. Saya makin terbahak-bahak karena kasihan kepadanya. Dia bingung, tapi saya tidak merasa perlu menjelaskan apa-apa. Saya pergi begitu saja. Lembaran kertas yang mudah lusuh, bau, dan menjengkelkan itu sebagian nilainya telah menjadi miliknya dan sebagian nilai masih milik saya. Saya berhasil memiliki roti yang ia miliki.
Sepanjang jalan masih saya terbahak-bahak. Saya bisa beli roti meski saya tidak lagi menerima slip gaji. Saya tidak mati. Saya hidup dan merasa biasa saja, kecuali kesinisan saya yang makin tidak biasa dan orang-orang di sekitar saya yang makin seperti beo: “Kamu tidak kerja? Kamu tidak kerja? Kamu tidak mau kerja?”
Beruntung ketika itu saya mengendari motor, sehingga orang-orang yang keheranan hanya dapat melihat wajah saya sekilasan. Lagipula walau tempat lahir saya tidak jauh, di Kota Cilegon saya tetap saja pendatang. Tidak banyak yang tahu, kecuali mereka yang membaca karya-karya saya—yang ketika itu belum banyak juga yang kenal—dan saya sedang tidak peduli.
Pikiran sinis itu sudah berlalu. Sudah lama sekali saya tidak besentuhan dengan slip gaji dan tidak lagi mempersoalkan orang-orang yang mendapat slip gaji. Semua orang ada di jalannya masing-masing untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semua orang memiliki kesempatan untuk menjadi bernilai, tergantung kepada bagaimana setiap pribadi menata niat dan menjalankan niat itu. Adapun orang yang menyakiti orang lain untuk mendapatkan uang lebih banyak, akan dihadapkan pada diri mereka sendiri, saya tidak sama sekali berhak memandang mereka dengan sinis.
Saya kini mengerti kesinisan membuat segala sesuatunya tampak tidak biasa dan cenderung dzolim, karena mengeneralisasi semua hal sebagai yang salah hanya karena satu kejadian. Barangkali beginilah cara Tuhan mendewasakan saya. Karena itulah, saya sering senyum sendiri memerhatikan anak-anak remaja yang dikuasai kesinisan. Barangkali itulah proses yang harus mereka jalani, sebelum pada akhirnya kelak mereka punya bahan yang baik untuk menertawakan diri sendiri, seperti saya. (rois)
Cilegon, 1 Maret 2018