InspirasiOpini

Cancel Culture Sebagai New Trend di Indonesia

Oleh : Damario Hoshi

biem.coPerkembangan teknologi informasi membawa sebuah perubahan dalam masyarakat. Lahirnya media sosial menjadikan pola perilaku masyarakat mengalami pergeseran baik budaya, etika dan norma yang ada. Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar dengan berbagai kultur suku, ras dan agama yang beraneka ragam memiliki banyak sekali potensi perubahan sosial, salah satu fenomena yang sekarang sering ditemui adalah cancel culture yang marak di media sosial.

Dari berbagai kalangan dan usia hampir semua masyarakat Indonesia memiliki dan menggunakan media sosial sebagai salah satu sarana untuk memperoleh dan menyampaikan informasi ke publik luas.  Media sosial telah menjadi budaya baru bagi umat manusia.

Koenjtaraningrat (1993) berpendapat bahwa kebudayaan memiliki tiga unsur utama yaitu: pertama sebagai suatu ide, gagasan, nilai, serta norma. Kedua, aktivitas kelakuan manusia yang berpola dalam masyarakat. Ketiga, benda-benda atau alat-alat hasil karya manusia.

Media sosial merupakan media yang menjadi sarana untuk menyalurkan hak kebebasan dalam berpendapat atau menyuarakan suatu opini secara publik. Fenomena-fenomena dalam menyalurkan pendapat atau opini tak ayal turut menjadikan dinamika bermedia sosial semakin dinamis.

Dengan lahirnya media sosial, konektivitas  masyarakat menjadi instan. Komunikasi real-time dan kemauan sosial telah berubah menjadi senjata massa yang paling ampuh untuk perubahan sosial yang dapat menggulingkan pemerintah. Tampaknya media sosial telah melampaui tujuan awalnya hanya untuk menghubungkan teman; sosial media telah menjadi pintu menuju dunia.

Ketika orang-orang menyadari bahwa sekarang suara seseorang dapat mencapai jutaan orang, media sosial akan terus mengubah dirinya menjadi media komunikasi yang lebih cepat, lebih cerdas, dan lebih ramping yang akan terus membangun jembatan virtual di mana-mana dan membantu masyarakat menghadapi tantangan dalam komunitas baru dan lebih komunal.

Media sosial telah menjadi alat dalam meningkatkan suara, kesadaran, dan panggilan untuk perubahan sosial. Ini memungkinkan orang untuk memiliki akses ke tingkat komunikasi yang tidak pernah dimiliki generasi sebelumnya. Melalui media sosial, orang sekarang dapat dengan mudah menyebar luaskan praktik yang salah, ketidakadilan, dan memiliki suara dalam situasi yang berbeda.

Dengan perangkat digital sekarang, kita dapat langsung mengajukan pertanyaan, menerima jawaban, terhubung kembali dengan orang lain, dan lainnya. Salah satu fenomena yang sekarang sering ditemui adalah cancel culture yang marak di media sosial.

 

Cancel Culture Fenomena Sosial

Cancel culture berasal dari dua akar kata dalam bahasa Inggris yaitu cancel yang berarti menggagalkan atau pengenyahan, serta culture yang berarti budaya. cancel culture mampu didefinisikan secara luas sebagai upaya untuk mengucilkan seseorang atau perusahaan karena melanggar norma sosial.

Cancel culture secara lebih sempit dipahami sebagai upaya menarik dukungan (membatalkan dukungan) terhadap suatu tokoh perorangan atau perusahaan yang telah melakukan atau mengatakan tindakan yang tidak pantas atau menyinggung.

Ada satu kesalahpahaman bahwa Cancel culture adalah suatu masalah hubungan masyarakat akibat permasalahan dalam relasi publik. Tapi ter-cancel bukanlah hasil dari relasi publik yang buruk. Relasi public yang baik juga tidak dapat menyelamatkan seseorang atau perusahaan dari ter-cancel atau membuat seseorang tidak dapat di-cancel. Sebaliknya, masalah pada umumnya adalah kegagalan untuk mematuhi prinsip-prinsip inti komunikasi yang baik.

Faktanya, terkadang ter-cancel adalah hasil dari keputusan strategis, operasional dan komunikasi yang digerakkan oleh tujuan yang beresonansi dengan audiens utamanya, akan tetapi menyinggung sebagian masyarakat umum.

Terkadang, ter-cancel terjadi bukan karena apa yang dikatakan seseorang. Akan tetapi, karena tindakan mereka yang tidak mendukung atau munafik, yang bertentangan dengan apa yang mereka katakana sebelumnya.

Jika kita akan secara terbuka mendukung suatu tujuan, mengambil sikap terhadap suatu masalah, atau berjanji untuk mengubah perilaku bermasalah, ikuti kata-kata dengan tindakan yang  menuju komitmennya. Terlebih lagi untuk seorang tokoh yang tindakan atau ucapan mereka dapat diperhatikan masyarakat melalui sosial media..

 

Fenomena Cancel Culture di Indonesia

Karl Marx seorang filsuf ahli dalam pembahasan terkait teori konflik sosial di masyarakat, memandang perubahan merupakan suatu konflik berbentuk pertentangan yang terjadi antar kelompok atau kelas dalam masyarakat, dan berpengaruh dalam semua perubahan sosial. Perubahan pada akhirnya akan menciptakan kelompok atau kelas sosial yang baru, berbeda dibandingkan dengan kelompok-kelompok dalam konflik yang menciptakannya.

