InspirasiOpini

Uus Muhammad Husaini: ‘Idul Qurban, dari Ujian Ketaatan Sampai Solidaritas Sosial

Oleh H. Uus M. Husaini, Lc., M.Pd.I

biem.co – Setiap orang yang beriman senantiasa mendambakan rahmat, maghfirah, dan ridha Allah SWT. Seluruh aktivitasnya -duniawiyah dan ukhrawiyah- ia maksudkan untuk memperoleh rahmat dan ridha Allah SWT. Bagi orang beriman tidak ada perbedaan antara aktifitas duniawiyah dan aktifitas ukhrawiyah. Sebab, keduanya dilakukan dengan niat untuk mencari ridha Allah dan dilakukan sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah. Bila kedua aktifitas tersebut sudah diridhai Allah, maka tentu rahmat dan maghfirah-Nya pun akan dicurahkan Allah kepadanya.

Demi memperoleh rahmat, maghfirah, dan ridha Allah, seorang yang beriman akan melakukan apa saja yang mungkin bisa dilakukan, memberikan apa saja yang mungkin bisa diberikan dan mengorbankan apa saja yang mungkin bisa dikorbankan.

Idul Adha mensyariatkan ibadah qurban bagi yang siapa saja yang memiliki kemampuan untuk berqurban. Bahkan melarang untuk mendekati masjid atau musholla bagi yang mampu namun tidak berqurban. Dalam sebuah hadits dikatakan: barangsiapa yang mampu untuk berqurban namun tidak melaksanakannya maka jangan sekali-kali mendekati musholla kami.[1]Kesadaran dan keinsyafan untuk berqurban karena Allah inilah yang merupakan makna hakiki dari ‘Idul Adha. Makna ini akan dirasakan kemanfaatannya apabila diwujudkan dalam kehidupan realitas kita melalui makna instrumentalnya.

Secara harfiah ‘Idul Adha artinya adalah Hari Raya berqurban. Dinamai demikian karena dimaksudkan untuk mengingat ketaatan dan pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. dan keluarganya untuk dicontoh, diteladani, dan diwujudkan nilai-nilainya oleh orang-orang yang beriman.

Secara sederhana, nilai (ajaran) qurban ini tergambar dalam penyembelihan hewan qurban itu sendiri; hal tersebut dapat dilihat dari; 1) niatnya; 2) orientasinya; 3) kemanfaataannya; 4) tujuannya. Mari kita coba simak uraian berikut ini:

1. Niat Berqurban

Aktivitas qurban yang disyari’atkan oleh Islam adalah aktivitas pengorbanan yang diniatkan harus karena Allah. Esensi niat karena Allah adalah memurnikan ketaatan dan kepatuhan hanya kepada Allah sebagai wujud dari keimanan dan kesadaran selaku makhluk hamba Allah, dan khalifah Allah di muka bumi.

Niat karena Allah ini ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran tentang keberadaan (existensi) Allah, menjadikan Allah sebagai motivasi dan tujuan hidup dan menghilangkan semua penyakit hati, seperti syirik, kufur, munafik, takabbur, riya, ‘ujub, dsb.

Orang yang memiliki niat dan keimanan seperti ini, tentu akan melakukan apa saja yang diperintahkan Allah, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as, dan keluarganya pada saat menerima perintah dari Allah untuk mengorbankan putranya Ismail as. Pedahal sekian lama Nabi Ibrahim mendambakan seorang anak, begitu Allah memberikan anak dan ketika anak telah sampai usia tamyiz, bisa mambantu dan berusaha bersama ayahnya datanglah perintah Allah untuk mengorbankannya. Apa yang menyebabkan Nabi Ibrahim siap untuk mengorbankan anaknya? Dalam al-Qur’an surah ash-Shoffaat [37] ayat 102 dan beberapa ayat setelahnya Allah menggambarkan:

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”..[2]

Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa ternyata kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putranya tidak dapat menghalangi kepatuhan dan ketaatannya kepada Allah. Di sisi lain, Ismail sendiri karena ketaatannya bersedia mengorbankan jiwa dan raganya demi patuh dan taat kepada perintah Allah. Dan Siti Hajar ra, sekalipun air matanya nampak menitik pertanda bahwa ia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya, tetapi secara pasti ia berkata: “aku rela kalau itu memang perintah Allah”.

Kepatuhan dan ketaatan yang dijiwai oleh semangat pengorbanan karena Allah ini, divisualisasikan (diragakan) secara simbolik dengan penuh keimanan dan keinsyafan oleh mereka yang melaksanakan ibadah haji, dan mereka yang melakukan ibadah qurban.

