Kabar

Dari 51 Ribu Penduduk Banten yang Buta Aksara, Warga Baduy Tidak Termasuk

KOTA SERANG, biem.co –  51 ribu dari total jumlah 11 juta penduduk Banten, sampai saat ini menderita buta aksara. Kendati menurut data yang dihimpun Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi Banten, mayoritas penderita berada di pelosok Banten Selatan, namun ternyata penduduk desa wisata Baduy yang berjarak sekitar 100 kilometer dari ibu kota Banten, bukan termasuk di dalam angka tersebut.

 

Baca juga: Buta Aksara di Banten Mencapai 51 Ribu Jiwa

Direktur Banten Heritage, Dadan Sujana, sebuah lembaga swdaya masyarakat di Banten yang bergerak di bidang sejarah, mengungkapkan, saat ini ratusan penduduk desa wisata Baduy, yang berlokasi di Kampung Cibeo, Cikeusik dan Cikatawarna, Kabupaten Lebak, Banten, sudah mampu membaca dan berhitung, walaupun tidak bersekolah.

"Mereka memang tidak sekolah semua, bahkan dilarang bersekolah. Kondisi ini bukan lantas mereka juga dilarang belajar. Warga baduy belajar membaca dan menulis serta berhitung, terutama mereka yang berada di kawasan Baduy Luar," kata Dadan Sujana ditemui di kediamannya yang berlokasi di Taman Sari Kota Serang, Senin (21/3/2016).

Menurutnya, kemampuan baca tulis dan hitung warga Baduy itu, lantaran banyaknya program yang dilakukan pemerintah dan lembaga sosial di kampung mereka. Dadan menuturkan, salah satu bukti warga Baduy kini telah memiliki ponsel dan mahir berkirim pesan singkat melalui SMS.

"Orang Baduy sudah memiliki hape. Dari mana mereka mengetahui huruf dan angka. Saya SMS juga balas. Sebelum program keaksaraan fungsional bermunculan, banyaknya turis telah mendorong inisiatif warga Baduy belajar secara otodidak seiring perkembangan zaman," kata Dadan.

Dadan menjelaskan, ada pun faktor yang sampai saat ini yang masih menjadikan bersekolah sebagai sesuatu yang tabu bagi masyarakat Baduy, adalah program pemerintah yang masih dinilai berbau formal. Ia menilai, program-program yang diterapkan mengharuskan warga Baduy berkumpul di sebuah tempat layaknya di dalam kelas, ini mengharuskan mereka meninggalkan aktivitasnya masing-masing.

"Jadi memang mereka harus menggunakan persuasif. Tidak bisa mereka dikumpulkan di suatu gedung, di depan papan tulis untuk diajarkan. Sebaliknya, harusnya mereka diajarkan dengan perlahan dan alamiah. Sebab, bagi warga Baduy, bersekolah berarti meninggalkan pekerjaan selama satu hari sebagai mata pencahariaannya.

Bagi mereka kalau tidak digarap satu hari, berarti satu hari tidak makan," kata Dadan.

Untuk diketahui, warga Baduy di tiga desa itu sendiri terbagi atas dua kelompok, Baduy Luar dan Baduy Dalam. Perbedaannya terletak dari budaya yang masuk. Baduy Dalam sampai saat ini masih memegang teguh kepercayaan dan adat istiadat leluhur untuk tidak menggunakan dan menerima kebudayaan luar desa, apalagi teknologi.

Sementara, warga Baduy Luar telah mengenal produk-produk berteknologi seperti kipas angin, air, dan makanan dalam kemasan. Mayoritas dari mereka bermata pencaharian sebagai wiraswasta dan mengandalkan wistawan yang datang berkunjung ke desa mereka setiap harinya. (rizki)

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button