Sejarah

Sejarah: Mesin Pencetak Oeang Republik Indonesia Daerah Banten

Oleh: Devi Naufal Halwany

biem.co Museum Banten Lama, sangat sepi tak seramai tempat penziarahan di sekitar makom Sultan Banten, mungkin kurang menariknya benda-benda yang ditampilkan, di sana hanya ada benda-benda bersejarah. Ada beberapa benda keramik yang menjadi koleksi di Museum, Batu umpak berbentuk tiang dan batu karang sebagai miniatur dinding benteng Banten Lama, Uang koin Banten terbuat dari tembaga berdiamater 2,6 sentimeter dengan lubang di tengah.

Ada pula uang yang bertuliskan aksara Arab Jawa yg berbunyi “Pangeran Ratu Ing Banten” uang tersebut diedarkan pada zaman kesultanan oleh Sultan Maulana Muhammad (1580-1596). Seperti layaknya museum yang hanya ramai dikunjungi saat musim liburan sekolah, nasib Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama juga sama, setali tiga uang. Namun demikian, mungkin terlebih karena lokasi museum yang terlau jauh dari pusat kota. Tapi untung saja lokasi museum tersebut menjadi bagian dari kawasan wisata ziarah, jadi tingkat kunjungan ke museum lumayan lebih dari cukup. Yang pasti yang sering mengunjungi museum adalah mahasiswa yang sedang meneliti terutama mereka yang merasa penasaran akan kemasyhuran periode Kesultanan di Banten atau pun para wisatawan dari luar negeri dan ada juga kunjungan dari sekolah-sekolah.

Berdiri di atas lahan seluas 10.000 meter persegi dengan luas bangunan mencapai 778 meter persegi, museum Banten Lama dibanguan demi dua misi. Pertama, tempat menyimpan benda cagar budaya bergerak (moveable artifact) hasil penelitian yang berasal dari situs-situs Banten lama dan sekitarnya. Kedua, sebagai media atau sarana yang bersifat rekreatif ilmu pengetahuan dan sebagai sumber inspirasi. Dilihat dari jenisnya, menurut salah seorang staf museum, Obay Sobari, koleksi benda-benda sejarah di dalam museum bisa diklasifikasikan ke dalam lima kelompok.

Pertama, arkeologika atau benda-benda yang mengandung nilai arkeologi, seperti arca Nandi, mamolo, gerabah, atap, lesung batu dan lain sebagainya.

Kedua, numismatika, berupa koleksi mata uang, baik mata uang asing maupun mata uang yang dicetak oleh masyarakat Banten. Mata uang yang pernah dipakai sebagai alat tukar yang sah dalam transaksi jual beli ketika itu adalah caxa/cash, mata uang VOC, mata uang Inggris, tael dan mata uang Banten sendiri. Bahkan, di salah satu ruangan, masih tersimpan mesin pencetak uang Oridab (Oeang Republik Indonesia Daerah Banten), yang digunakan selama masa pergerakan kemerdekaan.

Ini terlihat jelas bahwa sejak zaman dahulu Banten mengalami zaman keemasan, Sultan Banten merupakan awal dari peradaban modern terlihat dari bukti para peneliti tentang mata uang yang beredar pada masa itu, zaman yang harus kita kenang karena Banten masa keemasan memiliki data tarik yang tinggi dan tidak bisa diangap remeh oleh masyarakat indonesia terbukti dari hasil penelitian. Dari hasil penelitian ORIDAB terlihat jelas di mata uang keretas ada gambar masjid dan menara Banten Lama, dan dari hasil study Halwany Michrob di Belanda ditemukannya mata uang Banten yang sudah cukup tua dan lebih hebatnya lagi Belanda menjaga dan melestrarikan di musuem di Denhag.

Ketiga, etnografika, berupa koleksi miniatur rumah adat suku Baduy, berbagai macam senjata tradisional, dan peninggalan kolonial seperti tombak, keris, golok, peluru meriam, pedang, pistol, dan meriam. Ada juga koleksi pakaian adat dari masa kesultanan Banten, kotak peti perhiasan dan alat-alat pertunjukan kesenian debus.

