PANDEGLANG, biem.co – Pengamat Politik dari Universitas Mathla’ul Anwar Eko Supriatno memandang bahwa fenomena demonstrasi berjilid-jilid yang dilakukan Massa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Pandeglang di depan kantor Bupati Pandeglang perlu disikapi. Massa PMII mendesak KPK untuk mengecek harta kekayaan Bupati Pandeglang Irna Narulita. Salah satu tuntutan dalam demonstrasi adalah mendesak Bupati Irna mundur.
Menurut Eko, sikap kritis mahasiswa dalam keberpihakan pada permasalahan sosial politik di Pandeglang telah menjadi stamp, brand, juga power identitas mereka.
“Dalam satu dekade, Provinsi Banten dan juga Kabupaten Pandeglang berada pada posisi cukup baik untuk hak-hak politik masyarakat. Ya, di setiap era perubahan social politik, peran mahasiswa kita sangat penting. Seperti yang baru saja berlangsung demo menyoroti kinerja pemerintahan Pandeglang. Terkhusus tentang dukungan sosial moral bagi mendesak KPK untuk mengecek harta kekayaan Bupati Pandeglang Irna Narulita,” tutur Eko, Selasa (8/6).
Diterangkan Eko, muncul beragam rumor akibat kisruh persoalan tersebut.
“Tetapi, aksi kemarin terkesan ada muatan personal terhadap Irna Narulita sebagai Bupati Pandeglang. Yang mana meminta beliau mundur. Menurut saya, (itu) kurang bijak dan kurang pantas, apalagi beliau, kita harus hargai kepercayaan rakyat yang telah memilih Irna-Tanto dalam Pilkada 2021 dan dukung duet ini bersama program kerjanya untuk menggapai impian Pandeglang ke depan dengan tidak mengganggunya,” jelasnya.
Eko menambahkan, hak publik tempat istimewa dalam “rahim” demokrasi adalah kegiatan unjuk rasa atau demonstrasi. Unjuk rasa adalah sarana penyampaian pendapat, aspirasi, dan kegelisahan publik di luar saluran formal parlementarianistik.
“Ya, unjuk rasa adalah mobilisasi pendapat umum yang menggugat realitas sosial sebagaimana dipersepsikan penuh ketidakadilan. Unjuk rasa juga bagian dari pembangunan kekuatan oposisi terhadap kebijakan kekuasaan, hak berdemonstrasi diatur dalam konstitusi. Untuk Indonesia, hak unjuk rasa diatur dalam Pasal 28 UUD 45 dan UU penyampaian pendapat di muka umum,” Jelas Eko.
“Tapi sayang sekali jika angin surga kebebasan berdemonstrasi sering disalahgunakan oleh kepentingan tertentu untuk memaksakan kehendak. Misal banyak kelompok masyarakat unjuk rasa dengan cara-cara kekerasan, bahkan anarkis. Ada beberapa elemen radikal memanfaatkan hak berdemonstrasi untuk menggaungkan sentimen bukan argumen yang bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi,” Jelasnya.
Ditambahkan Eko, akan lebih efektif bila mahasiswa menyoal kerja kolektif Pemkab Pandeglang, bukan menyasar sisi personal. Di mana semua program berikut implementasinya selalu mengacu pada prinsip-prinsip kolektif kolegial dari semua Pemerintahan Pandeglang.
“Disarankan, bilapun para mahasiswa dibutuhkan untuk menyoroti eksistensi Pemerintahan kabupaten Pandeglang, sejatinya juga memahami lebih komprehensif secara faktual, objektif, serta didukung oleh bukti-bukti yang valid terkait equitas fungsi utama organ pemerintah sebagai pelayan publik. Walau tidak mudah bagi para mahasiswa, akan tetapi kelak berpengaruh untuk capaian yang diharapkan atas aksi atau demo yang ada,” katanya.
Di samping itu, misal fungsi parpol di Pandeglang belum maksimal dalam hal pencerdasan politik publik maupun rendahnya inisiatif DPRD Pandeglang dalam menyusun Perda dalam beberapa tahun kinerja kelembagaan.
Masih banyak janji-janji kampanye Irna-Tanto yang belum terlaksana. Maka itu, harus optimistis bahwa Tiga tahun lebih sisa pemerintahan Irna-Tanto akan menjadi ukuran keberhasilan. Rakyat selaku pemilik kedaulatan yang akan menilainya.
“Karena itu, alangkah indah bila semua pihak menahan diri sembari terus mengawasi dan mendorong pemerintah untuk segera mewujudkan janji-janjinya. Semua harus yakin bahwa Bupati dan Wakil Bupati terus melakukan evaluasi pemerintahannya,” kata Eko.
Namun bila tidak perlu, publik tidak perlu mendorong-dorong, bahkan memprovokasi. Pasalnya, selain kontraproduktif, tindakan itu akan mengganggu kinerjanya dan ujung-ujungnya masyarakat dirugikan.
Selain itu, perlu juga dipahami bersama, KPK itu secara filosofis, legal formal, juga kelembagaan, dibentuk untuk mengeliminasi praktik, perilaku, ataupun sikap tindak koruptif dari penyelenggaraan negara. Yang saat ini KPK tengah bergeser ke ranah pencegahan, bukan penangkapan. Sedangkan Kejagung dan Polri yang dikedepankan untuk penangkapan.
“Jadi, kita percayakan saja ke KPK. Bukankah KPK adalah lembaga profesional di bidang penegakan hukum, terkhusus pada instrumen pencegahan, sekali lagi KPK bukanlah domain politik. Artinya lepas segala muatan, interest, agenda dan manuver politik, dan mahasiswa tetap harus aware dan peka,” pungkasnya. (Red)