CerpenInspirasi

Cerpen Agus Hiplunudin: Ustadz dan Kupu-kupu Malam

 

Cerita Pendek Agus Hiplunudin

 

Selekas shalat Magrib berjemaah di surau tua samping rumahnya, Ustadz Samin lekas pulang ke rumah, seraya masuk kamar dan membaca helai-helai ayat suci Alquran di situ. Isya menjelang ia kembali ke surau, sebab jika bukan dia, tak seorang lelaki pun yang berani jadi imam.

 

Selekas shalat Isya, ia bergegas pulang. Kali ini ia tak masuk kamar dan membaca ayat suci Alquran di situ. Namun, ia duduk di kursi kayu, setelah Nok Darti, anak gadisnya, menghidangkan secangkir air kopi yang masih mengepul di atas meja depan kursi kayu tersebut. Ustadz Samin menyeruput air kopi beberapa seruputan. Nampak begitu nikmat sebab pasang matanya hingga merem melek. Ustadz Samin tak merokok, sebab menurutnya rokok itu membunuh manusia secara perlahan, bahkan saking fanatiknya ia mengharamkan barang tersebut.

 

Adapun hubungan pergaulan antara Ustadz Samin dan Nok Darti putri semata wayangnya yang telah menjadi yatim semenjak dua tahun yang lalu itu—mereka seringkali bertengkar bagai kucing dan anjing. Saking kerapnya pertengkaran yang terjadi di antara keduanya, jumlah pertengkaran mereka berderet sebanyak tiang listrik yang berjejer di jalan desa. Bermula dari hal yang sepele; Nok Darti kendati perempuan, ia tak segan-segan menghisap rokok mild di depan pasang mata ayahnya yang mengharamkan benda tersebut. Dan pertengkaran tersebut akan bersambung pada keesokan harinya karena Nok Darti sering keluar rumah; dari pukul sembilan malam dan nanti pulang selepas adzan Subuh berkumandang.

 

Seperti malam itu, Nok Darti mengeluarkan sebungkus rokok mild dari saku celananya, mengambilnya sebuah, dan menyulutnya. Dihisapnya dalam-dalam mild itu, membuat ayahnya naik pitam. Pertengkaran pun terjadi, dan berakhir setelah jam yang menempel di dinding telah menunjukkan pukul sembilan nol-nol. Terdengar suara pintu menggelegar, sebab ditutup dengan menggunakan tenaga penuh oleh Nok Darti yang pergi, minggat dari rumah. Entah hendak ke mana?

 

Sepergi putrinya, Ustadz Samin mengelus dadanya sendiri, ia merasa telah kehabisan cara untuk mendidik anaknya agar menapaki jalan yang lurus. Adapun keinginan Ustadz Samin sesungguhnya tak banyak; ia ingin anak gadisnya berhenti merokok, juga berhenti keluyuran malam. Atas tingkah laku anaknya tersebut, Ustadz Samin merasa malu pada para ibu-ibu pengajian yang diceramahinya di surau tua, pada tiap hari Jumat dari pukul delapan pagi hingga pukul sebelas siang. Terbayang saja dalam benak Ustadz Samin betapa para ibu-ibu jemaahnya itu mencemooh di belakang, dengan mengatakan bahwa sang ustadz hanya bisa mendidik orang lain, sedangkan anaknya sendiri tak terurus.

 

Ustadz Samin mengakhiri lamunannya, ketika seekor kupu-kupu bersayap aneka warna hinggap di pangkuannya. Ustaz Samin hendak menangkap kupu-kupu cantik tersebut, namun ia terbang menghindar, dan hinggap di ujung atas jam dinding yang menempel di atas pintu kamar anaknya.

 

“Kupu-kupu malam,” gumam Ustaz Samin sedangkan pasang matanya terpaut pada hewan bersayap indah tersebut.

 

Ustadz Samin terhenyak, kata orang; rumah yang dihinggapi kupu-kupu adalah rumah yang sejenak lagi dikunjungi tamu, tetapi ia tidak begitu percaya dengan hal itu, sebab tak aneh jika ada kupu-kupu yang masuk kedalam rumah, apa lagi rumahnya itu terletak di belakang hutan di mana tempat aneka kupu-kupu berterbangan, dan kupu-kupu yang masuk kedalam rumahnya malam ini, tak lain adalah seekor kupu-kupu yang kebetulan tersesat, ia lupa jalan pulang.

 

Ustadz Samin masuk ke kamar, ia merebahkan diri di atas kasur beranjang, tak lama berselang ia merasa tubuhnya terapung, melayang ringan di udara, ia telah dibawa terbang, sebuah mimpi.

