CerpenInspirasi

Penjaga Bulan

Karya : Erna Surya

biem.coAda alasan mengapa Dewanti lebih memilih diam dan menerima setiap pukulan suaminya daripada melawan atau pun pergi dari rumah. Semua demi anaknya yang sebentar lagi akan masuk sekolah Taman Kanak-Kanak. Bagi Dewanti, memberikan keluarga yang utuh bagi anak adalah tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Perempuan itu tak ingin melihat anaknya tumbuh tanpa bapak. Maka, Dewanti memutuskan untuk menelan semua tangis itu, dan menyimpannya di dalam dadanya. Meski sudah sesak, Dewanti tetap bertahan. Hanya satu yang ia pikirkan, Arumi.

Namun malam ini, semua berubah. Dewanti memiliki keputusan berbeda.

***

Dewanti masih diam ketika Baskoro bertanya apakah ia bersedia dinikahi. Sebuah pilihan sulit bagi perempuan dua puluh empat tahun yang belum lama lulus dari Fakultas Seni Tari itu. Pasalnya, Dewanti sedang menikmati masa-masa menjadi guru tari di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan. Ia juga senang dengan anak-anak yang datang ke sanggarnya untuk belajar tari tiap sore.

Baskoro meminta Dewanti berhenti menjadi guru tari. Bila sudah menikah, perempuan itu diwajibkan ikut suaminya bertugas ke Papua. Jarak yang cukup jauh bagi seorang Dewanti yang masih punya seorang bapak dan adik yang harus ia rawat. Solo-Papua butuh perjalanan yang panjang.

“Aku berjanji akan selalu mencintaimu,” bujuk Baskoro. Lelaki itu tak memberi waktu yang panjang bagi Dewanti untuk berpikir.

Awalnya, Dewanti berencana menolak lamaran Baskoro. Alasannya dua. Pertama, memang belum ada perasaan cinta yang tumbuh di hatinya. Perkenalannya dengan lelaki TNI itu belum genap enam bulan. Pun komunikasi yang terjalin hanya sebatas kawan saja. Kedua, ada semacam hal janggal yang membuat Dewanti ragu. Itu pun tak bisa ia jelaskan. Tapi ada, dan dia merasakan.

“Menikah sama pegawai negeri itu enak, hidupmu terjamin sampai pensiun,” kata Bapaknya. Itulah satu-satunya alasan mengapa ia akhirnya menerima lamaran Baskoro.

Benar saja. Setelah menikah, Dewanti diboyong ke Papua, mengikuti tugas suaminya. Setahun pertama, tak ada yang aneh dari suaminya. Dewanti bahagia ketika datang Arumi mengisi kehidupannya. Namun semua perkara jadi berbeda. Tabiat asli Baskoro mulai muncul satu per satu. Awalnya, salah seorang teman Baskoro menanyakan, mengapa ia mau dinikahi lelaki macam Baskoro. Dewanti merasa pertanyaan itu begitu aneh. Tak ada yang salah dengan pernikahannya.

Namun di suatu hari, sebuah kabar datang. Katanya, Baskoro kerap datang ke tempat prostitusi di Manokwari. Dewanti terkejut. Ia mendatangi suaminya dengan marah. Bukan permintaan maaf yang didapatnya, justru sebuah tamparan di pipi. Hari berikutnya, Baskoro tak pulang selama beberapa hari. Dewanti tak tahu harus mencari kemana. Ia coba bertanya kepada atasan Baskoro, nihil. Tak ada yang tahu kemana lelaki itu pergi.

Barulah di suatu malam setelah sepekan menghilang, Baskoro pulang. Ia mabuk. Dewanti segera membawa Arumi masuk kamar dan menguncinya dari luar. Setelah itu, Baskoro menyeret tubuh Dewanti. Di dalam kamar, perempuan itu dihajar habis-habisan. Dewanti memandang mata Baskoro. Merah. Ia menangkap setan-setan berterbangan di dua bola mata suaminya. Dewanti menutup matanya. Ia tak ingin melihat setan-setan itu. Dengan mata terpejam, perempuan itu menikmati setiap rasa sakit yang mampir di seluruh tubuhnya. Barulah pagi harinya, ia menyeka luka-lukanya.

“Mama sakit, ya?” tanya Arumi. Dewanti selalu menjawab dengan senyum dan gelengan kepala. Lalu ia memeluk tubuh kecil putrinya. Ia berjanji, apa pun keadaannya, Arumi akan tetap punya Mama dan Papa, utuh.

