InspirasiOpini

Revolusi Orang Gila

oleh: Kanda Dzul

biem.co – Selama ini yang kita pahami dan secara diam-diam kita sepakati bersama, orang gila adalah orang yang sakit jiwanya; atau orang yang menderita sakit mental. Karena itu, kita tidak pernah membicarakan orang gila di luar pengertian-pengertian tersebut. Pengertian yang sesungguhnya sulit dijadikan pegangan. Soal kejiwaan, terlalu abstrak.

Memang ada saja jalan bagi orang waras seperti kita (kita sepakati saja klaim kewarasan ini) untuk membuat yang abstrak menjadi jelas. Setidaknya untuk memperjelas spesifikasi orang gila, kita membuat ciri-ciri dan menyepakatinya, entah kesepakatan yang terjadi begitu saja di tengah masyarakat atau kesepakatan yang telah dibukukan dalam rentetan teori kejiwaan manusia.

Pertama, orang gila adalah manusia yang berkeliaran di jalanan yang berperangai tidak sebagaimana umumnya manusia. Kedua, orang gila adalah manusia yang berpakaian kotor, kadang compang-camping, kadang telanjang, dan kadang membawa buntelan kain atau karung sampah. Ketiga, orang gila adalah manusia yang tertawa, menangis, atau marah sendiri yang tidak satu manusia pun dapat memahami penyebabnya. Keempat, orang gila adalah manusia yang tatapan matanya kosong yang jika diledek atau digoda akan menyerang secara brutal. Jika seseorang memenuhi sekurang-kurangnya 3 dari empat ciri tersebut, dengan serta merta akan disepakati  cukup memenuhi syarat untuk dikelompokkan sebagai orang gila.

Dibandingkan berpegang kepada definisi orang gila, yang abstrak, pada akhirnya kita lebih berpegang kepada ciri-ciri itu, bukan? Itu jauh lebih mudah dilihat, diperhatikan, dan dijadikan landasan menghukumi atau melabeli. Persoalannya kemudian, kita—dengan sadar atau tidak—mengalami fase gagal paham yang panjang. Kita melupakan definisi, sementara  ciri-ciri  umum tetap saja bersifat umum, sementara manusia dalam keumumannya tetap saja identik. Kita sering tersesat karena ini.

Dulu sebenarnya saya pun sempat mengamini pendapat tersebut, sebelum pada akhirnya saya memikirkan pikiran saya. Apakah dapat dipertanggungjawabkan ketika saya menilai kegilaan orang lain dari tampilan fisik belaka? Bagaimana kalau ada orang yang menyamar menjadi orang gila? Apa tolok ukur untuk mengetahui mana yang benar-benar orang gila dan mana yang menyamar? Bukankah seseorang dikatakan gila bila mengalami gangguan mental, jiwa, atau akal, tapi mengapa yang dijadikan patokan tampilan fisik? Saya pikir, selama ini saya salah.

Tetapi kita lupakan terlebih dahulu persoalan benar dan salah. Saya ingin bercerita tentang seseorang yang pernah berkuasa pada tahun 37 Masehi. Ia adalah seorang Kaisar Romawi yang naik takhta pada tahun 37 Masehi bernama Caligula.  Seorang kaisar yang pada mulanya amat disanjung, terkenal baik hati, dan disukai rakyat. Ia adalah sosok ideal seorang kaisar pada awal-awal kekuasaannya. Tetapi dengan berjalannya waktu, yang ideal itu berubah menjadi sangat menakutkan.

Perilakunya semakin aneh. Ia sering mengajak kuda makan bersama di istana. Bahkan penghormatannya kepada kuda jauh lebih tinggi dibandingkan kepada para senator. Kadang kala, Caligula berlari-lari sambil teriak dan menangis di sekitar istana tanpa sebab yang jelas. Dan sekian banyak keganjilan yang ada pada diri Caligula yang pada akhirnya menyengsarakan rakyat.

Rakyat dan para senator gelisah. Orang-orang di dalam istana panik. Tidak saja karena kegilaan-kegilaan Caligula yang berbuat semau-maunya. Di istana tidak ada siapapun yang dapat memastikan nyawa mereka sendiri, karena Caligula sering memberikan hukuman mati kepada siapa saja tanpa ada sebab yang jelas. Oleh karena itu, kekuasaan Caligula pada akhirnya harus tumbang setelah ia dibunuh oleh para senator pada abad 41 Masehi.

Sebagai sejarah yang begitu jauh jaraknya dari masa kini, tentu saja begitu banyak versi, tapi sebagai contoh bahwa tampilan luar tidak dapat dijadikan tolok ukur untuk memastikan kewarasan seseorang, saya ambil versi populer ini.

Pada masa kini, untuk mencari prilaku yang sama dengan Caligula, nyaris sulit. Tetapi banyak yang mendekati. Mari kita ingat kejadian yang terus berulang-ulang di negeri yang kita cintai ini. Ada koruptor ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Koruptor tersebut diwawancarai oleh puluhan bahkan ratusan wartawan. Wajah berikut dengan narasi kejahatan mereka disiarkan di televisi, dicetak dalam ratusan ribu eksemplar koran, dan diperbincangkan oleh puluhan juta pengguna media sosial.

Logisnya atau warasnya, seseorang yang tertangkap tangan melakukan tindak kejahatan akan malu, menutup wajah, menangis terisak-isak, dan sebisa mungkin menghindari kamera agar wajahnya tidak muncul di dalam pemberitaan. Tetapi kenyataannya, berbanding terbalik dengan akal sehat. Koruptor itu menebar senyuman yang terlalu lebar sambil melambaikan tangan seperti seorang model yang sedang berjalan di catwalk. Seakan-akan ia sedang berkata: “Halo. Saya koruptor, kalian suka, kan?”