Aktifitas orang yang melakukan ibadah hajipun seluruhnya mencerminkan kepatuhan dan ketaatan. Bahkan untuk mencontoh Rasulullah –mencium hajar aswad (batu hitam) sekalipun- mereka ikhlas dan rela melakukannya karena ketaatan kepada Allah. Hal ini, sejalan dengan apa yang mereka nyatakan di dalam talbiyah, Labbaik Allahumma Labbaik (Ya, Allah ini aku datang memenuhi panggilan-Mu; siap untuk melaksanakan apapun yang Engkau perintahkan, siap meninggalkan apapun yang Engkau larang). Dalam kehidupan pasca ibadah haji, kesiapan inilah yang menjadi salah satu indikasi penting bagi seseorang apakah hajinya mabrur atau tidak.

2. Orientasi Berqurban

Orientasi pengorbanan karena Allah diwujudkan dalam bentuk kepedulian sosial dan perhatian terhadap lingkungan. Dalam al-Qur’an Allah Swt berfirman:

Maka makanlah sebagian dari padanya dan sebagian lagi berikanlah untuk makan orang-orang yang sengsara lagi fakir. [3]

Dalam ayat tersebut di atas Allah menyatakan bahwa daging qurban boleh dinikmati oleh orang yang berqurban yang merupakan nikmat dan anugerah Allah, tetapi sebagian yang lain didistribusikan secara adil dan merata terutama kepada mereka yang benar-benar membutuhkan sebagai bentuk kepedulian sosial dan perhatian terhadap lingkungan.

3. Manfaat Berqurban

Kemanfaatan berqurban dapat dirasakan oleh semua pihak; bagi yang berqurban maka kualitas keimanan, dan ketakwaannya semakin bertambah, posisinya semakin dekat kepada Allah. Bagi orang-orang yang berada di lingkungannya, manfaat berqurban dapat dirasakan terutama oleh mereka yang berada pada posisi mustad’afin .

Dengan demikian, penyakit-penyakit sosial, seperti sikap apatis, individualistik, egoistis, dan kazaliman-kezaliman lainnya diharapkan dengan sendirinya akan terkikis melalui proses interaksi dalam kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat pengorbanan karena Allah, sehingga apa yang disebut dengan kesenjangan sosial akibat ketidakadilan yang dapat menimbulkan antara lain sikap dan perilaku kriminalitas serta anarkis dan kejahatan-kejahatan ekonomi dan sosial lainnya dapat dihindarkan.

4. Tujuan Berqurban

Tujuan berqurban adalah taqarrub kepada Allah, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada-Nya untuk memperoleh rahmat, maghfirah, dan ridha-Nya. Upaya mendekatkan diri kepada Allah adalah proses yang terus menerus bergerak tanpa henti; maka di dalamnya pasti terdapat dinamika, terdapat aktivitas, kreativitas, produktivitas, dan inovasi-inovasi, yang kesemuanya berjalan sesuai dengan aturan dan ketentuan Allah; berjalan secara efisien, efektif, disiplin, istiqamah, dan manfaat bagi lingkungannya.

Nilai-nilai, semangat, dan sejarah berqurban seperti yang telah disebutkan di atas hanya akan menjadi “mutiara dalam lumpur” manakala kita tidak dapat mewujudkannya ke dalam kenyataan hidup dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, sesuai dengan maksud dan tujuannya, seyogyanya ibadah qurban yang disyari’atkan oleh Allah ini, kita jadikan sebagai sarana pendidikan; kita jadikan sebagai instrumen atau alat untuk mewujudkan nilai-nilai intrinsiknya, diaplikasikan dalam kenyataan kehidupan kita sehari-hari, sehingga sesuai dengan sifatnya dan kemanfaatannya dapat dirasakan secara bersama-sama, terutama oleh masyarakat dan lingkungan di mana kita berada.

Oleh karena itu, marilah kita jadikan Hari Raya Idul Adha dan penyelenggaraan ibadah qurban kali ini sebagai momentum untuk mewujudkan nilai, ajaran, semangat nilai jiwa pengorbanan karena Allah, dan solidaritas, baik sebagai bangsa Indonesia, maupun sebagai umat Islam sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as dan keluarganya.

Kita ucapkan selamat kepada mereka semua yang berqurban dengan harapan semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah; kepada mereka yang menunaikan ibadah haji, semoga hajinya diterima oleh Allah sebagai haji yang mabrur; kepada kita semua, kiranya Allah berkenan memberikan ketetapan iman dan Islam, memberikan taufiq, hidayah dan ‘inayah-Nya, memberikan kemudahan dan keberkahan-Nya, sehingga kita dapat memperoleh kebahagian dan kesejahteraan di dunia dan akhirat kelak.


[1] Sunan Ibnu Majah, kitab al-adhohy, hadits nomor 3122

[2] Q.S. Ash-Shaaffat [37]: 102

[3] Q.S. al-Haj [22]: 28 


Uus Muhammad Husaini, adalah Pengurus Forum Dosen Agama Islam Universitas Serang Raya dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir.


Artikel Terkait:

Uus Muhammad Husaini: Diam Itu “Bukan” Emas
Uus Muhammad Husaini: TABAYYUN
Uus Muhammad Husaini: Melestarikan Nilai-nilai Ramadhan


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button