Kabar

Akses ke Masjid Ditutup Pihak Hotel, Warga Bhayangkara Gunakan Tangga untuk Bisa Salat

KOTA SERANG, biem.co Sobat biem, meski akses jalan ke Masjid Al-Istiqomah yang beralamat di Bhayangkara RW 08, Kelurahan Sumur Pecung ditutup oleh pihak Manajemen Hotel Le Dian, warga tetap melaksanakan salat di masjid tersebut.

Untuk bisa melaksanakan ibadah lima waktu dan kegiatan keagamaan, warga berinisiatif menggunakan tangga untuk menaiki gerbang yang menutup akses jalan ke masjid.

Salah satu warga yang juga diamanatkan memegang kunci Masjid Al-Istiqomah, Iwan mengatakan, penutupan akses ke masjid berawal dari site plan pelebaran bangunan Hotel Le Dian.

“Masjid ini di atas tanah wakaf dari masyarakat, sudah lama berdiri dari tahun ’60-an (seingatnya). Waktu masih SD sering tuh dipakai bermain oleh saya dan anak-anak lain. Jadi keberadaannya juga sudah lama, puluhan tahun,” ujarnya, Senin (17/08/2020).

Ia mengatakan penutupan akses ke masjid tersebut diduga karena ada niatan untuk mengusir secara perlahan. Sebab pihak hotel sudah membangun masjid yang tanpa izin masyarakat.

“Untuk posisi masjid itu memang ada di tengah-tengah, jadi sepertinya ada keinginan dari pihak hotel untuk membongkarnya, akhirnya akses jalannya di tutup, itu pun baru-baru ini sih. Harapan dari ditutupnya akses jalan itu mungkin untuk mengusir pelan-pelan jamaah agar tidak melaksanakan kegiatan kegaamaan di situ. Kalau sudah ditinggal, pihak hotel jadi punya alasan tuh untuk membongkar masjid tersebut. Sebab atas pengakuannya (red-Le Dian) pihaknya sudah mengganti dengan masjid baru, yang pembangunannya tanpa ada persetujuan warga,” jelasnya.

Nah mengenai pembangunan masjid baru, Iwan menyebut pihak hotel tidak melibatkan warga, melainkan malah melibatkan pihak lain sekaligus menjadi DKM-nya dari luar warga Bhayangkara.

“Ini masjid yang ngakunya sebagai pengganti, tak ada izin dari warga lho, berarti pihak hotel tidak mengaggap ada masyarakat di sini. Ditambah pihak hotel malah melibatkan MUI Kota Serang, sekaligus pengurus MUI yang menjadi DKM-nya. Jadi warga di sini tidak mengakui masjid baru itu, nama masjidnya juga beda. Kemudian sepengetahuan awam saya, wakaf itu tidak boleh dipindahkan, terkecuali untuk kemaslahatan umat. Kan ini mah untuk hotel. Ga ada yang jamin nanti tanahnya (red-eks masjid)  untuk dijadikan apa? Saya tidak mau menanggung dosa-dosa dari yang sudah diamanatka ke saya. Terkecuali pihak hotel mau seren (tanggung jawab) dari amanat yang dititipkan ke saya,” ujarnya.

(Foto: biem)

Lebih lanjut ia mengatakan, warga tidak mempersulit sama sekali kepada pihak hotel. “ Kami ini hanya ingin beribadah, itu saja ko. Kami tawarkan masjid itu silahkan dibangun. Tapi tetap bentuknya masjid, silahkan juga dikelola. Asalkan warga tetap bisa salat di masjid itu. Nah ini kan tidak mau pihak hotelnya. Dikasih salaman (red-persetujuan) untuk tanggung jawab atas wakaf juga tidak mau,” pungkasnya.

Sementara menanggapi hal tersebut, General Manager (GM) Le Dian Hotel Yuswanto membenarkan terkait penutupan masjid. Namun, ia enggan memberikan penjelasan secara lengkap alasan penutupan masjid dan rencana perluasan hotel. Pihaknya juga menyerahkan sepenuhnya kepada pengacara untuk menyelesaikan persoalan masjid dengan warga setempat.

“Iya, bisa langsung tanyakan saja sama yang punya (pengacara). Karena itu bukan kewenangan saya untuk menjelaskan hal ini. Ada tim lawyernya, tanyakan saja langsung, karena itu tidak ada hubungannya dengan Le Dian Hotel,” singkatnya. (iy)

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

One Comment

  1. Iya dulu ayah saya turut membangun dan saya turut menyaksikan keberadaan masjid tersebut, memang seingat saya tiba2 ada bangunan baru mirip masjid dibagian luar tepi jalan raya, tapi gak ada sedikit pun penjelasan dan pengumuman serta arahan dari pihak Manajemen Hotel Ledian, yg sekarang memagar akses ke lokasi masjid lama itu. Warga sekitar memang sdh lama mempertanyakan apakah memang maksudnya mau relokasi atau tukar guling tanah wakaf itu?

    Riwayat penguasaan tanah ex komplek Perkampungan Polisi Jl Bhayangkara itu sendiri, aneh juga, awalnya warga perkampungan bersengketa dengan pemilik tanah lama th 1960an bernama Nyo Seng Hoo yg tiba2 memegang sertifikat hak milik melawan warga yg memiliki surat penempatan perkampungan komplek polisi dari bupati Serang tahun 1960, kabarnya menyatakan bahwa tanah ygbtelah diklaim kembali menjadi tanah negara tersebut karena pemilik lama an Nyo Seng Hoo dinyatakan lari keluar negeri dan ganti kewarganegaraan. Tiba2 dekade selanjutnya shm Nyo Seng Hoo telah beralih berdasarkan AJB kepada Mochtar Bina sekitar 1980an, beralih lagi sekitar 1990an kepada Siti Nurbaya, kemudian tiba2 di tengah gugatan Siti Nurbaya kepada warga yg dinyatakan lemah karena pemilik asal dinyatakan tidak berhak lagi karena pernah dinyatakan kembali menjadi milik negara, tiba2 muncul gugatan dari Polda Banten di jaman Timur Pradopo jadi Kapolda sekitar awal th 2000an, dengan alasan menbenarkan bahwa surat dari bupati th 1960an dinyatakan sah, maka warga memang bukan pemilik liar, namun Polda masih merasakan memiliki karena warga dianggap Polda belum pernah menebus utk membeli tanah itu kepada negara, namun warga sebagian pernah melihat dan ada yg masih menyimpan bukti surat bahwa Mabes Polri pernah mengeluarkan surat yg menyatakan bahwa tanah itu dibagikan kepada warga perkampungan Polisi secara cuma2.

    Ditengah2 kemelut itu yg dimenangkan oleh tim Polda Banten di jaman Kapoldanya Timur Pradopo itu, tiba2 munculah Hotel Ledian yg memagar tanah eks Kompleks tersebut, membangun sebagian dan mengklaim seolah2 tanah tersebut trlah syah menjadi hak milik Ledian secara legal.

    Mungkinkan Hotel Ledian telah membeli tanah tersebut kepada Polda Banten? Kalau ya, uang hasil pembeliannya disetor ke negara? Atau secara diam2 sepihak Hotel Ledian menebus dan memohonkan tanah yg sebagian masih di huni warga tersebut kepada negara kah?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button