Oleh Veronica Gabriella
biem.co — Aku memulai tulisan ini dengan satu pertanyaan yang dititipkan padaku: apa makna kemerdekaan bagimu? Pandanganku pun menembus jendela ruang tengah rumah seraya berusaha menemukan jawabannya. Aku bangkit dari bangku setelah setengah jam lebih menghadapi kertas kosong. Aku berdiri di depan cermin—dan mulai berbicara sendiri pada bayangan orang yang terpantul di hadapanku. Kusentuh permukaan kaca dengan ujung telunjukku. Lalu, kira-kira ini yang kukatakan pada orang itu:
Kamu terkantuk-kantuk bangun dari tempat tidurmu ketika upacara bendera di istana kepresidenan yang disiarkan televisi di ruang tamu rumahmu sudah selesai. Samar-samar kamu mendapati sang merah putih sudah berkibar dengan gagahnya di ujung tiang melalui benda kotak berlayar kaca itu. Lalu kamu mengerang kecil, bukan karena lelapmu terganggu, melainkan siap mencibir dan memaki bahwa kamu hanya melihat sebarisan tikus-tikus berjas dan berdasi yang hadir di sana. Kamu mencoba bangkit, keluar dari kamar yang pintunya sudah terbuka dan melangkah menuju selasar rumah. Di kompleksmu sudah begitu ramai nyatanya. Berbagai lomba tujuh belasan digelar serentak. Teriakan semangat bersahut-sahutan. Mulai dari makan kerupuk sampai tarik tambang. Lagi-lagi, kamu menekuk mukamu seraya berdesis tajam; Agustus berangka tujuh belas, tanggal merah bagi orang-orang untuk menikmati jeda dalam senang-senang. Begitulah merdeka dirayakan, berpora dalam pesta sehari semalam, besok kembali lupa alasan tentang mengapa hari ini ada.
Namun, kamu belum beranjak. Lamunanmu justru bertahan lama di antara tawa canda dan juang keras anak-anak memenangkan lomba. Terawanganmu terselip di tengah berisiknya lagu iringan joget balon yang diputar, serta lengking nyaring suara kehebohan anak-anak perempuan yang sedang menangkap belut. Pikiranmu terlempar pada belasan tahun lalu ketika kamu masih berseragam putih merah seperti mereka. Setiap hari kamu menghafal lirik lagu nasional dan tangga nadanya untuk dimainkan dengan pianika. Kamu berlatih keras karena itu yang nantinya yang akan diujikan di mata pelajaran kerajinan dan kesenian. Kamu juga tak lupa bagaimana kamu komat-kamit mengulang teks Proklamasi, Pancasila, pembukaan Undang-Undang Dasar, dan isi Sumpah Pemuda. Belum lagi, ditambah kamu harus mengingat kronologi tanggal-tanggal penting dalam sejarah kemerdekaan negara, sampai nama tokoh pahlawannya. Ruwet, itu yang kamu bilang. Kamu tanamkan dalam kepalamu, yang penting hafal. Intinya harus bisa lolos PKN dan Sejarah dengan nilai bagus. Kamu belajar keras dari petang hingga larut malam demi pertempuran dengan selembar kertas ujian. Ketika nilai minimal delapan lima berhasil kamu torehkan, barulah bisa kamu angkat bambu runcingmu dan berteriak ‘Merdeka!’.
Kamu tertawa hambar.
Kesadaranmu mendadak terjaga, diikuti dengan kedua tanganmu yang mengepal geram. Kamu lantas berbisik entah kepada siapa, peringatannya setiap tahun bagai perayaan terhadap kenangan saja, aku tak melihat pemaknaannya bagi masa depan bangsa. Kamu spontan begitu kesal dan marah. Kamu masuk ke dalam rumah. Duduk asal-asalan di sofa keluarga. Tanganmu mengeluarkan ponsel pintar, membuka akun-akun media sosial dan membaca berita-berita yang dibagikan teman-temanmu. Tiba-tiba saja, kamu cengkeram erat telepon genggam mungil di genggamanmu hingga jari-jarimu memutih. Kali ini kamu tak lagi tahan, kamu mengoceh keras soal berita-berita korupsi yang kamu baca, gedung-gedung tinggi yang bersolek di antara pemukiman kumuh, kisah seorang anak dan ibunya yang sakit dan ditolak rumah sakit, dan kawan-kawannya. Kamu terlalu sibuk berpidato sampai lupa mengecek situs-situs seperti apa yang menghasilkan kabar-kabar tadi. Kamu masih mengoceh. Berkoar-koar, disemati dengan umpatan-umpatan berbahasa asing. Kamu keluarkan analisis paling cerdasmu untuk menemukan bagaimana negara tidak pernah memiliki lengan yang cukup panjang untuk memeluk rakyatnya yang dicekik kemiskinan, dan tak mempunyai telinga yang sehat untuk mendengar suara dan jeritan para warganya.
Kamu ambil kunci mobilmu, kamu bawa kendaraan yang kamu beli hasil dari rekomendasi temanmu—yang katanya keluaran terbatas, masuk ke Indonesia hanya beberapa unit saja—itu melaju ke salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota. Kamu butuh menenangkan diri, katamu. Kakimu membawamu pada salah satu gerai makanan impor, makan sebentar sebelum akhirnya pergi ke sinema Dua Puluh Satu. Kamu temukan aktor favoritmu sedang main di film yang akan diputar satu jam lagi. Film dengan terjemahan teks Indonesia itu pun kamu pilih. Pulang dari sana, keadaan hatimu sedikit membaik, sampai ketika kamu berhenti di lampu merah dan menemukan sosok pria paruh baya tengah memunguti sampah gelas plastik di pinggir jalan.
