OpiniReview

‘Voice’ Hilal Ahmad: Yakin Sudah Merdeka?

 

biem.co — Setiap Agustus, kita selalu merayakan hari kemerdekaan. Ya, tentu saja di tanggal 17. Angka ini sangat keramat bagi para remaja dan juga ditunggu-tunggu. Angka yang konon katanya, merdeka untuk melakukan apa pun karena sudah tidak lagi dianggap anak-anak dan siap bermetamorfosa menjadi manusia seutuhnya. Tapi apa benar setelah melewati angka 17, seseorang sudah dianggap semerdeka itu?

 

Sejarah mencatat dengan baik, 17 Agustus 1945 memang hari spesial. Perlahan namun pasti negeri yang kita diami ini tidak lagi bertekuk lutut di bawah senjata kompeni. Entah itu Jepang, Belanda, atau negara persekutuan. Yeah, merdeka! Saatnya bereuforia. Tapi apakah kita sudah semerdeka itu?

 

Kebanggaan yang Memudar 

Di bangku sekolah atau madrasah, sering kali diulas, kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Artinya, siapa saja boleh merdeka. Termasuk merdeka untuk mengungkapkan pendapat dan berekspresi. Merdeka memilih apa yang diinginkan dan disukai pun termasuk, loh. Misalnya bebas mendengarkan musik yang disukai, menonton film yang lagi hits, atau membaca buku yang lagi best seller. Fiks! Tidak ada yang ngelarang. Bebas.

 

Baca juga: 'SMS Terakhir' Bisa Jadi Referensimu Menulis Cerpen untuk Media

 

Tapi tahukah kita, kemerdekaan yang sangat bebas kita hirup di negara kita ini ternyata menjadikan masalah baru. Remaja yang sangat akrab dengan budaya populer, lebih menyukai musik hiphop atau reggae dibandingkan rebana, lebih menyukai modern dance dibandingkan jaipong atau ronggeng, lebih memilih film Hollywood dengan alasan film negeri sendiri jarang yang berkualitas, dan lebih suka membeli buku seri Harry Potter dibandingkan tetralogi Laskar Pelangi. Atau lebih suka nonton secara maraton drama Korea yang ceritanya menawan dibandingkan sinetron kejar tayang yang penuh kelebaian. Dan sudah menjadi rahasia umum, lebih suka menggunakan bahasa Inggris dibandingkan memelihara bahasa daerah dan digunakan di sekolah.

 

Apa itu salah? Tidak. Tentu saja tidak. Toh belum ada undang-undang yang tidak memperbolehkan memilih dan memakai apa pun dari luar negeri dibandingkan luar negeri bukan? Bebas.

 

Tapi tahukan kita, jika apa pun yang kita tonton, pakai, dan akrabi dalam keseharian, jika semuanya berasal dari negara luar, perlahan-lahan dapat menggerogoti rasa kecintaan terhadap negara sendiri. Alih-alih memuji karya anak bangsa, justru malah sebaliknya. Kalau sudah begini, tidak heran jika sering didengar, “Ah, film Indonesia mah kacangan!”, atau “Ah, buku Indonesia mah nggak ada yang berbobot,” juga “Ah, penyanyi dan musik Indonesia mah nggak kece!”. Dan serentet kalimat nyinyir lainnya. Apakah semua boleh berkomentar sepeerti itu di dunia nyata maupun maya? Ya. Bebas.

 

Selintas nampak sederhana dan sepele. Namun jika terjadi terus-menerus, kebanggaan akan Tanah Air siap memudar. Kalau sudah begini, apa yang para guru dan orang-orang tua katakan dengan istilah penjajahan gaya baru, benar-benar terjadi. Yakni melalui musik, film, buku, dan media hiburan lainnya. Dan hebatnya, kita dijajah dengan cara yang sangat cantik dan asyik. Tidak terasa sakitnya. Sangat dimanjakan.

 

Masih Bangga?