Teori konflik tersebut memberikan gambaran bahwa pada intinya cancel culture merupakan satu pertentangan atau konflik antara dua kelompok, yaitu tokoh-tokoh terkenal seperti artis, politikus, musisi, dan lain-lain, sebagai kelompok atas. Dengan masyarakat umum sebagai kelompok bawah. Yang pada akhirnya akan menciptakan satu kelompok baru yang ingin membedakan identitas kelompok baru ini dengan dua kategori kelompok yang menciptakannya.

Sebagai contoh seorang publik figur seperti selebritas atau tokoh franchise, mengatakan atau bertindak di sosial media yang di nilai sangat mencela kelompok masyarakat tertentu. Maka ketika orang-orang mengetahuinya, mereka akan berusaha meng-cancel publik figur tersebut melalui sosial media mereka sehingga dukungan atau karir publik figur tersebut hancur. Hal ini akan menjadi contoh kepada publik figur lainnya untuk tidak bertindak hal yang sama, sehingga mereka selalu menjaga perkataan dan ucapan mereka untuk menjaga kestabilisan karir mereka.

Di Indonesia cancel culture merupakan fenomena urban yang baru muncul pada sekitar tahun 2019. Berdasarkan Google Trends fenomena cancel culture di Indonesia hanya terpusat di Pulau Jawa yang memiliki perkembangan literatur digital yang dinamis. Cancel culture banyak menyerang artis atau public figure, tapi masyarakat umum juga berpotensi mengalami cancel culture. Budaya spill atau mengungkap suatu rahasia yang eksis di Twitter turut meningkatkan fenomena cancel culture. Cancel culture di Indonesia paling banyak menyerang pelaku yang diduga melakukan pelecehan secara seksual atau tindakan yang melawan norma.

Jika di Indonesia cancel culture baru mulai dikenal, di sejumlah negara fenomena ini sudah cukup lama ada. Dalam beberapa tahun terakhir, jika seseorang ter-cancel dapat juga dikatakan secara budaya mengalami penolakan publik yang berdampak terhadap keberlanjutan karirnya. Cancel culture telah menjadi istilah populer. Seorang  figur publik yang melakukan atau mengatakan hal yang menyinggung kemudian muncul gerakan penolakan terhadap orang tersebut. Fenomena tersebut kemudian secara efektif mengakhiri karir mereka atau membalikkan kebanggaan mereka, baik melalui boikot atau tindakan pendisiplinan.

Mengakhiri karir figur publik melalui cancel culture bukanlah hal yang mudah. Sebagian dari mereka memang benar-benar menghadapi penilaian negatif dan kritik. Tetapi tidak banyak dari mereka yang karirnya sepenuhnya berakhir akibat gerakan tersebut. Di Amerika Serikat, komedian Louis C.K dan Roseanne Barr kehilangan penggemar dan pekerjaan dalam sekejap. Akibat kasus pelecehan seksual yang illegal dan cuitan rasis di sosial media.

Di Indonesia juga terjadi kasus cancel culture dimana publik figur Indoneisa mengalami penolakan dari masyarakat. Misalnya, Gofar Hilman, penyiar radio dan YouTuber yang pada tahun 2021 terkena skandal tuduhan kasus pelecehan seksual yang ia lakukan terhadap penggemarnya.  Walaupun tuduhan tersebut di temukan palsu, namun Gofar Hilman sudah telanjur dikeluarkan dari Lawless Jakarta. Selain itu Saipul Jamil, penyanyi dangdut Indonesia juga terkena cancel culture ketika ia kembali ke dunia hiburan setelah dirinya bebas dari penjara atas kasus pelecehan seksual. Saat ia kembali tampil di televisi, banyak masyarakat yang menolak kehadiran Saipul Jamil. Hingga saat ini, Saipul Jamil tidak pernah meghadiri acara televisi lagi.

Selain dua kasus cancel culture tersebut di Indonesia juga memiliki banyak kasus lain yang menjangkit figur publik lainnya, seperti Ayu Ting Ting, Nikita Mirzani dan yang lainnya. Akan tetapi perlu diingat bahwa menerapkan cancel culture dapat mengakhiri karier seorang figur publik , karena citra karya figur publik sangat sulit dipisahkan dengan citra figur publik itu sendiri. Sehingga penolakan yang terjadi kepadanya akan sangat berdampak kepada karyanya.

Selain itu, tuduhan alegasi yang ditujukan kepada figur publik belum tentu sepenuhnya benar, seperti kasus Gofar Hilman. Dampak negatif yang terjadi kepada karier mereka tidak mudah untuk diperbaiki, meskipun tuduhan tersebut palsu dapak yang terjadi sudah tidak bisa kembali seperti semula. Sehingga kita sebagai masyarakat perlunya kesadaran untuk mengetahui kebenaran terlebih dahulu sebelum berupaya untuk meng-cancel figur publik tertentu. (Red)

Damario Hoshi, penulis adalah mahasiswa Untirta jurusan Marketing Communication

Editor: Irvan Hq

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button