Cerpen

Cerpen Ilham Romadhan: Kehabisan Tiket

biem.co — Seorang perempuan keluar penjara dengan kaki kanan yang hampir putus, berjalan terhuyung menghampiri semacam loket. Orang-orang sudah tidak mengenal atau begitu peduli dengan nama. Tapi mereka sepakat menyebutnya Klontong; bagi tempat penjualan tiket. Perempuan itu hendak pulang ke dunia. Satu-satunya cara adalah dengan membeli tiket. Malam kamis, malam paling ia rindukan. Hanya pada saat itu seluruh tawanan penjara dipersilakan keluar dan melakukan apa saja yang diminta; termasuk kembali ke dunia.

Beberapa orang sedang mengantri dengan rupa masing-masing. Ada yang lehernya berlubang, lelaki dengan penis yang terpotong, seorang ibu menggendong bayi dan sebelah matanya selalu menutup. Beberapa yang lain masih terlihat lengkap dan sehat meski darah tetap saja dibiarkan menyusuri tubuhnya. Mereka yang hanya mandi darah dan anggota tubuhnya tetap utuh merasa lebih sehat dari mereka yang sebagian atau seluruh anggota di tubuhnya hilang.

Perempuan itu mendekat ke pengantrian tanpa merasa risih. Ia bergabung dengan penumpang jurusan dunia lalu ikut berbaris menunggu sampai dirinya berhenti tepat di depan loket. Sudah lama ia tidak merapal angka. Sudah lama pula ia tidak berhitung. Ia tidak mengetahui berapa lama menunggu dirinya sampai di depan loket. Semua pengantri hanya menatap ke depan. Ke depan.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Mereka tidak mau menoleh atau melihat siapa yang sedang berdiri di belakangnya. Kerabatnya, temannya atau tetangganya. Mereka tidak peduli. Mereka takut antriannya tergeser orang lain kalau saja berpaling dari arah depan. Perempuan itu juga sudah lupa tempat arah. Jangankan tempat arah, satu nama arah pun ia sudah tidak ingat. Seperti halnya yang lain, ia terus menatap ke depan. Ia tidak mau arah selain depan meski yang di anggap depan baginya adalah tempat penyerahan tiket jauh di ujung sana. Ia tidak tahu seberapa jauh yang dimaksud. Tetapi ia saksikan pacuan kuda di samping tempatnya berdiri juga berakhir di samping loket. Ia menyaksikannya dengan melirik. Matanya telah diatur untuk tidak berpaling dari tengkuk pengantri di depannya.

Beberapa saat ia menanti. Dan sekarang dirinya tepat di depan loket tanpa aling-aling. Ia tidak tahu berapa lama menunggu sampai ke titik itu. Yang diingatnya, itu pun kalau tidak salah, bahwa ia telah melihat kuda-kuda yang dipacu itu bolak balik hingga lima puluh kali. 50 kali. Tidak ada matahari di sana. Seandainya ada, barangkali ia bisa menaksir berapa lama ia mengantri. Ah, tapi baginya itu tak penting. Sekarang ia telah berhadapan dengan orang yang besarnya tiga kali lipat dari tubuhnya. Salah, dia bukan orang. Tidak ada orang yang tubuhnya bersinar sepertinya. Yang tidak begitu jelas apakah yang dikenakan itu jubah atau sulaman cahaya. Jelasnya, ia bukan tergolong ‘orang’. Tapi peduli amat dengan nama.

Perempuan itu langsung saja menyambar, “Pak Tua, aku mau beli tiket! Aku hendak mengulang masa sebelum kematianku.” Perempuan itu berkisah Panjang lebar perihal kematiannya. Suatu malam, ketika perjalanan pulang dari pesta, lampu-lampu merkuri di jalan yang remang-remang dan sisa hujan yang turun dengan malas, ia kemudikan mobilnya melebihi rata-rata. Detik-detik sialnya ketika ia tengah menyalip kendaraan di depan lalu sekonyong muncul mobil dari arah lawan yang melaju sama kencang. Kemudi lepas. Ia tidak bisa mengendalikan kecemasan. Ia kacau. Mobilnya menerobos trotoar lalu menabrak palem di pinggir jalan. Ia tewas dengan kaki kanan yang hampir putus sebab terhimpit pintu mobil.

Pak Tua tidak jemu mendengarnya. Ribuan kisah orang-orang dunia selalu disimaknya baik-baik. Yang demikian ini semacam ritual sebelum tiket diberikan. Orang-orang boleh berbicara apa saja. Semaunya. Pundak perempuan itu telah beberapa kali ditepuk oleh pengantri di belakangnya. Tapi, siapa yang hendak main-main dengan kematian? Ketika ditanya berapa umurnya, ia menjawab 15 tahun. Pak Tua lantas mengulurkan tiket dan tertulis di dalamnya; ditukar dengan 15 amal baik. Perempuan itu merogoh sakunya dan memberikan apa yang tertulis dalam tiket.