***

Malam ini, Baskoro pulang. Ia mabuk lagi. Namun tak separah biasanya. Arumi masih belajar di ruang tengah. Segera, Dewanti membawanya masuk kamar dan menyuruh anaknya tidur lebih awal. Arumi menurut.

“Mas kawin yang aku kasih dulu disimpan di mana?” tanya Baskoro. Dewanti diam saja, lalu berlalu ke dapur. Baskoro mengejar. Belum sampai di pintu dapur, Dewanti sudah merasakan sebuah tangan  menarik rambutnya dengan kasar. Baskoro menyeret Dewanti ke dalam kamar.

“Aku tanya, mas kawinnya mana?!” teriak Baskoro. Dewanti masih tetap diam. Ia tahu isi kepala suaminya. Mas kawin itu akan diminta untuk membeli minuman keras. Dewanti bersumpah tak akan memberikannya.

“Mana?!” Baskoro berteriak semakin keras. Dewanti tetap tak menjawab.

“Kasihkan ke aku, atau kubunuh anakmu,” kata Baskoro sembari membanting tubuh Dewanti. Kemudian, Dewanti melihat suaminya berjalan menuju kamar Arumi. Perempuan itu segera mengejar suaminya. Baskoro mencoba membuka kamar Arumi. Dewanti merasa beruntung, ia sempat mengunci kamar anaknya.

“Lihat! Kubunuh anakmu,” ucap Baskoro. Matanya memerah. Dewanti berteriak, “Jangan.” Namun Baskoro berusaha mendobrak pintu.

Dewanti segera menuju dapur. Sementara Baskoro tetap berusaha mendobrak pintu. Arumi duduk di sudut kamarnya dengan tubuh gemetar. Ia memeluk lututnya sembari berdoa, ya Tuhan, tolong aku!

Tak lama kemudian, suara keras teriakan papanya hilang dari telinganya. Ia melihat ke arah pintu, hatinya lega.

“Arumi sayang, tidur ya. Jangan keluar kamar sebelum mama buka pintunya,” suara lembut Dewanti terdengar dari luar kamar. Arumi segera naik ranjang, menarik selimut, dan memejamkan mata. Arumi ingin segera terlelap. Namun tak bisa. Ia membayangkan kupu-kupu yang ia tangkap tadi siang bersama Alira, sahabatnya.

“Aku mau memberikan kupu-kupu ini buat papaku,” kata Alira. Arumi diam. Ia juga ingin seperti Alira, memberikan kupu-kupu untuk papanya. Sayangnya, Arumi tak pernah bisa. Ia hanya punya mama yang selalu memeluknya di rumah, bukan papa.

***

Sumur tua itu ada di belakang rumah. Tak difungsikan lagi semenjak musim kering beberapa tahun lalu. Sudah beberapa kali, Dewanti meminta ijin kepada pemilik rumah  agar sumur itu ditimbun saja. Beberapa kali pula ditolak dengan alasan siapa tahu nanti di musim penghujan airnya masih bisa keluar lagi. Namun dua hari yang lalu, pemilik rumah berubah pikiran. Sumur itu dianggap berbahaya. Bisa saja jadi sarang ular atau sebangsanya. Dewanti senang atas ijin penutupan sumur itu. Kemarin ia sudah menyiapkan semen dan peralatan pertukangan sederhana.

Sumur ditutup malam ini. Dewanti sendiri yang mengerjakannya. Untungnya, tak terlalu dalam. Setelah membersihkan tubuhnya dari keringat dan sisa kotoran, Dewanti menyeduh kopi. Tak lupa ia ucapkan selamat tinggal, kepada sumur tua dan kepada suaminya.

***

Bulan di langit bulat utuh. Dewanti duduk di teras rumahnya sembari memandangi bulan itu. Arumi di pangkuannya. Gadis kecil itu mulai bertanya, apakah papa akan pulang malam ini.

“Papa sedang menjaga bulan, sayang.”

“Apa bulan perlu dijaga, Ma?”

“Iya. Papa akan menjaga bulan selamanya. Kita akan hidup berdua.”

Dewanti memeluk anaknya. Besok pagi, dia akan mengabarkan bahwa suaminya tak pulang malam ini. Orang-orang sudah harus melupakan Baskoro, batin Dewanti.

Bulan bergerak pelan. Dewanti terus memandanginya sampai benar-benar menghilang. Perempuan itu merasakan langit malam Papua begitu tenang. (*)

Klaten, Januari 2024

Erna Surya, penulis adalah seorang pengajar Bahasa Inggris di SMK 1 Juwiring, Klaten. Belajar menulis di Komunitas Metafora, Solo dan Komunitas Kamar Kata, Karanganyar. Suka dengan kata-kata dan dunia cerita.

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button