Opini

Emyr Mochammad Noor: RUU HIP dan Kegagalan Memahami Pancasila

biem.co — Salah satu fenomena menarik yang kini sedang banyak diperbincangkan semua kalangan adalah kontroversi mengenai pembahasan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Perdebatan RUU HIP mendapatkan banyak kecaman keras dari berbagai kelompok. Kelompok ini berasal dari golongan Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, serta Majelis Ulama Islam (MUI) yang sangat menolak keras dengan adanya RUU HIP yang semula direncanakan akan menjadi UU HIP oleh DPR RI.

Dengan tidak dimasukannya TAP MPRS XXV/MPRS/1966 yang masih berlaku hingga saat ini menyiratkan bahaya laten tentang larangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme ke dalam draft Konsideran RUU HIP. Apalagi TAP MPRS XXV/MPRS/1966 berkaitan erat dengan sejarah Pancasila. Karenanya TAP MPRS semestinya menjadi rujukan, karena secara hierarki perundang-undangan berada di atas Undang-undang dan di bawah UUD.

RUU yang kini menjadi polemik di publik ini dinilai memiliki banyak kejanggalan oleh beberapa pihak. Sebabnya, Pancasila sendiri sudah final dan bisa dijadikan panduan dalam hidup berbangsa dan bernegara, sehingga tidak perlu lagi dituangkan dalam sebuah aturan Undang- undang.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Memaknai esensi Pancasila sebagai way of life perlu mengukur mentalitas atau kultur yang mampu mengintegrasikan kepentingan rakyat untuk hidup dalam ruang dan suasana dialogis dari kemungkinan-kemungkinan adanya konflik kepentingan elit. Kita melihat dengan telah disahkannya RUU HIP merupakan pertarungan kepentingan yang mampu mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendeknya, “teknologi kekuasaan” berhasil membangun “mental afirmatif” yang memang telah dengan begitu cerdik memanfaatkan sebagian besar rakyatnya yang beku terhadap keadaan politik saat ini.

Sedikit menyinggung kembali persoalan di atas, kegagalan pemerintah yang paling mendasar saat ini ialah usahanya untuk mengkooptasi berbagai makna yang bersifat prinsipil dan suara ke dalam sebuah kekuasaan yang tunggal. Berbagai perbedaan pola pikir selalu dipolitisir sedemikian rupa ke dalam pola kekuasaan dengan memperalat konsep “stabilitas nasional”, bukan karena alasan yang substansial.

Dari sinilah kita melihat bahwa kehadiran RUU HIP dapat memperlemah, bahkan kemungkinan terburuk adalah menghapus secara perlahan tata nilai dan norma-norma dasar sebagaimana yang tercantum dalam draft konsideran RUU HIP pasal 6 yang berbunyi: “Ciri pokok Pancasila yang terdiri dari asas Ketuhanan, Nasionalisme, dan Gotong Royong. Trisila dapat dikristalisasi dalam Ekasila yaitu Gotong Royong”. Juga muatan politis dalam RUU HIP ini dapat mengakibatkan citra yang buruk, karena simbol persatuan dan kesatuan akan menjadi kehancuran dan percahan sesama anak bangsa.

Hal ini dapat bisa kita analisis bagi kelompok yang dalam pembahasan tentang RUU HIP menaruh kepentingan dengan dalih ingin “membumikan Pancasila” atau “memasyarakatkan Pancasila” melalui berbagai sektor di seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi perlu kita ketahui bahwa usaha pengkooptasian atas perbedaan makna di dalam RUU HIP terhadap kelompok-kelompok yang turut berjasa merumuskan Pancasila saat itu akan tergerus akibat kekuasaan yang represif.

Publik pun kini bisa menilai secara perlahan di mana letak kekuasaan yang berdiri di atas legitimasi hukum dan mana kekuasaan yang sekadar memperalat hukum dengan alasan persatuan dan kesatuan bangsa. Pandangan bahwa kekuasaan yang banyak memerintah justru di situlah letak kelemahan menjadi “krisis kepercayaan”. Artinya, DPR RI harus tahu diri terhadap batas-batas kedaulatan hukum positif dan manakah daya-daya hukum normatif yang tidak boleh dicampuri atau dikooptasi oleh kekuasaan.

Untuk memaknai kembali konsep persatuan dan kesatuan dan agar ia sehat sebagai dasar bagi rakyat untuk hidup bernegara, tidak lain cara kecuali mengembalikannya pada bahasa rakyat sendiri. Jiwa reformasi tak lain tak bukan adalah kembali pada kedaulatan rakyat dengan visi memberdayakan suara-suara potensial untuk membangun masyarakat yang sehat (civil society). Di sini pemerintah harus tepat pada fungsi utamanya sebagai pengemban kedaulatan rakyat.

Bagaimana pun dalam negara, demokrasi rakyatlah yang menentukan hidup-matinya negara.

Hari ini kita melihat secara seksama bagaimana pemerintah memainkan peran atas eksistensi pada hukum-hukum formil yang kemudian diimplementasikan pada pembahasan yang begitu esensial terkait ideologi negara. Status Pancasila sebagai Grund Norm atau Philosophy Grondslag telah mengafirmasi bahwa Pancasila merupakan rangkaian nilai-nilai yang utuh untuk dijadikan pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada waktu yang begitu singkat mengenai pembahasan RUU HIP ini amat memancing kegaduhan terhadap publik. Bagi sebagian kelompok yang secara historis merasa telah berjasa dalam merumuskan dan meletakkan dasar negara akan sangat reaktif, apabila RUU HIP atas kajian hukum dan usulan DPR menjadi Undang-undang yang jelas akan menuai penolakan secara ekstrem akan dikecam oleh banyak kalangan.

Perlu diketahui bahwa proses yang silih berganti dalam perdebatan tentang penguatan ideologi negara justru dianggap upaya untuk melemahkan Pancasila sebagai dasar negara. Kemudian hal tersebut dapat sangat mudah terombang-ambing oleh arus pergolakan zaman dan dunia.

Bangsa seperti Indonesia karena belum berhasil menemukan sebuah tata nilai atau norma- norma dasar yang mantap bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, biasanya selalu berada dalam suasana tidak stabil, bingung akan tujuannya dan sering dirisaukan oleh kekacauan politik dan ekonomi. Hal tersebut sering mengundang pergantian kekuasaan secara inkonstitusional melalui kudeta atau perebutan kekuasaan

Belajar dari kekeliruan selama ini, kita perlu mengambil sikap bahwa janganlah wilayah ideologi-politik yang serba terbatas malah memaksa diri untuk membatasi wilayah yang lebih luas dan demikian kaya makna. Membekukan atau melemahkan Pancasila sama dengan membekukan kultural yang berujung pada pengingkaran atas realitas kehidupan itu sendiri. Di setiap sistem politik apa pun yang menentang hukum kemajemukan hidup ini akan terpental dengan sendirinya. (*)


Penulis merupakan Direktur Kajian Strategis dan Pembangunan Nasional Indonesian Public Policy Assembly (I.P.P.A).

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button