Boyke PribadiKolom

Kolom Boyke Pribadi: Ironi Masyarakat Merdeka

biem.co — Minggu ini masyarakat Indonesia merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78 tahun sejak NKRI merdeka tahun 1945. Meskipun sejatinya peperangan melawan para agresor militer masih berlangsung pada tahun 1947–manakala Belanda melakukan tindakan yang berniat menduduki kembali Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947, terutama daerah yang memiliki sumber daya ekonomi seperti daerah perkebunan dan pertambangan minyak. Sebagai reaksi atas pendudukan tersebut, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi Nomor 27 Tanggal 1 Agustus 1947 yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.

Namun sesuai dengan watak imperialisme, meski telah mendapat teguran dari PBB, pada 19 Desember 1948 pagi, Belanda kembali menerjunkan pasukannya dan melakukan serangan udara di wilayah Yogyakarta untuk menunjukkan arogansi kekuasaan yang dimilikinya. Kedua tindakan pendudukan tersebut dikenal dengan istilah Agresi Militer Belanda I dan II. Hingga meskipun tanggal 17 Agustus 1945 telah diproklamirkan sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia, namun faktanya pada tahun 1948 para pemimpin bangsa diasingkan ke pulau pulau terpencil oleh pihak Belanda.

Setelah 1948, bangsa Indonesia bukan hanya berperang dengan penjajah, melainkan sesama anak bangsa yang melakukan pemberontakan dengan berbagai motif. Sebut saja pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948, pemberontakan DI/TII pada tahun 1949, upaya mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS) pada tahun 1950, Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta tahun 1958, dan Pembentukan Organisasi Papua Merderka (OPM) sejak tahun 1965 dan keberdaannya tetap di akui dunia internasional hingga kini.

Pertanyaan besar yang ada di benak kita adalah: Benarkah seluruh elemen bangsa, negara, serta masyarakat Indonesia telah benar-benar merdeka pada hari ini?

Bila yang dimaksud kata merdeka itu adalah tidak adanya tekanan secara fisik dari pihak penjajah, maka jawabannya adalah kita telah merdeka. Namun bila kata merdeka dimaknai sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang berarti bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); atau tidak terikat, tidak bergantung kepada orang, maka bukankah hari ini sebagian besar dari kita terikat dan tergantung pada  produk impor atau bahkan beberapa saudara kita menghamba kepada majikan sebagai tenaga kerja indonesia di luar negeri?

Kalimat klise di atas sesungguhnya sebuah fakta yang dialami oleh kita semua pada hari ini. Pada tingkat personal, bagaimana ketergantungan kita terhadap teknologi komunikasi dan informasi yang merupakan hasil produksi bangsa lain. Dan pada tingkat negara, dapat dihitung berapa banyak hutang luar negeri yang kita miliki, sehingga harus membayarnya dengan berbagai kebijakan yang disetir oleh negara asing dengan maksud memberikan keuntungan strategis bagi pihak asing tersebut.

PILIHAN EDITOR

Baca juga tulisan-tulisan lain Boyke Pribadi ini:

Menjual Janji Pilkada

Mimpi yang Mempersatukan Kita

Bebas, Merdeka, dan Bangga Menjadi Indonesia

Kalau kita renungkan, sejak bangun tidur di pagi hari hingga hendak tidur di malam hari, seluruh aktivitas kita tidak lepas dari produk-produk asing. Ketika bangun tidur, kita minum air mineral yang bersumber dari negara kita namun sahamnya dimiliki oleh perusahaan asing. Ketika sarapan, kita menggunakan sereal dengan merek asing. Mengirimkan pesan menggunakan ponsel dan aplikasi yang dimiliki asing. Lalu pergi ke kantor pun menggunakan mobil dengan merek asing. Sesampainya di kantor, naik lift yang di buat pabrik asing. Ketika duduk di kantor, langsung menyalakan komputer yang software-nya dibuat oleh perusahaan asing. Makan siang di restoran cepat saji yang merupakan waralaba dari negara asing. Bahkan ketika buang air pun, kita masih bergantung pada closet dengan merek asing. Sampai menjelang tidur, mata kita pun tak lepas dari televisi yang dibuat atas nama perusahaan asing.

Ya, tanpa kita sadari, apa yang kita konsumsi dan kita kerjakan maka selalu ada aliran keuntungan bagi negara negara lain sebagai pemilik merek yang kita gunakan untuk menjalankan kehidupan kita sehari hari. Artinya, kita sedang dijajah secara ekonomi oleh pihak asing.

Pihak asing tersebut tidak perlu menerjunkan tentaranya untuk berperang melawan kita dalam rangka menduduki atau menguasai wilayah NKRI. Mereka cukup mengalirkan uang, dan sukses menjadikan warga Indonesia sebagai pasukan milik mereka. Ada benarnya yang dikatakan Soekarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri.”

Ada yang menarik dengan kata-kata yang diucapkan presiden pertama Indonesia tersebut, kita hari ini tidak pernah diributkan dengan persoalan dengan bangsa asing, namun lebih hiruk pikuk dengan keributan dengan sesama anak bangsa. Mulai dari keribuatan antarkampung, antar-supporter sepak bola, hingga antarpendukung pada saat pemilihan umum, baik pemilihan legisltatif, pemilihan presiden, hingga pemilihan kepala daerah. Padahal yang berkompetisi adalah sesama anak bangsa dalam rangka menjadi yang terbaik.

Bahkan yang lebih unik, di suatu daerah di Indonesia, ada sekelompok anak bangsa dan masyarakat yang merdeka, namun kehidupannya ditentukan dan diatur oleh beberapa orang yang tidak merdeka karena sedang berada di balik jeruji besi. Bukankah ini sebuah ironi?

Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

Yang penting mari kita pekikkan kata “Merdeka!!!” [*]

Editor: Irvan Hq


Boyke Pribadi, lahir di Bandung, 25 Juli 1968. Adalah dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, alumni Taplai Lemhannas, serta aktif menulis artikel tentang politik, ekonomi, dan pelayanan publik. Saat ini menjadi Anggota Tim Pemeriksa Daerah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (TPD-DKPP) Provinsi Banten serta sebagai Penggagas scenario planning Banten 2045.

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button