Cerpen

Cerpen Muhammad Noor Fadillah: Darah Perempuan

biem.co — Buku yang tadi ia edarkan kini kembali ke tangannya. Diliriknya sebentar buku kecil yang memuat informasi golongan darah semua teman sekelasnya itu, sebelum kemudian ia peluk erat. Ia bahagia karena akhirnya bisa mengetahui semua golongan darah temannya. Sebelumnya, hanya segelintir orang yang mau mengisi buku itu. Teman-temannya hanya heran mengapa perempuan itu ingin sekali mengetahui golongan darah sampai harus memaksa setiap orang untuk mengisinya.

“Golongan darah? Memang untuk apa Dara? tanya Mariana yang duduk di samping Dahara.

Dahara melihat ke sekitar. Memastikan keadaan aman.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

“Ini informasi yang sangat penting. Dengan ini aku bisa mengetahui semua sifat teman-teman kita. Mana yang benar-benar baik dan mana yang pura-pura baik,” ucapnya pelan seperti berbisik.

“Kamu percaya ramalan kepribadian dari golongan darah?”

Dahara tak menjawab. Ia masih memeluk bukunya.

“Percaya ramalan itu dosa lo. Tidak boleh dipercaya. Sebaiknya hentikan saja Dara.” cerocos Amalia.

Dahara menatap Amalia dengan wajah heran. “Ini bukan ramalan seperti yang banyak di televisi. Ini ilmiah. Masa kamu tidak tahu?”

Dahara sangat percaya pada ramalan yang berhubungan dengan golongan darah. Baginya di antara ramalan-ramalan lain, ramalan golongan darah adalah yang paling mendekati kebenaran. Dalam pikirannya ramalan golongan darah dilakukan para peneliti yang pastinya akan mendekati kebenaran. Lagipula, semua orang juga tahu bahwa darah memiliki fungsi sangat penting dalam tubuh manusia. Sehingga wajar jika darah mempengaruhi karakter seseorang.

Awalnya ia tak begitu percaya dengan ramalan golongan darah. Saat itu ia tak sengaja mendapati majalah lama yang di dalamnya tertulis mengenai kepribadian masing-masing golongan darah. Baginya itu terasa aneh. Namun lama kelamaan ia merasa apa yang dibaca benar-benar terjadi pada dirinya. Ia kemudian mencari bacaan serupa untuk membuktikan bahwa yang ia rasakan bukan kebetulan. Jadilah, ia rutin mencari ramalan golongan darah. Pada akhrirnya semua yang ia baca memang terjadi pada dirinya.

Beberapa teman dekatnya sering ia jadikan objek pembuktian agar semakin meyakinkan. Setelah menanyakan golongan darah, ia memberitahukan sifat-sifat sesuai ramalan golongan darah dan menyuruh temannya membuktikan kebenarannya. Rata-rata memang benar.

Dahara sendiri bergolongan darah AB. Ia mengklaim sudah berhasil mengetahui beberapa sifat temannya. Mariana bergolongan darah A, adalah seorang yang cukup pemalu, perencana handal, ramah, dan baik hati. Amalia bergolongan darah B, orang yang tidak mau dikalahkan, penuh semangat, gampang marah dan terkadang suka melanggar janji. Terakhir adalah Tata, perempuan bergolongan darah O yang berarti ia memiliki rasa humor tinggi, banyak bicara, dan suka makan.

Dahara menutup bukunya dan memasukkan perkakas ke tas ranselnya. Kemudian beranjak pergi.

“Lho Ra, kenapa buru-buru?” tanya Amalia heran.

“Iya Ra, memangnya golongan darah AB suka buru-buru ya?” celetuk Tata. Tangannya tak berhenti memasukkan makanan.

“Ada agenda lain malam ini,” jawabnya singkat. Ia lalu meninggalkan ketiga temannya yang masih kebingungan.

“Barangkali memang benar apa yang dikatakan ramalan itu. Orang-orang berdarah AB agak misterius,” sambung Tata lagi.

“Kamu percaya?” tanya Amalia dan Mariana kompak. Tapi tak ada jawaban.

***

Sore itu Dahara amat kesal. Baru saja ia membaca ramalan golongan darah terbaru di majalah. Anehnya, di sana ia menemukan sifat yang ternyata tak ada pada dirinya. Padahal itu adalah sifat mendasar. Ia mengira ramalan kali ini ada kekeliruan. Namun setelah mencari sumber lain ternyata hasilnya sama saja.

“Apakah selama ini aku salah mempercayai ramalan?. Apakah ramalan itu memang kebetulan saja?” gumam Dahara dengan tubuh tersandar di kursi.

Malam harinya, Tata pergi ke rumah Dahara. Baru saja sebuah pesan singkat masuk. Ia diundang datang ke rumah Dahara karena temannya itu baru saja berhasil menjadi model sampul sebuah majalah. Katanya itu adalah majalah yang selama ini memberikan ramalan golongan darah. Mungkin karena Dahara berlangganan dan sangat menyukai ramalan,  membuat ia terpilih. Lagipula Dahara memang cantik sehingga layak menjadi model. Karena itu Dahara ingin merayakannya.

Tata mengetuk pintu. Tak sebagaimana biasanya, rumah Dahara sepi. Untuk sebuah acara perayaan, ini memang aneh. Tapi Tata tak terlalu mempermasalahkan. Baginya hal ini semakin membuktikan kalau Dahara adalah pribadi yang unik. Sepertinya Tata juga mulai mempercayai ramalan golongan darah.

Tak lama pintu terbuka. Dahara menyambutnya dengan sumringah dan mempersilakannya masuk. Merekapun berpesta.

“Oh iya Ra, kenapa cuma aku yang diundang. Bukankah kamu mengadakan sebuah pesta?”