 

Sebelum adzan berkumandang, Ustadz Samin telah berada dalam surau, menunaikan shalat sunah di situ. Adzan subuh berkumandang didengungkan oleh seorang lelaki tua, marbot surau itu, suaranya yang parau jauh dari kata merdu, bukannya membuahkan pujian melainkan berbuah gerutuan dari orang-orang yang terusik tidurnya, oleh suara adzan tersebut.

 

Ketika Ustadz Samin pulang ke rumah, seraya ia menengok kamar anak gadisnya, terlihat Nok Darti sedang meringkuk tubuhnya melingkar bagai seekor kucing betina yang sedang berbaring. Ia baru pulang. Entah lekas dari mana? Dan lagi Ustaz Samin naik pitam, dan lagi pertengkaran itu terjadi, sehingga para tetangga pun telah terbiasa mendengar pertengkaran ayah dan anak tersebut.

 

Pada suatu malam Jumat, selekas menunaikan shalat Magrib, di mana waktu yang begitu tepat dan sakral untuk membuka keropak surau tua itu. Adapun yang membukanya adalah Ustadz Samin dan Amil Madsupi—marbot tua surau tersebut. Mereka adalah orang terpilih yang dikhususkan membuka keropak itu. Pasang mata Amil Madsupi terbelalak tak berkedip menyerupai mata seekor belalang, demikian juga dengan mata Ustadz Samin. Mereka tak pernah melihat uang sebanyak itu; tampak oleh mereka uang pecahan lima puluh ribu rupiah dan bulatan seratus ribu rupiah berjejal memenuhi keropak yang tutupnya telah terbuka. Dikumpulkanlah uang tersebut, sedangkan mulut mereka tak henti-hentinya berdecak kagum, memuji kedermawanan orang yang telah menyisihkan hartanya demi kehidupan rumah Tuhan.

 

Malam Jumat berikutnya, seperti halnya malam Jumat kemarin, keropak dalam surau tua kembali dijejali uang yang begitu banyak, bagi ukuran Ustadz Samin dan Amil Madsupi.

 

Hingga tujuh Jumat berturut-turut. Sehingga Ustadz Samin dan Amil Madsupi merasa bingung, mau diapakan uang sebanyak itu? Digelarlah musyawarah warga kampung, dipimpin langsung Ustaz Samin. Hasil musyawarah tersebut dengan suara bulat, menyatakan; bahwa uang tersebut baiknya dipakai untuk merenovasi surau, tujuannya agar surau yang telah tua uzur supaya bisa kembali muda.

 

Keesokan harinya renovasi surau yang telah condong mau runtuh itu mulai dikerjakan. Belasan hari kemudian, surau tua itu sudah kembali muda. Para warga setempat semakin betah beribadah dalam surau, bahkan Ustaz Samin yang biasanya selekas shalat Magrib dan Isya bergegas pulang namun kini tidak, ia begitu betah membaca ayat suci Alquran dalam surau indah tersebut.

 

Malam itu, Ustadz Samin selekas dari surau, ia duduk di kursi yang biasa di dudukinya, Nok Darti pun seperti biasa menghidangkan secangkir kopi panas untuk diseruput ayah semata wayangnya. Seperti biasa pula ketika jam yang menempel di dinding telah menunjukkan pukul sembilan nol-nol, Nok Darti keluar rumah.

 

Ustadz Samin menghela napas panjang dan memijit-mijit dadanya sendiri, ia mulai dirambati putus asa, sebab putrinya tak pula berubah, ia tetap begitu, menghisap rokok, keluar malam dan baru pulang ketika hari telah dini, dan juga membangkang pada orangtua. Lamunan Ustaz Samin seketika buyar ketika seekor kupu-kupu bersayap indah hinggap di pundaknya, kali ini ia tak mencoba menangkap kupu-kupu tersebut namun ia memandanginya begitu lekat. Tak lama berselang makhluk bersayap indah tersebut kembali terbang, dan hinggap di ujung atas jam dinding yang menempel di atas pintu kamar Nok Darti. Pemandangan itu bukan hanya terjadi sekali dua kali, namun terjadi berulang kali, seminggu bisa mencapai empat kali. Namun, kehadiran kupu-kupu dalam rumah yang kata orang merupakan sebuah tanda bahwa rumah tersebut akan dikunjungi tamu, tetapi hingga detik itu, tak ada seorang tamu pun yang datang ke rumahnya. Dan pikiran Ustadz Samin kembali ke hutan yang terdapat di belakang rumahnya, ia mengira bahwa kupu-kupu tersebut sedang lupa menuju jalan pulang.

 

Malam itu Ustadz Samin enggan terpejam, beberapa hari ini ia merasa penasaran; siapakah manusia dermawan yang mengisi kotak amal dalam surau? Dan, malam itu, malam Kamis.

