InspirasiOpini

Udi Samanhudi: Menulis Kritis, Bekal Studi Lanjut di Luar Negeri

Oleh: Udi Samanhudi

biem.co – Melanjutkan studi di luar negeri adalah salah satu wacana eksotis dalam banyak kesempatan yang pernah saya hadiri. Dalam sebuah seminar beasiswa yang diadakan oleh salah satu lembaga swasta di Jakarta yang pernah saya ikuti misalnya, hampir semua peserta yang notabene anak-anak muda Indonesia hadir dan berharap mendapatkan kesempatan belajar di luar negeri terutama untuk program master dan doktoral.

Belajar di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris Raya, Australia, Jepang dan negara-negara maju lainnya sepertinya telah menjadi mimpi besar kolektif banyak pemuda bangsa kita yang haus akan asupan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang bergizi dan up to date. Didukung oleh profesor yang mumpuni di bidangnya, sistem pembelajaran yang baik  serta fasilitas perkuliahan yang memungkinkan mahasiswa untuk dapat tumbuh dan berkembang.  Perkembangan tersebut baik dalam konteks akademik seperti penguasaan bidang ilmu yang tengah digeluti maupun non akademik seperti kemandirian dan keterampilan interpersonal dalam kehidupan sosial di lingkungan yang nyata berbeda dengan lingkungan sebelumnya di negeri sendiri yang diasah  melalui kegiatan organisasi kampus.  

Mimpi besar pemuda pada kelompok ini tentu harus senantiasa didukung oleh banyak pihak guna menyongsong Indonesia emas di tahun 2045 mendatang. Pemuda yang kelak diharapkan kembali ke pangkuan ibu pertiwi dengan perspektif baru yang lebih fresh, ilmu pengetahuan dan keterampilan yang jauh lebih mumpuni, sikap yang lebih arif (open minded) dan semangat patriotis yang lebih kuat.

Kuliah di negara-negara maju nyatanya memang tidak hanya menawarkan kekuatan dalam bidang akademik seperti teori-teori baru dalam disiplin ilmu tertentu seperti disebutkan di atas. Tetapi juga menawarkan penguatan mentalitas dan peningkatan kreativitas  mengingat banyaknya tantangan yang harus dihadapi manakala mimpi untuk ‘berselancar akademik’ di kampus-kampus mapan tingkat dunia sudah di tangan.     

Salah satu faktor penting yang juga sekaligus tantangan besar untuk mampu berhasil menyelesaikan studi di luar negeri adalah kemampuan serta keterampilan menulis kritis yang terealisasi dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti essay dan disertasi. Kemampuan menulis kritis ini seperti menjadi harga mati bagi universitas-universitas di barat sana dan telah menjadi aturan baku dalam setiap perangkat penilaian untuk setiap mata kuliah.

Mayoritas universitas di luar negeri seperti di universitas-universitas di Inggris Raya di mana saat ini saya tengah menempuh studi menjadikan keterampilan berpikir kritis (critical thinking) dan berpikir mandiri (independent thinking) sebagai bagian penting dalam proses pembelajaran. Menjadikan keduanya sebagai output sasaran bagi para lulusannya yang kelak diharapkan mampu menjadi agen perubahan (the agent of change) di tengah masyarakat saat mereka kembali ke negara masing-masing.

Sehingga, sangat mudah untuk ditebak bahwa mahasiswa-mahasiswa internasional yang masuk dalam sistem pendidikan mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan sistem yang ada dan segera mencari tahu dan memaknai target yang harus mereka capai dan kuasai sesuai dengan apa yang digariskan dalam kurikulum baik di tingkat fakultas (school) maupun universitas.  Jika tidak, pintu kegagalan nampak nyata di depan mata bahkan di tahap awal saat kedua kaki mulai diinjakan di pelataran kampus impian.

Seperti apa sebetulnya tulisan yang dianggap kritis? Pertanyaan sederhana ini menarik untuk direspon guna meluruskan kesalahan yang lazim terjadi di tengah masyarakat khususnya dalam konteks masyarakat akademik. Kata ‘kritis’ dalam hal ini tidak artikan sebagai bentuk reaksi negatif terhadap suatu hal dengan hanya melihat sisi negatif atau kelemahan sebuah isu atau peristiwa.

Kata ‘kritis’ dalam konteks menulis akademik secara sederhana dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk mengevaluasi teori yang ada, menghubungkan antara satu teori dengan teori yang ada dari berbagai literatur yang kita baca, mengembangkan argumen yang didukung oleh fakta atau bukti dan menarik kesimpulan dari berbagai teori.

Dalam konteks akademik barat, menulis adalah sebuah kegiatan yang dimaknai sebagai proses menginterpretasi, berargumen, mengevaluasi dan meyakinkan pembaca terhadap isu atau topik yang tengah ditulis. Sehingga wajar jika menulis kritis menjadi menu wajib yang harus dikonsumsi sekaligus diracik ulang oleh para mahasiswa dalam bentuk tulisan ilmiah yang ditulis baik untuk kepentingan tugas mata kuliah (modul) maupun laporan penelitian (disertasi).