Ia hendak bertanya namun Pak Tua itu langsung menyambar “Bayangkan saja di mana kamu berada saat itu!”Perempuan itu tidak mengangguk atau perlu mengucap terima kasih. Ia terlalu sibuk dengan bahagia meski makna bahagia sesungguhnya yang pernah didefinisikan guru SMP sudah tak diingatnya. Lantas ia membayangkan dirinya sedang mengemudi mobil, malam itu.

Benar saja, ia kembali ke masa itu. Detik-detik kecelakaan yang tidak pernah ia bayangkan apalagi ia inginkan. Ia sedang memakai baju blonde kesukaannya; yang dipenuhi motif bunga melingkar melilit perutnya. Ia juga sedang memakai sepatu. Kantuk lampu-lampu merkuri persis seperti malam itu. Ia ingat-ingat betul lokasi di mana peristiwa tragis itu terjadi. Di depan ada mobil yang dulu gagal ia salip. Sungguh di depan nampak tikungan. Ia tidak ingin menyalip mobil di depannya sebagai prestasi yang harus ditukar dengan nyawa.

Mobil ia kemudikan sangat pelan. Tak peduli seberapa lambat mobil di depannya. Ketika tepat di kelokan, dilihatnya mobil melaju kencang dari arah lawan. Tubuhnya bergantian antara gemetar dan tenang. Ia tidak mau melihat trotoar. Matanya dialihkan dari palem jalanan. Saat mulai berpapasan, mobilnya melaju dengan normal. Ia tetap fokus dan ia selamat. Malam itu, ia sampai di rumah dengan tubuh yang utuh. Ia mengetuk pintu dan dilihatnya kedua orang tuanya berdiri menyambutnya. Mereka berpelukan. Mereka bahagia seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Namun perempuan itu tidak mampu menebak, apakah itu pelukan semu atau memang nyata? Ia tidak peduli. Ia masih sepenuhnya anak yang baru lulus SMP. Dan masih hidup.

Hidup berjalan normal. Orang tuanya telah memilihkannya SMA favorit di kotanya. SMA yang selalu diceritakannya kepada teman sebangkunya di SMP sebagai bakal sekolah tempat ia meneruskan belajar nantinya. Ia lulus SMA tepat pada perayaan umurnya yang ke 18. Saat itu, ia sudah lupa dengan kematian, dengan masa lalu yang ambigu; apakah yang demikian itu pernah terjadi atau tidak sama sekali dalam hidupnya. Hingga pada suatu hari, di tengah keberangkatannya menuju luar kota; menghabiskan libur panjang seusai bertarung dengan berbagai ujian sekolah dan negara, pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan udara. Waktu itu, hari menuju siang; sekitar jam 8. Ia ditemukan tewas dengan kondisi parah; separuh wajah terkoyak, beberapa jari tangannya hilang dan kaki kirinya hampir putus. Itu terjadi beberapa minggu menjelang hari ia ditunang.

Setelah lama tertidur, matanya kembali terbuka dan ia melihat dirinya sedang dalam jeruji. Nampaknya ia sudah berada di tempat yang sungguh tidak asing; penjara. Tempat itu lagi, tempat yang belum pernah ia beri nama. Ia tidak mau menganggap penjara itu sebagai rumahnya, sebab apa yang disebut pulang belum memiliki makna seutuhnya. Di hari tertentu ia bisa kembali ke rumah dunia sesuai keinginannya. Dan di hari tertentu pula ia harus kembali ke tempat yang sungguh tidak diinginkan. Di dunia, ia berjalan, makan dan tidur. Di penjara pun ia bisa melakukan hal serupa.

Untuk menuju kamis, hari terasa sangat Panjang. Tidak ada matahari. Tidak ada isyarat malam, siang atau pagi. Tidak ada. Sehingga bisa jadi sehari di sana berbanding satu purnama dunia. Perempuan itu tidak mengerti betul, apakah perkiraannya itu tepat atau tidak. Ia akan tetap menunggu untuk kembali ke rumah, rumah yang mengantarkan dirinya kepada kematian; dunia. Tak peduli seberapa lama. Ia sungguh hanya memperdulikan nasibnya sebelum kecelakaan di pesawat itu terjadi.

Sampai pada saat di mana ia bangun dan melihat pintu penjara terbuka. Ia bangkit dengan cekatan. Dengan kaki kiri yang hampir putus, beberapa jari yang hilang dan separuh wajah yang hancur. Ia tergopoh-gopoh mencari Klontong. Ia akan bertemu Pak Tua itu lagi. Ia akan membeli tiket. Ia ingin kembali ke beberapa jam sebelum pesawat lepas landas. Ia akan ditunang. Segera nampak olehnya, Klontong dari kejauhan. Benar, itu hari kamis. Sebetulnya ia tidak begitu percaya ada kamis di sana. Tapi kalau orang-orang terlihat berkumpul dan berbaris memanjang di depan Klontong, itu pasti kamis. Pasti.

