Opini

Fitra Riyanto: Legowo dan Rekonsiliasi

biem.co — Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya berujung final. Gugatan BPN Prabowo-Sandi seluruhnya ditolak. Beberapa hari yang lalu, Prabowo-Sandi resmi membubarkan Koalisi Adi Makmur-nya.

Jolowi-Ma’ruf sebagai presiden terpilih memastikan diri menjadi presiden untuk Indonesia 5 tahun kedepan. Ini berarti sudah tidak ada lagi koalisi 01 atau 02, tidak ada lagi ‘bong’ dan ‘pret’. Dengan serangkaian geliat politik yang panjang dan cukup menguras emosi, kiranya tidak berlebihan jika kita menyodorkan pertanyaan krusial: lantas bagaimana langkah-langkah yang tepat pasca polarisasi yang turut menggerogoti kehidupan Bangsa Indonesia?

Sebuah pertanyaan yang mungkin tidak pernah terlintas dalam kepala sebagian besar kubu pendukung yang penuh dengan klaim kebenaran masing-masing. Bagaimana masa depan Indonesia, jika masih saja ngeyel terhadap hal-hal yang sudah banyak ditempuh, mulai dari pemilu sampai berujung pada meja MK?

Jika praktik ngeyel ini masih terus dilanggengkan oleh aktivis politik, serta pihak-pihak pendukung, hal ini justru akan turut menggerogoti pilar-pilar penopang demokrasi di Indonesia.

Sikap legowo merupakan jalan yang dapat meyakinkan kepada publik bahwa keadaan dewasa ini tidak seburuk yang dibayangkan dan tidak seburuk negara-negara lain yang gagal menjalankan demokrasinya berkat dari praktik ngeyel dari aktivis politik dan jajarannya.

Tentunya kita tidak ingin demokrasi di negara kita malah menjelma menjadi alat untuk mencederai pilar-pilar berbangsa dan bernegara. Hal ini bertentangan dengan apa yang dicita-citakan oleh para founding fathers kita.

Pekerjaan Rumah

Banyak hal yang perlu dibenahi dari rumah ke-Indonesiaan kita pasca pilpres dewasa ini. Perlunya menjahit kembali soliditas dan solidaritas bangsa yang dirasa telah dicabik-cabik oleh polarisasi pilpres.

Sejak menguatnya isu politik identitas seperti SARA, bangsa kita terserang virus  keterbelahan yang amat akut. Ibaratkan isi bangsa ini hanya ada ‘bong’ dan ‘pret’, kalau tidak pro pemerintah, ya, oposisi. Penyakit polarisasi ini kemudian menjalar ke berbagai tubuh kehidupan bangsa kita. Mulai dari polarisasi hukum, sosial-budaya, ekonomi, dan aspek lainnya.

Wajar, jika situasi politik nasional sampai saat ini masih terasa panas yang tak henti-hentinya hangat diperbincangkan oleh masyarakat di pelbagai media.

Kondisi saat ini sejalan dengan teori Machiavelli yang menyebutkan bahwa politik dan moral adalah dua bidang yang tidak memiliki hubungan sama sekali, yang dikalkulasi hanyalah kesuksesan sehingga tidak ada perhatian pada moral di dalam urusan politik. Baginya hanya satu kaidah etika politik: yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan raja.

Oleh karena itu, rekonsiliasi nasional harus menjadi agenda prioritas utama oleh berbagai lapisan tanpa terkecuali. agenda ini bermaksud untuk memulihkan kembali hubungan pasca perhelatan pilpres 2019. Baik hubungan antar kontestan, tim sukses, simpatisan termasuk hubungan antar masyarakat.

Rekonsilisasi nasional harus atas dasar paham spirit persatuan nasional sebagai suatu konstruksi untuk mengakomodir perbedaan ideologi, pandangan, perbedaan partai politik, latar belakang sosial-budaya dan lain sebagainya. Tanpa adanya spirit ini, rekonsilisasi hanya akan berjalan pada tatanan seremonial belaka.

Etika Publik

Mulai dari para aktivis politik beserta jajarannya sebagai simbol paripurna, pertarungan politik dapat menjadi lokomotif kuat untuk mengerakkan seluruh elemen, mulai timses sampai grassroots (akar rumput) agar dapat melakukan rekonsiliasi nasional di semua lini dan daerah di Indonesia.

Sikap publik yang tercermin dari para aktivis politik beserta jajarannya akan menjadi contoh sampai ke grassroots elemen masyarakat, maka sikap legowo dan imbauan persatuan yang menyejukkan, baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan sikap yang perlu dikemukakan dalam arena publik, tidak memprovokasi, serta menghapuskan produksi wacana serangan merupakan kematangan bersikap yang sudah harus terinternalisasi dari para aktivis politik beserta jajaranya, agar tak ada lagi tragedi-tragedi yang dapat menghancurkan keindonesiaan kita.

Menjawab Isu

Adalah tanggung jawab Jokowi-Ma’ruf kedepan untuk menjawab segala isu serta kritik yang ditujukan pada mereka. Isu krusial yang harus dijawab oleh pemerintahan Jokowi-Ma’ruf itu diantaranya:

Pertama, keadilan untuk semua. Kedepannya, pemerintah harus lebih masif menonjolkan muka keadilan di pelbagai bidang. Kawan–lawan tindak secara tegas dalam bingkai ke-Indonesiaan, tanpa intervensi dari pihak manapun.

Kedua, melindungi indeks demokrasi. Dengan memberikan mimbar kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan pers bagi siapapun tanpa terkecuali.

Ketiga, merangkul kepentingan Prabowo. Membersamai agenda politik strategis Prabowo sebagai bagian agenda politik pemerintahaan kedepan, karena agenda-agenda yang diusung Prabowo merupakan jawaban dari isu sentral yang dituduhkan kepada pemerintah, misalnya isu Islam, kebocoran anggaran dan lain sebagainya.

Harmonisasi pasca polarisasi merupakan agenda suci yang harus mengakomodir kepentingan heterogenitas, bukan keseragaman yang monolog. Ujian demokrasi terletak pada seberapa jauh pluralitas dalam segala hal dikelola secara produktif.

Legowo dan seruan persatuan dari para aktivis politik merupakan cerminan dari kematangan jiwa dari para aktivis politik. Kesemuanya agar terciptanya kebersamaan, keharmonisan dan persatuan demi terciptanya kemajuan Bangsa Indonesia. (red)


Fitra Riyanto, Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Asal Pandeglang.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button