InspirasiOpini

Ahmad Yani: Jakarta, Dari Monolog Menuju Madani

Oleh: Ahmad Yani

Satu bulan sudah Gubernur dan Wakil Gubernur secara resmi melaksanakan kewajibannya sebagai pemimpin di Provinsi DKI Jakarta. Meskipun sudah tidak lagi dalam suasana kompetisi, bukan berarti saling ganjal dan saling membangun opini negatif terhenti. Kalau anak sekarang bilang, masih ada kelompok tertentu yang belum “move on”. Semestinya, yang perlu dilakukan saling mendukung, sehingga Anies-Sandi dapat menuntaskan program-program kepemimpinan sebelumnya yang belum selesai pengerjaannya, seiring dengan itu, Anies-Sandi juga dapat menunaikan janji-janjinya ketika masa kampanye.

Tapi inilah realitas politik, realitas yang sulit diterima oleh pihak yang kalah. Nikmatnya berkuasa, menyakitkan ketika kekuasaan lepas dari genggaman. Namun sangat berbeda ketika kekuasaan dikendalikan oleh sosok seperti Anies, jauh dari perilaku arogan, jauh dari sikap keberpihakan pada aktor di luar negara dan jauh dari sifat ambisi ingin menguasai. Bahkan beberapa kali, Anies dapat menyelesaikan masalah tanpa harus melahirkan masalah dan yang sangat disadari oleh Anies, dia tidak ingin terjebak dalam situasi ironi politik dan nomadisme politik, seperti yang dilakukan Gubernur sebelumnya.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Di dalam dunia hukum, ironi hukum adalah kondisi ketercabutan hukum dan kebenaran dan keadilan, sehingga hukum berjalan melalui logikanya sendiri, yaitu logika nomadisme hukum. Lembaga hukum justru menggiring pada inkonsistensi hukum, dengan sibuk menciptakan simulasi keadilan, yang tujuan utamanya adalah menciptakan citra keadilan bukan realitas keadilan. Akibatnya, antara satu keputusan hukum dengan keputusan hukum lainnya tidak ada konsistensi, disebabkan perbedaan kepentingan di belakang wacana hukum.

Monolog

Monologisme dalam pendekatan komunikasi akan memunculkan satu sikap yang negatif, ketidakpedulian terhadap orang lain, sikap mendahulukan kepentingan sendiri, will of power yang tidak terbendung, sikap tidak mau menerima kekalahan secara sportif, sikap intoleran terhadap kelompok lain. The politics of monoligsm, setiap orang hanyut pada kepentingannya sendiri. Inilah wajah Jakarta ketika Anies-Sandi belum menjabat orang nomor satu di Jakarta. Semua komunikasi hanya berlaku untuk kelompok di luar kepentingan negara, komponen publik (masyarakat) Jakarta dengan berbagai ragamnya tidak menjadi bagian yang harus diberikan ruang, dan yang tidak sepaham akan dimarginalisasikan.

Secara konsep negara, akibat dari keberpihakan yang salah dari otoritas politik negara (Gubernur), negara menjadi predatory state. Negara yang hanya dikuasai oleh aktor-aktor politisi dan pengusaha tidak lain untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dari kebijakan publik untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya (Deliamov, 2006:68). Bahkan tidak sungkan ironi hukum maupun nomadisme hukum sangat mudah untuk dipermainkan, bukan untuk kepentingan warga negara tapi untuk kepentingan pengusaha atau pengembang. Pengembang atau pengusaha diberikan fasilitas kemudahan, namun tujuan untuk menyejahterakan warganya dipersulit, bahkan tidak sekali tindakan represif digunakan dengan menggunakan alat negara.

Apa yang berlangsung dua tahun terakhir, Jakarta diwarnai dengan suasana ketakutan, suasana horor bagi siapa saja yang tidak mematuhi. Berbagai bentuk kekerasan, kriminalisasi kelompok tertentu, serta wacana-wacana hoax dan kebencian tidak dapat dipisahkan dari monolog-nya politisi dan pengusaha. Negara dan warganya dibuat paranoid, setiap kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan berulang-ulang semestinya menimbulkan trauma dan rasa takut. Namun upaya ini justru melahirkan satu kesadaran dalam bentuk gerakan sosial atau politik perlawanan. Perlawanan warga Jakarta secara konstitusi tidak dengan cara merusak.

