JAKARTA, biem.co – Belakangan ini marak terjadi kritik-kritik tajam di media terhadap pelbagai kebijakan pemerintah yang dilontarkan para politikus yang notabene juga sebagai anggota dewan.
Namun anehnya, semua poin kritik tersebut justru terbit menjadi undang-undang setelah melalui mekanisme di DPR. Mulai dari kisruh Omnibuslaw Cipta Kerja, revisi UU KPK, dan yang terakhir kritik penangganan COVID-19 oleh Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), yang mengatakan agar Indonesia tak menjadi failed nation atau negara gagal.
Menanggapi hal ini, Komunikolog Politik Nasional, Tamil Selvan mengatakan bahwa Partai Politik sedang berlomba-lomba memainkan sandiwara politiknya untuk menggapai simpati kelompok masyarakat yang pro dan yang kontra terhadap kebijakan pemerintah.
“Kita saat ini disuguhkan adegan lenong para anggota dewan yang berlomba mengkritik pemerintah di media dan medsos, namun dalam rapat pembahasan di DPR semua setuju. Ujung-ujungnya berlindung pada wacana bahwa DPR itu kolektif kolegial. Ini pola main dua kaki, mau ambil hati kelompok yang pro juga kelompok yang kontra, jadi nggak jelas jenis kelaminnya. Janganlah rakyat ditipu-tipu dengan drama beginian,” ungkap Ketua Forum Politik Indonesia ini kepada biem.co, Sabtu (10/7/2021).
Pria yang akrab disapa Kang Tamil ini mengatakan, tidak tepat jika para kader partai politik melemparkan kritik di media sosial, sebab ada wadah resmi bagi partai politik untuk mencecar langsung setiap kebijakan maupun rencana kebijakan pemerintah yaitu melalui anggota DPR-nya, pada rapat bersama mitra kementerian di komisi.
“Yah kecuali partai yang tidak masuk parlemen okay lah. Tapi kita lihat yang paling kencang ngoceh justru kader partai-partai besar. Padahal ada rapat komisi DPR sebagai tempat mereka mengevaluasi segala rencana dan program pemerintah yang tengah berjalan. Jadi nggak ada alasan teriak-teriak di medsos, selain cuma untuk mengapai opini publik,” ungkapnya.
Lebih lanjut Kang Tamil mengatakan bahwa masyarakat sudah mulai cerdas melihat fenomena politik, hal ini dibuktikan dengan komposisi wajah baru di DPR yang mencapai 49% atau 286 orang dari total 575 anggota DPR keseluruhan.
“Sudah nggak laku mainan begitu, masyarakat mulai cerdas politik. Buktinya 49% wajah baru (di DPR). Justru kalau pola begini diteruskan hanya akan menambah antipati masyarakat terhadap politik,” tutupnya. (ar)