Tidak sedikit pemimpin yang berprilaku aneh di negeri ini. Misalkan ada pejabat yang sibuk menyiarkan aktivitas kesenangan-kesenangannya, semisal memancing atau menernak lele atau nge-vlog bersama artis-artis milenial. Sementara, rakyat sedang menjerit-jerit, semisal sedang menghadapi bencana alam atau bencana kemanusiaan. Sebagai sebuah sikap pribadi, ianya dapat dipandang biasa saja, tapi sebagai sikap seorang pejabat, ianya agak sulit diterima akal sebagai prilaku orang yang sehat jiwanya.

Saya sering menyayangkan jika ada koruptor semacam itu langsung dibui. Mestinya dimasukkan dengan segera dilarikan ke rumah sakit jiwa,  itu jauh lebih masuk akal. Jika pun memang harus masuk bui, setidaknya, dipanggilkan psikiater. Koruptor semacam itu bukan saja penjahat, tapi orang-orang sakit jiwa yang jahat (saya tidak sepenuhnya dapat memastikan, betulkan orang gila dapat dikenai tuduhan tindak kejahatan). Begitu pula dengan pejabat-pejabat yang gangguan jiwa yang tidak dapat memahami jiwa rakyat. Mereka tidak perlu lagi ditanya mengenai bagaimana cara berempati terhadap kepentingan rakyat, mereka perlu dokter jiwa.

Mungkin saja ada di antara pembaca yang tidak setuju dengan pandangan saya di atas, tapi apa alasannya?  Dalam KBBI dinyatakan bahwa gila adalah sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal). Orang gila adalah yang mengidap gangguan-gangguan tersebut. Jika alasannya hanya karena koruptor-koruptor itu pejabat publik, orang berpendidikan, dan tetek bengek tempelannya, itu namanya masih terjebak oleh tampilan. Jadi, jauh lebih mudah menyepakati definisi tersebut daripada mencari dalil untuk dalih-dalih yang akan menjauhkan kita dari pijakan dasar berpikir.

Kita tidak perlu repot-repot membuat eufisme yang akan membuat kita bingung sendiri. Menyebut orang-orang gila dengan sebutan yang terlampau halus akan membuat orang-orang gila semakin gila. Penyebutan yang terlampau halus kadang kala melahirkan kesesatan berpikir dan lahirnya orang-orang gila, termasuk menyebut para maling dengan sebutan koruptor.

***

Itu hanya dua kejadian dari puluhan kejadian tidak masuk akal  setiap tahunnya di lingkungan kita. Entah kita sungguh-sungguh menghayati kejadian demi kejadian atau kita pada akhirnya menganggap semua kejadian biasa saja sehingga tidak muncul kehendak di dalam diri kita untuk sama-sama mengecek satu sama lain atau mengecek diri sendiri, apakah kita benar-benar waras. Jika pun kita, kini, masih waras, jika terus menerus dihadapkan pada kegilaan demi kegilaan dan kita menganggap kegilaan itu biasa saja, bukan tidak mungkin kita terdidik menjadi gila dengan sendirinya.

Itulah mengapa, kadang-kadang ketika saya berada di antara sesama manusia yang tampak waras, saya bertanya-tanya, apa iya orang-orang di sekitar saya bukan orang gila? Benarkah mereka tidak gila? Bagaimana kalau di antara orang-orang waras itu ada orang gila? Orang gila yang menyamar di balik pakaian yang rapi dan wangi. Begitu pula ketika saya bertemu orang-orang gila di jalanan, benarkah mereka gila? Jangan-jangan mereka pura-pura gila dengan tujuan ini dan itu atau sekadar untuk menertawakan orang-orang gila yang merasa waras.

Tiba-tiba saya seperti melihat suatu zaman, dimana orang-orang gila telah berubah wujud menjadi begitu berbeda dan sulit dikenali. Kadang-kadang saya lari juga dari pengertian orang-orang pada umumnya tentang orang gila dan melihat bagaimana pendapat Rasulullah mengenai orang gila. Pada pendapat Rasulullah itu, saya merasa jauh lebih terancam. Ya, terancam masuk di dalam golongan orang gila. Tetapi saya tidak akan sampaikan di sini. Saya sudah terlalu banyak bicara dan saya pikir, sampai di sini saja pun sudah cukup menjengkelkan. (red)

Tentang Penulis

Duzlkifli Jumari atau yang lebih akrab dengan panggilan Kanda Dzul ini lahir di Cilegon, tepatnya di Link. Penauan, Ciwandan, pada 12 September 1995 dari pasangan Jemari dan Maesarah.  Dzul mulai aktif di dalam geliat dunia pergerakan kemahasiswaan dan kepemudaaan sejak tercatat sebagai mahasiswa di STIKOM Al-Khairiyah Citangkil, tepatnya ketika ia bergabung sebagai pengurus Badan Eksekutif (BEM) Mahasiswa STIKOM AK periode 2014/2015 dan 2015/2016. Di sanalah ia mulai mempelajari maksud dari peran dan fungsi manusia di tengah manusia yang lain. Lelaki yang gemar membaca puisi, menyeduh bergelas-gelas kopi,  dan membaca keriuhan sekaligus kesepian ini setelah beberapa periode memegang jabatan dalam kepengurusan HmI hingga kemudian pada periode 2016/2017 ia dipercaya memegang amanah sebagai Ketua Komisariat HmI STIKOM Al-Khairiyah. Setelah lulus kuliah, kesehariannya adalah berwirausaha, menulis, membaca, dan memperhatikan apa yang perlu diperhatikan.

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button