Dahara tak langsung menjawab. Ia mengambil majalah dari lemari dan membuka halaman tertentu. “Kamu lihat. Di sini tertulis kalau golongan darah sepertiku lebih senang berduaan saja. Aku tidak terlalu suka keramaian. Dan aku lebih suka berada di rumah.”

Tata hanya mangut-mangut dengan mulut masih sibuk mengunyah makanan. Jawaban Dahara membuat nafsu makannya bertambah.

“Tapi Ra, kalau berdua saja kurang seru.”

Dahara kembali membolak-balikkan bukunya. Berusaha mencari sebuah halaman.

“Pantas saja,” sambil menunjukkan halaman yang tadi ia cari. “Golongan darah sepertimu memang suka di tempat yang banyak orang ya.”

“Kok bisa tahu kalau aku suka banyak orang?”

“Sudah aku bilang, kalau golongan darah itu memang cukup akurat mengetahui perilaku kita. Makanya aku sangat percaya dengan ramalan golongan darah ini,” jawabnya penuh keyakinan.

“Tapi kamu tenang saja. Amalia dan Mariana juga aku undang kesini hanya saja beda waktu dengan kamu. Supaya tetap bisa berduaan seperti ini.”

Tata mengerutkan dahi. Menurutnya Dahara sudah sangat terobsesi dengan ramalan. Pembicaraannya tak pernah jauh dari perihal golongan darah. Meski begitu Tata rupanya mulai tertarik dan penasaran dengan ramalan golongan darah. Tata meminjam majalah tadi yang disambut antusias Dahara.

Sejak membaca majalah, kedua mata Tata seperti tak mau beralih dari sana. Entah mengapa semakin dibaca, ramalan itu semakin menarik baginya. Sesekali ia berpikir dan mencoba mencocok-cocokkan dengan dirinya. Meski ada beberapa hal yang berbeda, namun ia lebih banyak mengiyakan kebenaran ramalan itu.

“Ramalan ini banyak yang sama denganku. Tapi ada beberapa juga sih yang menurutku tidak sesuai.”

“Aku awalnya juga berpikir seperti itu. Tapi sekarang aku sudah mengetahui bahwa semua yang dikatakan ramalan ini pasti benar. Adapun sifat-sifat yang kita rasa belum ada dalam diri kita, sebenarnya sifat itu sudah ada. Hanya saja belum keluar. Ini yang aku maksud sifat terpendam,” jawab Dahara bersemangat.

“Aku masih belum yakin seratus persen. Tapi harus diakui ramalan ini memang hebat. Ramalan ini bahkan bisa tahu kalau aku paling tidak suka dibohongi. Jika dibohongi aku akan merasa sangat sakit hati,” kini Tata tak tahu apakah selanjutnya akan menjadi seperti Dahara yang penuh totalitas mempercayai ramalan.

Sementara Dahara tiba-tiba terdiam kaku. Ia memandang Tata yang masih melanjutkan bacaannya dengan tatapan kosong.

“Tidak suka dibohongi? Bagaimana kalau itu dilakukan sahabatmu?” tanya Dahara sedikit ragu.

“Tetap saja aku marah. Bahkan akan lebih marah dan sakit hati karena itu dilakukan sahabat sendiri. Tapi tenang saja. Aku yakin sahabatku yang satu ini tidak akan pernah membohongiku. Betulkan Dahara sayang?”

Tubuh Dahara seakan bergetar. Dadanya terasa amat sesak. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah ia sudah mengecewakan sahabatnya itu. Apakah berbohong agar sesuai dengan ramalan golongan darah adalah perbuatan salah? Tapi bagaimana dengan sifat yang terpendam?

***

Masih dengan perasaan bersalah. Dahara bingung harus berbuat apa. Satu-satunya yang memenuhi pikirannya hanyalah ia telah menjadi perempuan yang jahat. Ia tega membohongi sahabatnya sendiri. Padahal Tata adalah orang yang sangat berjasa dihidupnya. Di sisi lain ia juga masih bertanya: “Bukankah sifatku memang seperti ini?”

Merasa bingung harus bagaimana, Dahara beranjak ke dapur mengambil sebuah pisau. Kebetulan di meja tamu sudah tersedia kue yang belum dipotong. Kejadian tadi membuatnya merasa lapar.

“Bagus Dahara, kamu selalu paham kalau aku ingin kue itu dan sekarang kamu membawakan pisau untukku. Golongan darah AB memang selalu pengertian,” dengan wajah berbinar-binar. Majalah itu juga masih di tangannya.

“Sekarang tutup matamu. Aku ingin memberikan sesuatu yang istimewa kepadamu,” sahut Dahara dengan pisau di tangannya yang memantulkan cahaya lampu dan sedikit bergetar. Ia yakin perempuan itu mau menurutinya sebab golongan darahnya menunjukan ia adalah orang yang mudah percaya pada orang lain.

Dengan sedikit heran. “Mengapa aku harus menutup mataku? Ah atau jangan-jangan kamu mau memberikan hadiah? Ayolah ulang tahunku masih jauh,” tebak Tata sambil menutup matanya. Dahara hanya tersenyum tipis.

“Sepertinya golongan darahmu harus diganti. Merepotkan saja,” tangan Dahara dipenuhi darah segar. Bau anyir dengan cepat menyelimuti seisi ruangan.


Muhammad Noor FadillahTentang Penulis: Muhammad Noor Fadillah, Lahir di Martapura, 24 Juni 1998. Tinggal di Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Sekarang menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Seorang penyuka sastra. Anggota Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Telah menerbitkan buku kumpulan cerpen pertamanya berjudul “Surat dari Saranjana” (Karyapedia Publisher, 2019). IG: @munof_

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button