Hasil dari semua proses ini adalah mahasiswa mampu menjadi seorang pemikir yang independen. Pada program doktoral yang saat ini tengah saya ambil misalnya, pihak jurusan mengharuskan seluruh doctoral candidate untuk menulis sembilan essay di tahun pertama. Bahkan sampai tahun kedua untuk sembilan modul yang kami ambil sesuai dengan minat dan topik penelitian yang tengah dikaji.

Tugas menulis essay ini ditujukan untuk menggembleng para mahasiswa doktoral untuk membiasakan diri dengan kegiatan membaca dan menulis kritis dan meningkatkan rasa percaya diri sebagai seorang ilmuan (scholar) pada disiplin ilmu yang tengah digeluti. Jika essay yang ditulis masih dianggap belum menunjukkan kapasitas si penulis (mahasiswa) sebagai seorang ‘independent thinker’, pihak jurusan melalui tim tutor biasanya akan mengembalikan tugas dan meminta sang mahasiswa untuk melakukan pengajuan kembali setelah perbaikan.  

Tim tutor juga biasanya tidak segan-segan untuk menuliskan feedback yang bernada sarkastis namun konstruktif. Feedback tersebut dalam banyak kasus menjadi wahana pembelajaran tersendiri bagi para mahasiswa untuk merapihkan serta meningkatkan kembali pengetahuan serta keterampilan menulis kritis yang kelak akan menjadi salah satu kekuatan dan ciri khas sebagai seorang DOKTOR. Jika tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas essay ini dengan baik, maka kata ‘pulang’ atau ‘dipulangkan’ harus siap untuk disambut oleh sang mahasiswa.     

Menulis Kritis sebagai Tantangan Terberat

Dalam sebuah percakapan santai dengan seorang teman yang juga tengah sama-sama menempuh studi di univeritas yang sama di Inggris, terungkap bahwa tantangan terbesar dalam menulis baik untuk tugas kuliah maupun disertasi adalah menuangkan gagasan secara kritis. Umumnya kami merasa tidak percaya diri karena menulis kritis mengharuskan kami untuk melakukan kritik terhadap teori-teori yang ada yang umumnya disuarakan oleh para ahli yang sudah sangat mapan dan mumpuni di bidangnya.

Pada saat yang bersamaan, sebagai penulis kami diharuskan untuk menunjukan ‘way out’ berupa gagasan baru yang diyakini mampu menawarkan solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam konteks tertentu. Bisa juga menawarkan teori-teori sejenis yang dianggap lebih relevan dan menjawab kebutuhan sebagai teori alternatif.

Kesulitan menjadi berlipat ganda manakala berhadapan dengan bahasa Inggris akademik (academic english) yang umumnya berbeda dengan bahasa Inggris sehari-hari yang lazim digunakan atau yang biasa kami dengarkan melalui lagu-lagu berbahasa Inggris atau film-film box office. Fakta bahwa bahasa Inggris adalah bahasa asing yang tidak digunakan secara luas dalam kegiatan komunikasi sehari-hari di tanah air juga nyata menjadi tantangan utama saat mengkomunikasikan gagasan terutama dalam wacana tulisan.

Kendala lain yang lazim dihadapi mahasiswa internasional saat menulis untuk kepentingan tugas dan laporan penelitian adalah pengetahuan serta keterampilan teknis dalam kegiatan menulis. Keterampilan teknis tersebut seperti isu kohesi dan koherensi (cohesiveness and coherence), penggunaan tanda baca (mechanics), pilihan kata (diction), pengetahuan yang minim seputar topik yang tengah ditulis (content) serta konvensi atau aturan penulisan untuk jenis teks tertentu (genre) yang minim dikuasai.

Kondisi semacam ini tak ayal menempatkan kegiatan menulis sebagai sebuah proses panjang dan rumit. Menuntut keterampilan pendukung lain seperti kegiatan membaca yang efektif, manajemen waktu yang baik dan komitmen untuk menulis dengan teratur.

Kegiatan menulis kritis seperti yang digambarkan di atas sebagai sebuah kegiatan yang rumit dan menantang bukan berarti tidak mampu dikuasai dengan baik. Robert Norris salah satu pakar dalam bidang critical thinking and critical writing meyakini bahwa setiap orang sejatinya mampu menulis kritis dengan baik karena menulis adalah sebuah keterampilan yang bisa dipelajari dan dikembangkan.

Artinya, komitmen yang kuat untuk mampu meningkatkan keterampilan menulis kritis akan menjadi kendaraan yang efektif untuk mampu menulis dengan baik dan efektif. Selain memperbanyak kosakata (terutama kosakata akademik) bahasa Inggris, kegiatan membaca dan membedah artikel jurnal berbahasa Inggris secara teratur juga ditengarai mampu mengakselerasi kemampuan serta keterampilan menulis kritis dalam bahasa  Inggris.

Dan, yang juga tidak kalah penting adalah latihan yang teratur dan mengkomunikasikannya dengan pakar atau orang terdekat yang dianggap mumpuni dalam bidang kepenulisan khususnya menulis akademik yang sarat dengan tuntutan ‘critical thought and analysis’.


Udi Samanhudi adalah Akademisi Untirta, Awardee Beasiswa LPDP program Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) Kemenkeu RI dan saat ini tengah menempuh studi doktoral dalam bidang Teaching of English for Speakers of Other Languages and Applied Linguistics, Queen’s University of Belfast, United Kingdom. Koordinator Bidang Pendidikan PPI Belfast, UK.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button