Banten Art Community, biem.co – Seorang bocah berlarian kecil di sekitar halaman komunitas literasi Damar 26. Pandangannya tak lepas dari jejeran cat beragam warna dalam berbagai wadah. Ia seperti tak sabar ingin segera memainkan cat itu. Menggambar apa saja yang ingin ia bentuk dari pikiran kanak-kanaknya. Tetapi orang-orang sedang begitu khidmat berdiri menghadap sebuah panggung minimalis yang menerakan sebuah banner bertulisakan “Jejak Masa”. Pameran baru sampai di acara pembukaan, belum saatnya bermain-main dengan warna. Kiranya bocah berusia 6 tahun-an itu cukup memiliki kesadaran untuk dapat menahan diri beberapa saat lagi.
Pada Sabtu pagi yang mataharinya menerabas sela-sela daun, hadirin berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya. Setelahnya seorang lelaki yang telah saya kenal, Indra Kesuma, dipersilakan oleh pembawa acara untuk menyampaikan sambutan. Sebagai pembina dari semangat perupa-perupa muda Banten ia berkata: “Seni menggambar telah membuat garis penghubung antara yang hidup dan yang mati. Antara yang fisik dan tak fisik. Keduanya menjadikan bahasa gambar sebagai jalan spiritual yang membangun sebuah keyakinan pada kekuatan sang pencipta alam. Dunia menggambar bukanlah dunia yang asing pada setiap orang. Secara tidak langsung ia sudah memengaruhi alam bawah sadar kita yang dapat muncul sewaktu-waktu sesuai kebutuhan. Semua itu dapat terlihat pada anak usia balita yang menciptakan alat komunikasi lewat tembok dan tanah.”
Sebuah pernyataan pembuka yang cukup magis. Ia menarik ingatan hadirin kepada apa yang sesungguhnya dipelajari manusia pada mula kelahirannya dari rahim seorang ibu. Ketika balita. Ketika kanak-kanak yang gemar mencoret tembok dan bermain tanah. Itu setidaknya membuat orang-orang merasa perlu lebih memperhatikan sesuatu yang mulanya dikira asing: menggambar. Itulah yang disebut self disclosure. Altman dan Taylor (1973) menyebutnya sebagai kemampuan seseorang untuk mengungkapkan informasi diri kepada orang lain yang bertujuan mencapai hubungan yang akrab. Derlega et. al (2013) menyebutnya sebagai proses pengungkapan informasi tentang diri seseorang kepada orang lain dan merupakan aspek penting dari komunikasi interpersonal untuk memiliki hubungan yang lebih dekat.
Dunia kesenian dan masyarakat pada hakikatnya tidak pernah jauh, bahkan sangat dekat karena kesenian itu sendiri lahir dari masyarakat. Hanya saja “perasaan keterlibatan” manusia pada kesenian seringkali tidak disadari kehadirannya. Kawan-kawan di pabrik pengolah baja, ibu-ibu di kampung yang memproduksi getuk lindri, agamawan yang senantiasa mengajarkan nadzoman, dan sekian banyak kegiatan di masyarakat kita adalah perwujudan eksistensi kesenian. Maka apa yang dipaparkan Indra tepat guna. Ia juga menjelaskan bagaimana sesungguhnya manusia suka pada gambar-gambar yang berikatan langsung dengan latar sosial budaya dan sesuatu yang menyimpan kenangan penting di dalam kehidupannya. Itulah mengapa, katanya, pameran ini penting hadir dan dihadiri untuk sama-sama merajut ingatan, nilai, dan harapan.
Cahaya semakin terang dan menyebar kemana-mana karena hari beranjak siang. Pak Jajang, penilik yang bertugas di Dinas Pendidikan Kota Cilegon mendapatkan giliran untuk menyampaikan sambutan. Hanya kebahagiaan. Itu yang ia sampaikan sambil menekankan bahwa apa yang dilakukan oleh Banten Art Community merupakan satu upaya merawat semangat kekaryaan. Semangat kekaryaan tidak selalu tentang “pendapatan”. Meski begitu, katanya, harga lukisan tidak memiliki batas nominal. Berapa pun harganya, para pecintanya akan rela membeli. Barangkali begitu pula tentang kebahagiaan yang ia sampaikan. Setiap manusia akan melakukan apa saja untuk menikmati hidup yang bahagia. Para perupa di tengah tantangan penerimaan dan apresiasi masyarakat yang masih antah-berantah tetap setia dan tekun, karena telah memilih dan pilihan itulah yang membahagiakan.