 

Ustadz Samin bangkit dari berbaringnya, ia ke luar menuju surau di samping rumahnya. Namun tak masuk, ia menyembunyikan tubuhnya di balik serumpun pisang ambon yang rindang dan gelap. Maksud hati mengintip orang dermawan yang menyisihkan hartanya demi kelangsungan rumah Tuhan. Dari balik rumpun pisang tersebut, jelas terlihat olehnya; sesosok perempuan masuk kedalam surau. Ustadz Samin segera ke luar dari tempat persembunyiannya, ia berdiri mematung di ambang pintu dan pasang matanya terpancang pada seorang perempuan yang lagi berjongkok di mana tangannya yang mungil dengan cepat memasukkan helai-helai uang kedalam kotak amal surau tersebut.

 

“Anakku, Nok Darti!” gumam Ustadz Samin, ia nyaris tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya.

 

“Bapak!” desah suara Nok Darti.

 

Pada sepertiga malam itu, ujungnya Ustadz Samin dan anak gadisnya masuk kedalam rumah mereka.

 

“Kenapa kau memasukkan uang-uang itu dengan cara sembunyi-sembunyi?” tanya Ustadz Samin terkesan lemah lembut.

 

“Aku hanya ingin memberi tanpa harus dilihat orang lain.”

 

“Oya. Dari mana uang sebanyak itu?”

 

Nok Darti terdiam, selang seperapat menit, ia berujar;

 

“Bapak, hewan apakah yang menempel di ujung atas jam dinding itu?”

 

“Kupu-kupu, kenapa?”

 

“Sekarang siang atau malam?”

 

“Malam!”

 

“Jika disambung?”

 

“Kupu-kupu malam,” gumam Ustaz Samin.

 

Muka Ustadz Samin merah padam, amarah bergemuruh dalam dadanya, hingga bergolak dalam kepalanya.

 

“Anak laknat, umpan neraka!” umpat Ustadz Samin ditujukan pada anak gadisnya.

 

“Bapak, delapan kilo meter ke utara dari kampung kita. Di sana ada sebuah kota agak besar, tepat di tengah kota itu, kau akan melihat sebuah mesjid yang begitu besar, mesjid tersebut tak pernah sepi dari orang yang beribadah menyembah Tuhan. Tahukah Bapak siapakah yang membangun mesjid tersebut?”

 

Namun, Ustadz Samin tak menjawab pertanyaan dari anak gadisnya, ia berdiri bagai seonggok patung batu.

 

“Pak Su. Dialah orang yang mendirikan mesjid megah tersebut. Pak Su salah satu anggota parleman kota, yang sore tadi masuk penjara karena terbukti korupsi. Atas kejahatannya itu, dua rumahnya telah disita oleh pihak yang berwajib, sebab rumah tersebut terbukti pembeliannya bersumber dari tindakan korupsi pencucian uang. Seandainya mesjid besar itu bukanlah tempat ibadah, sudah pasti mesjid tersebut telah disita oleh pihak yang berwenang!”

 

“Kau tahu dari mana?”

 

“Pak Su adalah salah satu tamuku. Ia pelanggan setia khusus untukku, katanya ia selalu rindu pada aroma tubuhku, jika telah seminggu tak menjumpaiku! Karenanya sebagian rahasia Pak Su, aku tahu.”

 

“Apakah kau kira, Tuhan memerlukan rumah dan jika kau mendirikan rumah-Nya kau akan terlepas dari segala dosa? Apakah kau kira Tuhan bisa kau tipu dengan cara membuatkan-Nya rumah yang megah?”

 

“Tidak Bapak, aku tahu Tuhan tak memerlukan rumah, sebab semesta ini pun milik-Nya. Namun manusialah yang memerlukan rumah, rumah yang mereka anggap sebagai rumah Tuhan itu!”

 

Keesokan harinya Ustadz Samin tak nampak dalam surau, namun para penduduk kampung tak ada yang peduli, mereka terlalu asyik berdzikir dalam surau. Salah satu penduduk kampung sebelah yang baru pindah ke kampung itu tampil sebagai imam shalat, menggantikan posisi Ustadz Samin. Semenjak kehadiran penduduk baru itu, Ustadz Samin tak pernah lagi nampak dalam surau, dan orang tersebut begitu bersemangat berceramah agama dalam surau tua yang sudah direnovasi itu.

 

Banten, 27 Juni 2016


Agus Hiplunudin, pria kelahiran 1986 di Lebak-Banten, adalah lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten, pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pernah menulis artikel di Radar Banten penempatan Serang, berkantor di Serang, Pedoman News berkantor di Jakarta, penempatan di Kota Probolinggo, Jawa Timur. Pernah menjadi pembimbing ekstrakulikuler jurnalistik di Aliah Al Ishlah, Pandeglang-Banten.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button