Itu guru SMP-mu dulu. Begitu iba, kamu menepikan mobil dan menghampiri beliau. Mengajak beliau makan di tenda makan terdekat. Kamu banyak mengobrol. Dari beliau, kamu dapati jika beliau bekerja sampingan sebagai tukang pulung untuk mendapat penghasilan tambahan dari kegagalan beliau diangkat dari guru honorer menjadi PNS. Kata beliau, rupiahnya digunakannya untuk membeli hadiah lomba Agustusan bagi murid-murid di kampungnya. Kamu tahu jika gurumu memang membangun sekolah kecil yang gratis di kampung. Kamu hendak mengutarakan kekesalanmu terhadap birokrasi dan ‘praktik basah’ yang terjadi, ketika gurumu memotong dengan cepat, “Bapak mencintai Indonesia. Suatu kebanggaan bagi Bapak bisa menjadi bagian dari orang-orang yang turut mencetak anak-anak cerdas pemimpin bangsa, dengan menjadi guru. Kuncinya adalah kontribusi, Nak. Itu yang mampu mengubah apa yang kamu gelisahkan. Sesederhana itu.”
Kamu tertegun. Ada bagian dari dirimu yang tiba-tiba malu—juga memberontak. Kamu pulang dengan perasaan kacau. Sesampaimu di rumah, kamu bertemu adikmu yang masih SMP, tengah kelelahan seusai ikut lomba lompat dengan karung goni. Adikmu langsung bercerita panjang lebar padamu, “Kak, tadi aku juara tiga, loh! Keren, kan? Dapat satu set kotak pensil, nih. Oh ya, Kak, tapi bukan itu yang mau aku ceritain. Tadi sebelum lombanya mulai dan sehabis nyanyi Indonesia Raya, ketua panitianya nangis! Dia bilang, semua lomba-lomba ini adalah simbol sederhana akan gigihnya perjuangan dan usaha para pahlawan dulunya dalam merebut kemerdekaan. Kita semua jadi semangat. Kita bersusah payah untuk menang seperti dulu pahlawan berupaya keras Indonesia merdeka. Walaupun terdengar berlebihan, tapi itu menjawab pertanyaan orang-orang tentang makna lomba-lomba Agustusan. Menurut Kakak gimana?”
Kamu terkesiap. Kamu melambaikan tanganmu dengan kasar, mengusir adikmu pergi. Sebelum kamu benar-benar merasa ada yang rubuh dalam dirimu, kamu memutuskan pergi ke rumah sahabatmu yang jaraknya hanya beberapa blok dari rumahmu. Ketika sudah berdiri di depan pagar, kamu disambut oleh sorot lampu sepeda motor dari belakang punggungmu. Sahabatmu baru pulang menonton salah satu film lokal tentang salah seorang tokoh yang pernah menjabat jadi presiden.
“Aku sangat suka bagian ketika ia mengirim surat ke pemerintah untuk menanyakan Indonesia sedang butuh tenaga ahli di bidang apa, agar mahasiswa di luar negeri bisa mengambil disiplin ilmu yang sesuai dengan kebutuhan. Itu membuatku berpikir, buat apa kamu sekolah tinggi-tinggi ketika tujuannya hanya perkaya dan hebatkan diri sendiri? Deretan titel dan gelar baru betul-betul berguna ketika ia bermanfaat bagi orang lain. Mungkin banyak yang salah dengan negara ini, tapi di saat bersamaan juga banyak harapan tumbuh di sini, itulah gunanya anak muda seperti kita sekarang, membawanya pada perubahan yang baik.”
Kamu terhenyak. Tak seperti biasanya, kamu segera berlalu. Ada yang tercabik-cabik di kedalaman dirimu yang berkubang pada penyesalan yang sama sekali belum terlambat. Dalam perjalanan kembali ke rumah, sebuah dering tanda pesan masuk ke ponselmu, membuatmu penasaran. Kamu membukanya. Nyatanya itu pesan berantai dari grup pertemananmu, isinya hanya sebaris kalimat kutipan: “Jangan tanyakan apa yang bisa negara berikan padamu. Tapi tanyakan apa yang bisa kamu hadiahkan pada negaramu di hari ulang tahunnya.”
Jari jemariku tersengat. Aku menarik kembali tanganku yang sedari tadi menyentuh dinginnya permukaan cermin. Tapi kali ini aku tersenyum. Aku telah menemukan jawaban untuk pertanyaan di awal. Menanyakan makna kemerdekaan, tidak melulu berbicara tentang negara, justru sebaliknya. Ia berbincang tentang diri sendiri–sudah sejauh mana kita mempersembahkan karya dan abdi terbaik untuk negara, untuk Indonesia. [*]
Veronica Gabriella, mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara ini adalah penulis buku solo berjudul Shooting Star. Namanya pun terlibat sebagai penulis di buku Bicara Cinta dan Time in a Bottle. Tinggal di Kota Tangerang dan aktif menulis di berbagai media. Salah satu anggota keluarga Banten Muda Community ini mengaku cerpennya kali ini terinspirasi dari percakapan pertama Graham Bell pada Watson saat menggunakan penemuan mutakhirnya, telepon. Graham Bell mengatakan, ‘Kemarilah, aku ingin bertemu.'