InspirasiOpini

Anas Al Lubab: Semua Kita Merugi, Kecuali?

biem.co – Rasanya baru kemarin malam kita mendengar gegap gempita terompet dan petasan menyambut perayaan tahun baru 2016. Tak terasa sebentar lagi kita telah memasuki lembar almanak tahun 2017. Waktu melesat secepat kilat, sementara kita bergerak sambil merangkak. Diantara sekian harapan yang kita torehkan ditahun kemarin, tentu ada yang berucap syukur lantaran telah menggapainya sesuai target. Ada pula yang mesti bersabar menelan kekecewaan, lantaran harapannya tak terkabulkan. Yang jelas, tercapai tidaknya resolusi yang telah kita tetapkan, menjadi bahan refleksi sekaligus evaluasi yang bisa kita petik buah pelajaran.

Sebagai bahan refleksi tahun baru 2017 ini, saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk bersama-sama merenungkan surat Al-Asr yang terdapat dalam Al-Quran; Demi masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.

Beruntunglah ia yang setia pada keimanan. Orang yang beriman secara sederhana ditandai dengan sikap ihsan, dimana segenap prilakunya sekecil apapun merasa dalam CCTV atau pengawasan Tuhan. Sehingga segenap kreativitas menuju perilaku keburukan semaksimal mungkin akan diminimalisir. Kikisnya iman membuat manusia bebas berperilaku sekarep dewek. Sementara berpegang teguh menggenggam iman, akan melahirkan rasa aman terhadap lingkungan sekitar. Sebagaimana sifat lebah yang tidak sampai merusak meski dahan pohon yang dihinggapinya telah rapuh.

Beruntunglah siapapun yang berbuat kebajikan. Kebajikan merupakan perilaku utama yang telah diseleksi dengan matang kadar gizi maslahat dan racun mudaratnya terhadap kepentingan khalayak. Sehingga apapun aktivitas yang kita perbuat diupayakan maksimal manfaatnya dan minim mudaratnya. Misalnya; Jika kita sedang berdzikir selepas shalat, lantas mendengar pengumuman untuk bergotong-royong, tentu kita mesti bergegas mengulurkan bantuan, ketimbang tetap khusyuk melanjutkan berzikir. 

Beruntunglah siapapun yang berpegang teguh kepada kebenaran. Kebenaran yang sejatinya diketahui dan disadari banyak orang, kini seakan selalu dikalahkan oleh jamaah sistemik keburukan. Hingga tak aneh jika kita kerap mendengar alasan apologis membelakangi kebenaran dan membenarkan kesalahan dengan mengatakan “Ya, mau gimana lagi, orang zamannya sudah begini. Kalau nggak nyogok susah.” Padahal, setia pada kebenaranlah yang dijamin Tuhan akan melahirkan kebahagiaan dan ketentraman. 

Beruntunglah siapapun yang setia kepada kesabaran. Orang yang sabar akan jauh dari berbagai penyakit fisik maupun psikis, karena ia tak akan tertarik untuk mengikuti cara-cara instan. Ia akan lebih memilih makanan yang sehat ketimbang makanan instan, ia akan lebih memilih berwirausaha untuk menambah penghasilan, ketimbang memercayai cara instan guru spiritual yang mengaku bisa menggandakan uang. Ia akan memilih mensyukuri sekecil apapun pendapatan, ketimbang melakukan korupsi seperti pejabat-pejabat yang tanpa rasa malu malah dadah-dadah ke kamera wartawan ketika hendak diadili lantaran tertangkap tangan. 

Diantara sekian keuntungan yang diisyaratkan surat Al-Asr di atas, ternyata banyak diantara kita yang tidak menggubrisnya. Pikiran dan hati kita justru lebih banyak terfokus pada gemerlap kemewahan dunia. Masyarakat kini telah banyak menjadikan kepemilikan benda-benda materiil sebagai tolak ukur kebahagiaan dan kesuksesan.

Kini, tak sedikit orang yang belum merasa puas memiliki dua kendaraan untuk keperluan keluarganya mesti menambahnya dengan mengoleksi mobil mewah hingga berpuluh-puluh memenuhi garasi rumahnya. Belum lagi belanja parfume, tas, sepatu, merk-merk branded dengan harga selangit.

Ketiga ayat Al-Asr tersebut di atas, seakan hendak membeberkan kekeliruan cara pandang kita dalam menilai keberuntungan sebagai pemicu terbitnya kebahagiaan dan ketentraman. Untuk mengejar keuntungan palsu yang kita kejar, tanpa sadar kita justru terperosok dilumpur kerugian yang besar. Lantaran mengejar harta, tahta, wanita, Banyak dari kita yang dengan ringan menggadaikan iman, melupakan amal kebajikan, membelakangi kebenaran, dan meninggalkan pentingnya menetapi kesabaran.

Jika kita memerhatikan pemberitaan di pelbagai media, baik televisi maupun koran hampir sepanjang tahun 2016, kita disuguhkan dengan kabar yang menyesakkan. Seakan di dunia ini begitu sulit kita menemukan sepetak tanah yang menawarkan kedamaian dan ketentraman. Kekerasan dengan bantuan teknologi telah menjelma menyelusupi setiap sendi kehidupan. Perilaku kriminal begitu lumrah terjadi di komplek-komplek perkotaan hingga pelosok pedesaan.

Dunia pendidikan masih dicoreng oleh perilaku kekerasan; gerombolan pelaku kejahatan seksual sempat menjadi ancaman yang mengkhawatirkan; teror bom kembali terulang; modus kejahatan penipuan dan pelecehan seksual berkedok guru spiritual masih marak dilakukan; media-media sosial dijadikan umpan untuk mencacimaki menebarkan provokasi dan kebencian.

Beruntung di ujung tahun kita diingatkan Tuhan, bahwa keburukan tak selamanya melahirkan keburukan. Ibarat panasnya api yang tak berani kita pegang, ternyata bermanfaat mematangkan lezatnya hidangan makanan. Kita bisa belajar dari kasus pernyataan seorang pejabat publik yang ditenggarai telah menodai kitab suci. Ternyata dibalik sikapnya yang kurang kita terima, justru memicu gelombang besar gerakan kebangkitan umat Islam; dari gerakan shalat berjamaah hingga membuat sejumlah waralaba memberdayakan ekonomi umat.   

Mumpung di awal tahun, ini momen baik untuk kita gunakan mengubah sudut pandang atau pola pikir mendefinisikan ulang apa itu keberuntungan. Kita tidak dilarang untuk mengecap gemerlap kehidupan dunia sebagaimana yang dicontohkan oleh nabi Sulaiman misalnya. Yang dilarang adalah kreativitas yang melabrak norma sekaligus menghalalkan segala cara untuk meraihnya.

Bergelimang harta kekayaan secara kasat mata memang terlihat menguntungkan. Namun, jika harus menggadaikan iman, mengesampingkan amal kebajikan, membelakangi kebenaran, menolak menetapi kesabaran. Itu justru kebangkrutan atau kerugian yang sangat besar.

Orang yang bergelimang harta, tanpa memiliki iman, amal kebajikan, mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran, adalah orang miskin yang disiksa oleh ujian kekayaan. Sementara orang yang beriman, beramal kebajikan, setia kepada kebenaran dan kesabaran tanpa bergelimang harta adalah orang kaya yang diuji oleh ketiadaan harta. Selamat tahun baru, selamat memperbaharui kehidupan. Wallahu a’lam.    


Anas Al Lubab adalah penulis lepas dan pengulas buku sekaligus penghobi belajar handycraft.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button