KABUPATEN PANDEGLANG, biem.co –Kian hari, bahasa daerah kian jarang terdengar suaranya. Para orangtua lebih bangga mengajarkan anak-anaknya dengan bahasa luar daerah. Sehingga dapat dipastikan secara perlahan bahasa daerah atau bahasa ibu itu akan hilang.
Maka, baru-baru ini dalam perhelatan Workshop Ngajarkeun Basa Sunda Bari Gumbira di Pendopo Kabupaten Pandeglang (28/01), Godi Suwarna, salah satu sastrawan kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat ini memberikan keterangan soal kenapa hingga saat ini, ia masih tekun berkarya dengan bahasa ibu.
“Dalam membuat karya, baik puisi, sajak, dan lainnya. Saya lebih mendapatkan kenikmatan dengan menggunakan bahasa Sunda,” tutur Godi kepada biem.co baru-baru ini.
Sebelumnya, imbuh Godi, saya menulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan sering dimuat di beberapa media, namun lagi-lagi saya tidak mendapatkan kenikmatan.
“Setelah saya mencoba menulis dengan bahasa ibu saya sendiri, ternyata saya mendapat kenikmatan yang luar biasa, gitu. Ketika saya menulis dengan Bahasa Indonesia, tidak semua apa yang saya inginkan dengan kondisi perasaan yang ada tidak dapat tercurah,” imbuh pria kelahiran 23, Mei 1956 ini.
Selain itu, lanjut Godi, bahasa ibu itu lebih ngeuna. Karena bahasa ibu penuh dengan kosa kata yang dapat mewakili gambaraan perasaan. “Ada nuansa rasanya, gitu,” kata Godi lagi.
Godi mengumpamakan, dalam Bahasa Sunda, cara berjalan aja, udah macem-macem kosa kata, di mana beda rasa dan gerakan, maka akan beda kata atau istilahnya.
“Berjalan itu dalam Bahasa Sunda memiliki berbagai kosa kata, misal ngagandeuang (jalan santai dengan posisi tubuh tegap), ngageudig (berjalan dengan cepat), dan ngalenghoy (jalan santai karena kelelahan),” ungkap Godi.
Sangking sudah mendapatkan kenikmatan tersebut, kata Godi, akhirnya saya rela untuk tidak memikirkan honor dan lain sebagainya.
“Bayangkan saja, waktu itu pada 1970 an, honor menulis cerpen pakai Bahasa Indonesia sekira Rp150 ribu. Sedangkan pakai Bahasa Sunda hanya Rp15 ribu, tapi saya lebih memilih menulis pakai Bahasa Sunda, karena ada kenikmatan dan kepuasan batin,” ucap Gogi.
Diketahui, karya-karya, Godi sudah banyak dibukukan, di antaranya “Jagat Alit” (1979), “Surat-surat Kaliwat” (1982), “Blues Kéré Lauk” (1992), “Dongéng Si Ujang” (1998), “Murang-maring” (1980), dan “Serat Sarwasatwa” (1995).
Nah, untuk para anak muda, seru Godi, musti dapat menikmati bahasa ibunya apa pun itu, dengan penuh perasaan dan irama.
“Kalaupun kita tidak mengerti bahasa yang diungkapkan oleh seniman dalam menyampaikan karya-karyanya, namun karena dibawakan dengan totalitas, maka kita akan ikut merasakan kenikmatannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa dalam kesenian itu relatif, sehingga yang lebih utama adalah penjiwaannya,” seru Godi.
Selain menulis, sejak kecil Godi juga suka bermain sandiwara. Pernah menjadi aktor, sutradara, dan juga menulis naskah drama, di antaranya “Burung-burung Hitam”, “Orang-orang Kelam”, “Gaok-gaok Geblek”, dan “Gor Gar”.
Karena ketekunannya dalam mendalami bahasa ibu, tidak heran jika ia terkenal sebagai seorang sastrawan melalui karya-karyanya, baik berupa cerpen, sajak, puisi, dan lainnya. Sehingga ia diundang untuk mengisi di berbagai event baik Nasional maupun Internasional, seperti Berlin Art Festifal, dan menjuarai berbagai event, di antaranya Hadiah Sastra Rancage (1996), Sutradara Terbaik PORSENI Jawa Barat (1980), Sutradara Terbaik PORSENI Nasional (1981), Novel Deng mendapatkan Hadiah Sastra Oeton Moechtar (2000), dan lainnya.
Kini, Godi bersama istri tinggal di Ciamis, Jawa Barat dan melatih anak-anak muda di sana, mulai dari teater, tari, diskusi, dan lainnya di Studio Tititk Dua yang didirikannya pada 2010 silam. (AF)