InspirasiOpini

Sejarah, Pendidikan, dan Strategi Kebudayaan

Oleh L. Nihwan Sumuranje*

biem.co — Menjadi Indonesia sangat dipengaruhi pikiran dan tindakan para pelajar di era kolonial. Nasionalisme Indonesia sulit tercapai tanpa adanya usaha proses penanaman, penyadaran dan gerakan nasional. Pendidikan telah memberikan kontribusi istimewa dalam mewujudkan Indonesia yang berdaulat.  Di luar materi-materi pelajaran resmi yang melarang perbincangan nasionalisme serta hukuman keras (fisik maupun hukuman sosial) yang teramat berat bagi anak-anak pribumi. Justru, gerakan sosial dalam bentuk protes, penyusunan strategi dan langkah-langkah yang memperjuangkan Indonesia Merdeka terus tumbuh dan berkembang, membesar dan menggelombang menjadi gerakan yang memperjuangkan nasionalisme dari Sabang sampai Merauke.
Revolusi Mental 1928 Melahirkan Kemerdekaan RI 1945

Kalau sekadar ingin hidup enak, aman, nyaman serta gaji besar, atau pendidikan yang mereka jalani hanya untuk mengejar ijazah dan setelah itu menjadi pegawai di bawah Pemerintah Kolonial. Ternyata, mereka memasuki dunia pendidikan tidak untuk bertujuan menjadi pejabat (pangreh praja) bagi birokrasi kolonial. Kaum terdidik dari beragam latar belakang etnis, budaya dan keyakinan bersatu padu untuk membangun persatuan dan kesatuan. Sumpah Pemuda  boleh dikatakan sebagai puncak peristiwa bersejarah dalam merakit persatuan dan kesatuan di tengah keberbedaan suku, bangsa, budaya dan bahasa. Sumpah Pemuda yang menghasilkan kesepakatan satu tanah, satu bangsa dan satu bahasa yang ketiga komponen pokok kebangsaan itu (tanah, bangsa, bahasa) adalah Indonesia. Meskipun sebagai negara formal belum lahir, tetapi Indonesia sebagai tanah air, bangsa dan bahasa dinyatakan oleh putra-putri Indonesia. Kata Indonesia sebagai suatu negara menggantikan sebutan Hindia Belanda, nama yang diberikan oleh Belanda.

Sesudah persatuan dan kesatuan tercipta lewat Sumpah Pemuda di tahun 1928, dalam waktu yang termasuk cepat yakni 17 tahun, pada 1945 Indonesia Merdeka. Rasanya sulit tercipta kemerdekaan kalau perjuangan hanya dilakukan bersifat kedaerahan. Dan  Sumpah Pemuda lahir dari rahim pendidikan anak-anak bangsa. Nasionalisme pada perkembangannya memiliki makna yang luas seiring dialektika sejarah yang mengitari perkembangan dan dinamikanya sendiri. Jika dulu nasionalisme antara lain memuat tuntutan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan di masa Perang Revolusi (1945-1950). Sekarang, nasionalisme adalah perjuangan untuk melindungi kepentingan-kepentingan nasional (baca: rakyat) dan upaya untuk memaksimalkan kontribusi Indonesia di dunia global, dalam berbagai bidang baik pendidikan, kebudayaan, pertahanan-keamanan, perdamaian, ekonomi, politik dan lain sebagainya.
Misi Global

Banyak mahasiswa luar negeri yang menempuh pendidikan di Indonesia untuk mempelajari tentang negara kita. Termasuk mendalami antropologi dan sosiologi yang terkait dengan masyarakat Indonesia guna memahami Indonesia secara lebih dalam dan luas. Kemudian dari hasil itu dapat digunakan untuk membangun komunikasi dalam berbagai bidang. Katakanlah ada misi guna membangun daya saing atau bekerja sama dengan Indonesia. Seperti yang sering dikatakan Emha Ainun Nadjib kita tidak anti asing, tetapi kita jangan sampai dirugikan maupun merugikan pihak asing. Artinya sebuah pergaulan di level internasional harus saling menguntungkan dan bisa saling bernilai membantu sebagai sesama warga dunia.

