InspirasiOpini

Esai Niduparas Erlang: Demi Detik

 

biem.co – Detik kabisat telah ditambahkan pada 30 Juni 2015 lalu. Jam universal atau Coordinated Universal Time (UTC) yang normalnya bergerak dari pukul 23.59.59 ke pukul 00.00.00, pada hari itu tidak langsung menuju pukul 00.00.00, tapi terlebih dulu menuju pukul 23.59.60. Meski diberitakan media massa bahwa penambahan detik kabisat itu lebih banyak berarti atau sangat penting bagi navigasi, astronomi, penerbangan, penerbangan luar angkasa, jaringan komputer, global positioning system (GPS), dan bursa saham, tinimbang bagi masyarakat awam dan kehidupan kita sehari-hari, tapi detik kabisat itu cukup menarik untuk mengingatkan saya pada pentingnya sebuah waktu, sebuah masa—sekalipun saya hanyalah masyarakat awam biasa.

 

Dan tinimbang sekadar menambah pengetahuan baru—bagi saya yang awam ini—bahwa satu hari berlangsung selama 86.400 detik—sesuai dengan standar UTC itu—, atau satu detik merupakan 9.192.631.770 getaran dari radiasi yang berhubungan dengan transisi antara dua tingkat energi dari atom cesium—juga berdasar jam atom UTC—, atau bahwa rata-rata hari matahari berdasarkan lama waktu yang dibutuhkan bumi untuk berotasi adalah 86.400,002 detik—tidak persis 86.400 detik—, saya malah lebih banyak memikirkan detik-detik yang terbuang “percuma” atau yang luput dari perhatian kita. Betapa tidak, kita lebih senang berlama-lama atau menunda-nunda menyelesaikan berbagai persoalan. Misalnya—sekadar menyebut suatu kasus—pencairan dana Lapindo telah terkatung-katung selama dua tahun terakhir, dan hingga kemarin masih juga menunggu pendapat Jaksa Agung M. Prasetyo. Berapa banyakkah detik yang telah dihabiskan dalam kurun dua tahun itu? Bukahkah setiap detik kita juga selalu mencatat angka kelahiran dan angka kematian? Ya, nyatanya begitu banyak yang dapat terjadi dan memengaruhi seluruh kehidupan kita dalam selang waktu satu detik itu.

 

Sementara itu, saya jadi teringat film Stanger Then Fiction (2006) garapan Mark Forster. Dalam film itu, seorang Harold Crick (diperankan Will Farrell) menjalani hidup secara terukur, tepat waktu, penuh kalkulasi, bahkan amat presisi. Ia bangun tidur tepat pukul 07.15, lalu menghitung jumlah gosokan ketika menyikat 32 giginya sebanyak 76 kali dengan perincian 38 kali ke belakang dan ke depan serta 38 kali ke atas dan ke bawah, menghemat waktu 43 detik ketika mengenakan dasi, menghitung langkahnya yang rata-rata 57 langkah untuk setiap blok dalam enam blok yang dilaluinya, demi mengejar bus yang melaju tepat pukul 8.17—pada saat langkahnya melintasi ambang pintu bus yang segera tertutup—, bekerja selama 12 jam dan memeriksa 7.134 berkas pajak setiap hari, istirahat makan siang selama 45 menit 7 detik dan istirahat minum kopi selama 4 menit 3 detik, sampai jam tidur yang selalu tepat pada pukul 11.13 malam.

 

Begitulah Harold menjalani rutinitasnya selama 12 tahun sebagai agen senior untuk Internal Revenue Service. Dan semua itu, diatur dengan sempurna oleh jam tangannya. Ya, jam tangannya—penunjuk waktu yang sederhana dibanding perhitungan waktu atau masa dalam kurun sejarah. Namun, pada hari Rabu siang itu, jam tangannya tiba-tiba mati. Dan Harold meminta keterangan waktu kepada orang yang berada di dekatnya—yang ternyata semenjak itu, waktu di jam tangannya lebih lambat tiga menit—dan karenanya mengubah kehidupan Harold.

 

Yang menarik bagi saya adalah bukan pada rutinitas Harold yang tampak menjemukan dalam kesendiriannya itu, namun lebih pada presisi waktu yang tepat dan terukur.

 

Hal ideal semacam itu, barangkali, tak akan bisa kita lakukan di negara yang subur makmur gemah ripah lohjinawi ini. Betapa, kemacetan di kota-kota kerap membuat kita terlambat; moda transportasi kerap membuat kita jengah karena bisa berhenti secara sembarang sekalipun di jalur bebas hambatan untuk menaik-turunkan penumpang; kereta api dan pesawat yang terlambat tiba dan terlambat lepas landas; keputusan pengadilan yang ditunda; kasus-kasus yang tidak selesai—atau sengaja tidak diselesaikan—hingga kemudian dibekukan; dan jadwal yang telah ditetapkan pun kerap mundur beberapa jam, hari, atau bulan, atau bahkan bisa dibatalkan tiba-tiba.

