biem.co — Blog The Huffington Post (HP) yang didirikan pada 2005 oleh Arianna cukup populer di dunia. Konten blog gratis tersebut dapat diisi siapa pun. Pada 2011, blog tersebut dijual ke AOL senilai US312 juta. Hasil penjualan, dinikmati sepenuhnya Arianna. Sementara para pengisi konten blog dengan sukarela, tidak mendapatkan apa-apa.
Jonathan Tasini, yang telah berkontribusi pada HP, mengajukan tuntutan $ 105 juta. Ia berargumen, Arianna selalu pemilik, secara tidak adil memperkaya diri sendiri dari kontribusi blogger yang selama ini tidak dibayar. Jawaban Arianna simpel saja, para blogger bekerja tanpa bayaran untuk bersenang-senang dan mendapatkan pengakuan.
Masih kata Arianna, para blogger HP berulang kali diundang stasiun televisi untuk membahas postingan mereka dan mendapat bayaran dari televisi yang mengundangnya.
Bukan cuma HP, konten platform Facebook, Instagram, dan media sosial lainnya juga dipasok pengguna secara gratis. Kemudian, data pengguna berupa profil dan perilaku online dijual ke klien. Pengguna telah memberikan nilai ekonomis kepada pemilik aplikasi. Sementara para pengguna, tidak dibayar Facebook, Google, Instagram, atau Youtube.
Mengutip Christian Fuchs dalam Social Media a Critical Introductions (2016), pengguna medsos telah dieksploitasi. Mereka adalah playbour, buruh yang bekerja berbasis keterampilan, pengetahuan, kreativitas, dan fun. Mereka memeroleh kesenangan meski harus meluangkan waktu berjam-jam dan mengeksploitasi diri sendiri. Buruh ini memerintahkan dirinya sendiri untuk memproduksi karya.
Istilah playbour digunakan Julian K pada 2005, yang menggambarkan pemain games sebagai jenis tenaga kerja gratis, yang sangat berbeda dengan tenaga kerja tradisional yaitu dibayar. Kemudian, Mark Zuckerberg, Sergey Brin dan Larry Page selaku pemilik Google dan Youtube, menjadikan playbour sebagai strategi agar pabrik mereka tetap berjalan serta meningkatkan produktivitas untuk memberikan nilai tambah terhadap kinerja perusahaan secara finansial.
Playbour merupakan implementasi logika kapitalisme, dimana penggunaan medsos untuk mengumpulkan sebanyak banyaknya reputasi, like, dan followers. Kapitalisme dalam medsos, tidak memberikan benefit ekonomi bagi pengguna medsos.
Pendapatan yang diakumulasikan dengan iklan online bukan milik produsen konten langsung, tetapi untuk pemegang saham medsos. Meski pada akhirnya banyak yang meraih benefit dari medsos, tapi lebih banyak posisinya sebagai playbour.
Sejak virus corona merebak, dosen melakukan kuliah online beraplikasi Classroom, Zoom, atau Skype. Dosen pun meng-upload data pribadi dan mahasiswa ke dalam aplikasi, termasuk materi pembelajaran. Sudah pasti, ratusan ribu bahkan jutaan materi kuliah dipasok para dosen ke dalam server aplikasi.
Dosen menggunakan aplikasi secara gratis. Lalu pengelola aplikasi akan mendapatkan data dan materi yang melimpah, juga secara gratis. Dalam konteks ini, dosen pun tidak dibayar oleh pemilik aplikasi. Mengutip Mark Zuckerberg, status dosen adalah playbour.
Pada sisi lain, Eric Yuan pemilik Zoom meraih keuntungan dari kerja para dosen, dan tentunya juga pengguna Zoom lainnya. Saham Zoom sejak 19 Februari naik 46 persen. Harga saham yang semula US$ 60 pada akhir 2019, sejak pandemi virus corona menjadi US$ 150. Kekayaan bersih Eric pun meningkat mendekati US$ 7milyar (Forbes, 1/4/2020).
Bagaimana dengan Classroom? Tidak jauh berbeda, hampir 50 juta aplikasi Classroom diunduh melalui aplikasi Playstore. Naiknya harga saham aplikasi tersebut, juga didorong persepsi investor yang memandang layanan aplikasi tersebut akan menjadi kebutuhan pokok di masa depan.
Dosen menggunakan aplikasi Classroom atau Zoom, dapat dilihat pada dua perspektif. Apakah dosen dieksploitasi tenaga kerjanya karena tidak dibayar pemilik aplikasi? Atau bentuk budaya partisipatif yang mengganjar para pengguna aplikasi dalam bentuk pengakuan?
Pada akhirnya, eksploitasi tenaga kerja bukanlah sebuah keharusan. Tapi merupakan konsekuensi komersialisasi internet yang terjadi pada sistem kapitalis. Mengutip Christian Fuchs, ini wujud korporasi berkontribusi dalam membentuk kesadaran bersama tentang sebuah perjuangan berbasis internet untuk kepentingan publik. Dan publik itu, diantaranya kita semua. {}
Penulis adalah Dosen Komunikasi Universitas Serang Raya.