Setidaknya kita punya modal sejarah pernah berkontribusi penting untuk kawasan Asia-Afrika. Bersama perwakilan negara-negara Asia-Afrika, 18- 24 April 1955 di Kota Bandung  Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo (sekadar mewakili) merupakan dua nama yang mampu berpikir dan bertindak  global untuk memberikan kekuatan moril dan materil bagi negara-negara di Asia-Afrika yang rata-rata masih dalam pengaruh kolonial bangsa-bangsa Eropa.  Perjuangan untuk Palestina misalnya, diantara strategi yang dimunculkan oleh para pemimpin Indonesia sesuai amanat konstitusi kita, dari era Presiden Sukarno hingga Presiden Joko Widodo yaitu menggeser isu berbasis keagamaan menjadi isu kemanusiaan. Dengan isu kemanusiaan, berarti mengajak negara-negara lain untuk sama-sama memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan di bumi Palestina.

Sebuah tantangan sekaligus peluang untuk semua komponen anak bangsa bahwa, di satu kaki kita harus memijakkan kuat-kuat di tingkat nasional. Namun di lain sisi, pada waktu yang berbarengan bagaimana bisa berpartisipasi untuk dunia global sebagai bagian dari warga dunia yang ingin memberikan nilai-nilai manfaat dalam berbagai bidang.

Strategi Pendidikan dan Kebudayaan

Jika dulu tokoh-tokoh pendidikan semisal Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan dan lainnya berani memberikan solusi untuk pendidikan nasional. Kedua tokoh pendidikan itu mengubah kurikulum dengan tindakan nyata yang manfaatnya masih dinikmati saat ini yakni pembentukan watak dan engeksplorasi alam sebagaimana mestinya. Sepemahaman penulis, sudah tepat apa yang dirumuskan Kemendikbud dengan program Pendidikan Karakter (untuk SD, SMP hingga SMA dan yang sederajat). Kalau karakter positif sudah terbentuk di usia-usia ini, niscaya kelak sebagai generasi penerus menjadi pribadi yang bermartabat dan bekerja keras untuk kepentingan-kepentingan nasional. Berlanjut ke Perguruan Tinggi menjadi pribadi yang gemar mempelajari sesuatu yang bermanfaat baik yang tergolong ilmu pasti (matematika dan lainnya) maupun ilmu sosial. Dengan begitu, akan tercipta daya saing atau daya tawar untuk kepentingan global dan di waktu yang sama menguatkan nasionalisme Indonesia.   

Dalam kapasitasnya sebagai pemikir, Anis Matta menawarkan lompatan pemikiran kepada seluruh komponen anak bangsa, agar “keluar pagar” dari sekadar memikirkan komunitas masing-masing ke skala peradaban dunia, berpikir seputar Indonesia ke kontribusi internasional. Lompatan pemikiran ini kemudian akan berbuah pada tingkat keterampilan, kinerja atas sumber daya alam yang dimiliki.  Di buku Gelombang Indonesia Ketiga (TFI, 2014) Anis mengibaratkan budaya sebagai alat. Alat itu harus cocok dengan masalah yang dihadapi. Transformasi budaya di lapangan kenyataan yang baru dan terus berubah. Anis Matta menyodorkan empat hal untuk dipelajari dan dikembangkan yaitu; arsitektural, fungsional, eksperimental dan terakhir kreatif.
Kesimpulan

Tidak akan ada kekuatan baik di tingkat nasional dan apalagi dapat berpartisipasi di level internasional tanpa adanya persatuan dan kesatuan. Pancasila sebagai ideologi negara adalah fondasi di rumah kita bernama Indonesia. Kata Bung Karno, Pancasila itu kalau diperas, diperas dan diperas lagi namanya gotong royong. Persatuan dan kesatuan itu bukan berarti memaksakan semuanya harus sama. Kita bisa beda dalam identitas (suku dan keyakinan), namun dapat satu tujuan dalam konteks nasionalisme Indonesia. Belajar dari sejarah, revolusi sosial di Indonesia akan terwujud dari pola pikir buah hasil pendidikan. Berani berpikir besar akan mengantarkan pada kreativitas supaya dapat melahirkan fungsi-fungsi sosial di wilayah nasional dan memiliki daya tawar tinggi guna berpartisipasi di dunia global.


*Penulis, adalah penulis Lepas. Tulisannya berupa, resensi, artikel, puisi, cerpen, saduran, pernah dimuat di beberapa media lokal dan nasional. Selain penulis, ia juga menjadi kontributor dan editor sejumlah buku yang diterbitkan.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.                  

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button