Momentum hari kemerdekaan secara teori, seyogyanya menjadi titik balik untuk mengembalikan kebanggaan terhadap Tanah Air. Teorinya sih mudah. Buka saja buku PMP yang berubah menjadi PPKn, kemudian PKn, atau Kewarganegaraan. Di sana banyak dibahas. Tapi sayangnya, teori-teori ciamik ini hanya menguap di ruang kelas, kalah dengan daya khayal para siswa yang jenuh dengan ocehan guru karena mengajar ala kadarnya saat pelajaran Kewarganegaraan disampaikan. Bisa jadi esensi permasalahan kewarganegaraan bermula dari teori yang disampaikan kurang canggih ini. Salah siapa? Tentu bukan salah Cinta dan teman-teman Cinta di AADC lagi bukan? Juga bukan salah Rangga yang datang lagi di AADC 2 tepat saat Cinta akan menikah. Ah sudahlah.

 

Temukan masalah dan solusi. Itu yang diajarkan Chelsea Islan di film Rudi Habibi. Masalahnya saat ini adalah, remaja kita mengalami krisis percaya diri. Buktinya? Lebih suka hal-hal berbau Korea, Jepang, Amerika, Turki, dan India dibandingkan kebudayaan sendiri. Tidak heran kalau segala hal tentang itu laris-manis di layar kaca. Tontonan yang menjadi tuntunan. Penyebabnya kompleks, bisa jadi karena produk negeri sendiri yang kurang bisa bersaing. Jika sudah begini, mencintai produk negeri sendiri dengan slogan aku cinta Indonesia hanya jingle yang hanya menjadi pengantar tidur. Ah, itupun kalah easy listening dengan lagu Kakek Bengkok di Conjuring 2.

 

Perayaan kemerdekaan yang menghadirkan banyak lomba seperti panjat pinang, parade baju adat, dan sebagainya, selayaknya tidak diacuhkan sebagai acara numpang lewat. Semua ada hikmahnya.

 

Bukan. Acara seperti itu bukan satu-satunya cara merayakan 17-an yang hanya datang setahun sekali. Masih banyak lagi. Bukan. Bukan juga acara semacam ini hanya dimunculkan saat agustusan lalu menguap entah ke mana di luar bulan Agustus. Tapi, acara semacam ini menjadi pengingat. Ya, mengingatkan kita harus bersyukur, telah mengalami 17 yang membuat kita merdeka. Membuat kita merasa bangga untuk bisa bermetamorfosa dan meninggalkan fase penjajahan atau dalam konteksi sweet seventeen meninggalkan masa kanak-kanak yang dianggap remeh dan dipandang sebelah mata.

 

Baca: 

Buku Pilihan: Banyak Alasan Mengapa Harus 'Ayah'

Jakarta dari Kacamata Seno Gumira Ajidarma

 

Jadi, jika pertanyaan yang muncul apa yang harus dilakukan di hari kemerdekaan? Bisa jadi, simpan DVD film Korea-mu dan mulailah menyusun rencana membuat lomba untuk memeriahkan sang Merah Putih berkibar di kampungmu atau lingkungan RT-mu. Mulai dari hal terkecil jika hal besar dirasa susah. Mulai dari hal yang kita bisa dibandingkan hanya merencanakan sesuatu yang besar namun tanpa aksi nyata. Cara lain mungkin bisa juga dengan menyimpan playlist lagu-lagu berbahasa luar negerimu dan mulai mendengarkan lagi lagu Garuda Pancasila dan lagu-lagu nasional yang kamu hafal saat taman kanak-kanak atau Sekolah Dasar. Dengan begitu, langkah kecilmu, setidaknya dapat menyelematkan diri kita untuk tidak kembali dalam masa-masa di mana aspirasi hanya untuk konsumsi sendiri. Di mana masa-masa kita tak lagi memiliki suara. Bukan begitu? (*)


Hilal Ahmad

Hilal Ahmad adalah pengelola rubrik remaja di salah satu koran di Banten.       

             

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button