Baru saja keluar, ada yang tetiba meneriakinya. Ia menoleh. Dan orang itu tetap berteriak memanggilnya. Nampak seperti ingin keluar namun pintu terkunci. Sekilas dilihatnya itu adalah adiknya. Bukan, itu adik lelaki yang akan menunangnya. Benar. Ia masih kenal betul wajahnya. Tidak ada yang berbeda kecuali kuping yang hanya tinggal satu. Ia ingin menghampiri dan menolongnya. Tapi bagaimanapun harus ada yang dikorbankan untuk setiap pertolongan. 100 amal saleh untuk satu kunci pintu. Dan ia dengan ringan hati menebusnya. Anak kecil yang nantinya akan menjadi adik iparnya itu akhirnya bebas.

Sekarang perempuan itu berjalan ke arah Klontong. Tidak banyak yang mengantri. Barangkali orang-orang sudah bosan atau bahkan menyesal telah kembali ke dunia. Mereka kembali hidup dengan jangka umur yang telah tertera di tiket. Suatu saat mereka harus kembali. Kembali mati. Dan suatu saat itu adalah hari ini. Perempuan itu tak pernah peduli seberapa panjang atau pendek garis antrian. Ia lebih peduli dengan kesenangan nanti ketika sampai dunia. Kebahagiaan yang murah, yang bisa ditukar hanya dengan beberapa lembar uang, pun yang juga masih bisa ditawar. Ia tidak ingin menderita. Ia ingin kembali untuk kedua kalinya ke dunia.

Kali ini, ia harus berdiri membelakangi seorang nenek. Melihat pundaknya yang rendah dan harus mau mencium bau seperti aroma bangkai tikus got yang berbulan-bulan tidak disingkirkan. Tapi perempuan itu benar-benar tak peduli. Dan sekonyong-konyong datang dua orang; wanita muda dan seorang lelaki. Mereka datang dari depan. Begitu saja menyodorkan kedua tangannya, meminta diberi beberapa amal. Nampaknya, amal mereka tidak cukup untuk harga sebuah tiket. Mereka mengaku pernah digunjing dan beberapa kali dihina oleh perempuan itu. Dan karena pernah memakan dagingnya di dunia, perempuan itu kini harus menukarnya dengan amal. Tidak ada uang. Hanya ada nilai sebuah amal di sana. Sungguh, perempuan itu pernah menggunjing keduanya. Dan mereka berdua kembali setelah masing-masing menerima 200 amal saleh serta menyerahkan seluruh dosanya kepada perempuan itu. Ia coba merogoh sakunya. Dan hanya tersisa beberapa amal yang barangkali cukup untuk satu tiket. Tak lebih.

Orang-orang yang sedang mengantri kian berkurang. Dilihatnya hanya tinggal beberapa kepala. Ada yang masih berambut namun tak keruan, ada pula yang sudah botak. Mereka seperti tak memperdulikan penampilan. Perempuan itu berfikir, ia harus sudah kembali setidaknya di waktu sebelum ia naik pesawat. Atau sebelum pesawat mengudara. Kala itu sekitar jam 08.00 jumat pagi. Ia tidak bisa meyakinkan apakah ingatnnya tidak salah? Ia ragu-ragu dan kali ini tidak ada isyarat jam berapa. Namun secepatnya, entah seberapa cepat, ia harus kembali sebelum benar-benar terlambat.

Di depan wajahnya tersisa masih dua kepala. Tak pernah ia menaksir waktu, namun penantian terasa amat panjang. Semakin dekat dan satu kepala telah menyingkir dari depan loket. Ia maju satu langkah. Ia kembali menanti. Dan nampak orang di depannya akan berakhir pula urusannya dengan Pak Tua. Ketika orang itu mulai bergeser dan belum sempat kakinya melangkah, tiba-tiba datang seorang ibu sambil menggendong anaknya dari belakang. Ibu itu tidak bisa berkata. Hanya dapat memberi isyarat bahwa ia ingin cepat-cepat membawa anaknya kembali ke dunia dan menyelamatkan dua kaki anaknya yang putus. Anaknya menangis kesakitan. Dan perempuan itu iba, meski tak pernah ada yang melirik nasibnya selama di sana. Ia persilakan ibu itu mengambil antriannya. Setelah beberapa saat menunggu, ibu itu menyingkir tanpa mengecupkan terima kasih. Perempuan itu maju selangkah. Ia sudah membayangkan sebentar lagi ia akan menggagalkan jadwal terbangnya. Ia akan kembali selamat. Ia akan segera ditunang. Namun sebelum sempat ia mengucap kata, Pak Tua dengan cekat menyambar; “Maaf, persediaan tiket habis.”

22 Januari 2020


Ilham RomadhanTentang Penulis: llham Romadhan, lahir di Malang waktu Indonesia puasa. Sering ngopi di Padepokan Qahwiyat. Buku-bukunya lahir beruntun mulaiIlham kumpulan puisi Jununi Majnun: 2018, Persegi: Guepedia-2019, dan novelet Ketika Ada Yang Tiada: Divapress-2019. Sekarang masih Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Malang Bidang Fiqh wa Ushuluhu dengan fokus Fikih Industri.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button