 

Bagi sebagian kita, meskipun beberapa orang mengamini pameo “waktu adalah uang adalah peluang”, tampaknya waktu tak pernah menjadi bagian yang begitu penting dan diperhitungkan secara tepat. Sekalipun, dalam era digital ini, banjir informasi mendesak-menimbun kita dalam tempo dua per seribu detik—lebih cepat dari kedipan mata.

 

Tapi, jika kita boleh bertanya, berapa lamakah waktu (pasti) yang tersisa bagi terpidana semenjak vonis hukuman mati ditetapkan? Berapa lamakah waktu (pasti) yang dibutuhkan sang presiden untuk merealisasikan nawacita yang digadang-gadang? Berapa lamakah waktu (pasti) bagi sebuah negara demokrasi untuk menyelesaikan berbagai-bagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM? Dan sederet pertanyaan lainnya yang akan menambah daftar panjang kasus-kasus yang tak kunjung selesai. 

 

Di samping itu, saya lebih tertarik untuk mempertanyakan, berapa lamakah waktu (pasti) yang diperlukan untuk membangun sebuah waduk dari mulai perencanaan, upaya pembebasan lahan, desain pembangunan, proses konstruksi, pembayaran ganti rugi atas dampak sosial pembangunan itu, pengairan atau pengisiannya (impounding), hingga manfaat keberadaan waduk tersebut sebagai pengairan irigasi, cadangan air baku, dan pembangkit listik, dapat kita rasakan? Sekadar contoh, konon, gagasan pembangunan waduk Jatigede, di Sumedang, Jawa Barat, itu telah digagas pada tahun 1963, lalu pembebasan lahannya dilakukan pada 1982, desainnya dibuat pada 1988, proses konstruksinya dimulai pada 2007—yang kemudian terhambat karena masalah relokasi warga—, dan hingga Juli 2015 ini baru dilakukan pembayaran ganti rugi atas dampak sosial yang terjadi di sekitarnya, dan rencananya baru akan dilakukan pengisian atau pengairan waduk Jatigede itu pada bulan Agustus 2015 mendatang; pengairan yang diperkirakan akan memakan waktu selama 219 hari.

 

Dapat kita lihat, setidaknya, 33 tahun telah kita lewati semenjak pembebasan lahan untuk waduk Jatigede itu dilakukan. Berapa banyakkah detik yang kita habiskan dalam rentang waktu 33 tahun itu? Barangkali, selama rentang waktu 33 tahun itu, pada suatu detik ada anak-anak yang terlahir, belajar merangkak atau bermain, pada detik lain ada anak-anak sekolah dan lulus sekolah, berpacaran, kasmaran, pada detik lain ada yang menikah, sakit, pada detik lainnya ada yang meninggal, dan sebagainya dan sebagainya, hingga pada detik tertentu—beberapa bulan mendatang—mereka benar-benar terusir dari kampung halamannya yang segera menjelma menjadi dasar waduk Jatigede. Sementara itu, dari waduk Jatigede itu, agaknya kita dapat belajar sesuatu yang berguna—paling tidak terkait proses konstruksi yang terhambat karena masalah relokasi warga. Tentu kita tak menginginkan hal yang sama terjadi dalam proses konstruksi waduk Karian di Lebak, Banten, yang rencana penggalian pondasi sebagai tahap awal pembangunannya (ground bracking) akan dimulai pada Juli 2015 ini.

 

Dan barangkali, tersebab itulah, Tuhan bersumpah mengenai waktu, demi masa, dalam ayat pertama surat al-Ashr, agar kita tidak menjadi orang-orang yang merugi. Sebab waktu, bagaimanapun, benar-benar mengikat dan membatasi kita; sebab maut, konon, tak dapat ditarik maju atau mundur satu detik pun. Sementara itu, sang penyair Chairil Anwar, bahkan berujar: aku tak tahu apa nasib waktu. Sementara ia percaya bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing. Dan mungkin, nasib waktu merupakan kesunyian yang lain, kesunyian yang tak tepermanai. Hanya saja, agaknya hingga detik ini, kita masih belum menyadari bahwa waktu adalah satu-satunya aset paling berharga tinimbang tambang, minyak bumi, emas, rempah, batu bara, hasil laut, dan sebagainya, sebab waktu tak pernah bisa digulung mundur atau diperbarui. Waktu bukanlah energi yang terbarukan. [*]


Niduparas Erlang lahir tahun 1986 di Serang, Banten. Produktif menulis prosa dan telah memenangi beberapa lomba penulisan cerita pendek dan esai tingkat nasional. Bukunya, La Rangku mendapat penghargaan sebagai kumpulan cerita pendek terbaik di Festival Seni Surabaya 2011. Sementara kumpulan cerpen keduanya berjudul Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar direncanakan terbit tahun ini.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ragam Tulisan Lainnya
Close
Back to top button