Opini

Suku Baduy Dalam: Menapaki Jalan Setapak Untuk Melihat Lebih Dekat

biem.co – Saya kira, perjalanan ini hanyalah wacana. Karena banyak yang enggan untuk ikut. Ternyata tidak! Akhirnya perjalanan ini terlaksana. Kami menyusuri jalan setapak yang banyak orang merasa kapok atau malah ketagihan untuk kembali berkunjung. Sekadar untuk menenangkan diri dari hingar bingar perkotaan, atau ingin menambah konten di media sosial. Terserah. Hidup adalah pilihan, namun tetap tidak mengabaikan aturan.

Sampai di gerbang utama suku Baduy, desa Ciboleger. Saya dan kawan-kawan memulai perjalanan untuk sampai tujuan dengan berjalan kaki. Cukup menarik perhatian dimana ada satu tugu ucapan selamat datang, terselip kalimat “Gunung ulah dilebur, Lebak ulah di rusak.” Sebuah pesan yang mengingatkan kita semua bahwa alam yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa haruslah dijaga. Karena generasi yang selanjutnya juga membutuhkan sebuah tempat bernaung untuk melihat lebih dekat ke-esa-an dari-Nya.

Ini adalah kali pertama saya berkunjung ke desa Baduy Dalam. Banyak cerita yang tersimpan dalam benak. Perjalanan dari desa Ciboleger menuju perbatasan Baduy Luar dan Baduy Dalam sekitar 2 – 3 jam, dan untuk sampai ke desa Cibeo, total waktu yang ditempuh oleh kami adalah 4 jam.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Mulai melangkahkan kaki pada puluhan anak tangga, jalanan yang menanjak dan menurun saat cuaca terang benderang. Begitu sampai di desa Ciboleger kita disambut oleh langit yang mulai gelap, nyala pelita dari dalam rumah warga, udara dingin, dan gerimis.

Bertemu dengan Jaro (red: Lurah) Baduy Dalam yang bernama Jaro Sami sekitar pukul delapan malam. Beberapa dari kami berkunjung ke rumahnya untuk silaturahmi dan berbincang soal adat istiadat Baduy Dalam. Dari sekian pertanyaan yang dilontarkan oleh teman-teman, jawaban dari Jaro didominasi oleh pernyataan “Kita mengikuti aturan yang sudah tertulis dari nenek moyang.” Saya sempat mengerutkan kening akan jawaban dari pertanyaan ‘Mengapa orang Baduy Dalam tidak mau naik kendaraan?’ atau ‘Mengapa masyarakat Baduy Dalam tidak menerima tamu orang asing (red: turis mancanegara)?’ Dari hal-hal tersebut, ada bagian yang membuat menarik perhatian. Yakni tentang pendidikan untuk anak-anak, gotong royong, keyakinan, dan pernikahan suku Baduy Dalam.

Ada alasan mengapa anak-anak suku Baduy Dalam tidak bersekolah formal seperti anak-anak pada umumnya. Menurut Jaro Sami, anak-anak hanya dididik oleh kedua orang tua mereka. Anak perempuan mendapatkan pendidikan dari Ibu, diajari cara memasak, mencuci, dan melakukan pekerjaan yang biasa perempuan lakukan. Begitu pula dengan anak laki-laki mendapatkan pendidikan dari Ayah, mereka diajarkan cara berkebun, mengetahui jenis tanaman, dan sebagainya. Ada makna filosofis dari tegaknya rumah suku Baduy Dalam.

Rumah yang dibangun tanpa paku yang menancap serta hanya memiliki satu pintu, semuanya di anyam, dan diikat dengan tali yang terbuat dari sabut. Waktu yang dibutuhkan untuk membangun rumah juga terbilang singkat, hanya 2 hari. Kami yang ada didalam ruangan dengan temaram lilin tersebut hanya tercengang mendengar pengakuan Jaro. Semua tentang konsistensi dan gotong royong warga yang antusias dalam membangun sebuah rumah.

Terkait pertanyaan akan keyakinan yang dianut oleh masyarakat Baduy Dalam, mereka masih menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Ketika ditanya ‘apakah masyarakat Baduy Dalam menerima agama lain?’ maka jawaban dari Jaro Sami pun sama.

Hanya mengikuti apa yang sudah tertulis dalam aturan, plus jika memang salah satu warganya menerima ‘apa yang dibawa dari luar’ secara otomatis warga tersebut sudah menjadi suku Baduy Luar. Apapun itu bentuknya. Baik itu kebiasaan ‘baru’, teknologi, bahkan agama sekalipun. Termasuk jodoh. Hal yang satu ini membuat saya dan teman-teman makin mengerutkan kening sekaligus kagum. Bagi masyarakat suku Baduy Dalam, pria dan wanita yang sudah menginjak usia 18 tahun boleh menikah namun dengan cara dijodohkan. Setelah dijodohkan, mereka akan melangsungkan pernikahan, setelah menikah dan mempunyai keturunan mereka berdua tidak boleh bercerai apalagi sampai berpoligami.

Hal yang sangat perlu digaris bawahi dengan tinta stabilo warna biru. Sebuah peraturan ada karena pelanggaran dan penyelewengan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Bagi masyarakat awam yang hanya mengetahui suku Baduy Dalam tanpa datang langsung ke desanya, mungkin melihat hal tersebut sangatlah ‘memenjarakan’ diri sendiri. Namun bagi saya, apa yang dilakukan oleh masyarakat Baduy Dalam merupakan sebuah cerminan. Hubungan antara masyarakat kota besar dan suku pedalaman saling terikat satu sama lain.

Kita bisa mengambil contoh dari mereka bahwa peraturan ada bukan untuk dilanggar, melainkan untuk ditaati, dijalani dengan rasa ikhlas, dan saling menghargai satu sama lain. Melihat masyarakat Baduy Dalam seperti melihat mata air.

Sangat berguna bagi seluruh makhluk hidup. Mereka ada agar masyarakat kota bahkan pemimpin negara sekalipun tidak menutup mata dan telinga akan eksistensi mereka. Biarlah mereka ada dengan ramah tamahnya, dan kita sama-sama ikut menjaga alam di negeri ini bersama mereka. Terkadang, kita harus melihat sesuatu lebih dekat agar mengerti dan bisa menilainya lebih bijaksana.

Ciboleger – Cibeo,  16 – 17 Juni 2019

(Fs)

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button