Keempat, keramologika, berupa temuan-temuan keramik, baik itu keramik lokal maupun keramik asing. Keramik asing berasal dari Birma, Vietnam, Cina, Jepang, Timur Tengah, dan Eropa. Masing-masing keramik memiliki ciri khas sendiri. Keramik lokal lebih dikenal sebagai gerabah yang diproduksi dan berkembang di Banten. Gerabah tersebut biasa digunakan sebagai alat rumah tangga, bahan bangunan, serta wadah pelebur logam yang biasa disebut dengan istilah qowi.

Kelima, seni rupa, berupa hasil reproduksi lukisan atau sketsa yang menggambarkan aktivitas masyarakat di Banten masa itu. Di antaranya yang terkenal adalah lukisan peta yang menggambarkan posisi Kesultanan Banten pada abad ke-17. Terdapat pula reproduksi lukisan duta besar Kerajaan Banten untuk Kerajaan Inggris, yakni Kyai Ngabehi Naya Wirapraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana yang berkunjung ke Inggris pada tahun 1682. Reproduksi kartografi Banten in European Perspective, lukisan-lukisan yang menggambarkan suasana di Tasikardi dan di setiap ornamen latihan perang prajurit Banten.

Tentu saja, selain benda-benda bersejarah yang terdapat di bagian dalam museum, masih menyimpan artefak di luar ruangan dan justru menjadi objek yang lebih populer di kalangan pengunjung. Yakni meriam Ki Amuk yang menempati lokasi di sudut kanan museum. Meriam yang berusia lebih dari empat ratus tahun itu beratnya mencapai tujuh ton dan panjang sekitar 2,5 meter. Konon karena belum ada penelitian ilmiahnya. Ki Amuk punya kembaran yang bernama Ki Jagur yang sekarang berada di Museum Fattahillah Jakarta. Persis di depan Ki Amuk atau di samping kanan museum, terdapat sebuah artefak bekas penggilingan lada yang terbuat dari batu padas yang sudah tak utuh lagi. Konon, mesin penggiling lada inilah yang menjadikan Banten sukses sebagai pengekspor lada terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Aceh.

Sebenarnya, dilihat dari sisi kelayakan fasilitas yang tersedia, belum pantas disebut sebagai museum. Lebih tepatnya, merupakan “gudang” atau gedung tempat penyimpanan barang-barang bersejarah peninggalan Kesultanan Banten. Informasi dari salah satu staf yang sudah lama bekerja sejak museum itu dibangun, tak bisa menutupi fakta minimnya fasilitas tersebut.

Apalagi di tengah langkanya buku-buku dan referensi mengenai sejarah masa lalu Kesultanan Banten, koleksi benda-benda di dalam museum sedikit memberi informasi kehidupan masa lalu Banten. Tentu saja, serpihan informasi tersebut perlu ditelaah kembali, untuk kemudian dirajut menjadi informasi utuh. Dengan cara demikian, kisah kemasyhuran masa lalu Banten, tak sebatas cerita legenda atau bahkan mitos yang hanya berkembang dari mulut ke mulut, tetapi bisa dibuktikan secara ilmiah.


Sumber Data;

Ambary, H.M., H. Michrob dan John N. Miksic, (1988), Katalogus Koleksi D ata Arkeologi Benten, Direktonat Perlindungan & Pembinaan Peninggalan Sejarah;
Halwany, Michrob, (1989), Catatan Sejarah & Arkeologi : Ekspor Impor di Zaman Kesultanan Banten, Kadinda Serang, (1993), Catatan Masa Lalu Banten


Devi Naufal Halwany, A.Md adalah pemerhati sejarah.
Lahir di Pandeglang pada 23 Juni 1974. Memiliki hobi membaca dan menulis.
Pembaca dapat menghubungi penulis di email: [email protected]

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button