Madani

Madani secara bahasa memiliki makna beradab. Masyarakat madani, masyarakat yang mampu berdiri sendiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara, baik perorangan maupun berorganisasi. Manakala terdapat persinggungan, diperlukan dialog sebagai wujud penyampaian, penyaluran dan selanjutnya dilaksanakan. Ruang inilah bentuk konektivitas antara otoritas politik dengan publik. Dari perspektif Ilmu Sosial Barat Kontemporer, negara dibayangkan sebagai konektivitas warga negara yang memiliki status sipil, politik dan sosial tertentu (T. K. Oomen, 2009:36) sangat menentukan wajah baru Jakarta.

Apakah mengubah wajah Jakarta dari monolog ke madani dapat terbentuk? Dalam menciptakan Jakarta yang madani, berbagai bentuk persiapan tampaknya harus disiapkan dan dijalankan. Jika kita perhatikan upaya ini akan menjadi hal yang tidak mustahil terwujud. Masyarakat saat ini sedang digiring untuk selalu dapat berkomunikasi dengan gubernurnya, gubernurnya menyambut komunikasi warganya dengan porsi lebih besar. Otoritas politik yang lebih mengutamakan warga negaranya untuk sama-sama membangun Jakarta. Lipson mengatakan, inilah demokrasi yang telah diinterpretasikan sebagai sebuah sistem politik yang mencari dan mengarahkan gerakan masyarakat dalam mencapai peradabannya. Tentu berbeda dengan Gubernur sebelumnya.

Keinginan untuk mengubah wajah Jakarta tidak cukup tanpa diiringi dengan pendekatan humanis yang dilakukan oleh seorang Anies. Sikap humanis yang dikedepankan oleh Anies bagi warganya bukan saja menyelesaikan masalah antara negara dengan warganya akan tetapi menunjukkan nilai kemanusiaan yang cukup tinggi. Seperti yang terlihat, ketika Anies menyelesaikan masalah pembebasan lahan di Jalan Haji Nawi yang selama ini menjadi hambatan penyelesaian pembangunan MRT, tanpa melalui pengadilan apalagi tindakan represif. Begitu pun juga terhadap warga Kampung Duri yang memenangi perkaranya di pengadilan, sebagai otoritas tertinggi di Jakarta tidak melakukan upaya banding meskipun itu bisa dilakukan. Inilah sikap yang menghindari terjadinya monopoli negara dari satu kelompok masyarakat yang dapat mengakibatkan terjadinya ketidakadilan bagi kelompok lainnya

Jurgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere, tiga bentuk kepentingan dan otoritas publik, kepentingan kaum borjuis (kapitalis), intelektual dan publik (Jurgens Hubermans: 1991:18). Anies ketika disayangkan bahkan dikritik dalam forum intelektual kelompok Katolik, tidak serta-merta menunjukkan respon negatif, bahkan menunjukkan keberpihakannya kepada kaum intelektual yang syarat dengan perbedaan cara pandang pemikiran maupun orientasi politiknya.

Setidaknya, keberpihakan Anies lah kunci untuk mengubah wajah Jakarta, bagaimana menggeser dari monolog ke madani meskipun tidaklah mudah, apalagi ketika ironi politik dan nomadisme politik telah ter-kotak dalam ironi hukum dengan logika nomadisme hukum. Namun kita perlu apresiasi dan bangga dengan sikap Anies yang selama satu bulan menjabat memperlihatkan akan meninggalkan wajah monolog nya Jakarta ke arah Jakarta yang madani secara berlahan untuk membangun kotanya sejahtera warganya.


Penulis

Ahmad Yani, Mahasiswa Program Doktor Hukum UNPAD dan Anggota DPR RI Periode 2009-2014.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button