KabarTerkini

Tokoh Bicara Toleransi dalam Seminar Nasional

JAKARTA, biem.co – Bekerjasama dengan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud menyelenggarakan seminar nasional, Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta mengadakan seminar nasional, yang mengusung tema “Kebudayaan, Toleransi, dan Kerukunan antar Umat Beragama”.

Dalam sesi seminar, Djoni Gunanto, S.IP., M.Si selaku Ketua Penyelenggara kegiatan menyampaikan pentingnya kegiatan ini di tengah kondisi bangsa dan negara seperti saat ini, bahkan dihantui dengan globalisasi yang semakin membuat kompleksitas permasalahan bangsa.

“Budaya harus menjadi basis untuk membangun toleransi yang mana wujudnya adalah kerukunan antara umat beragama. Maka dari itu kebudayaan sangat penting untuk membangun kemashlahatan,” ujar Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud Republik Indonesia, Dr. Najamuddin Ramly, M.Si.

Seminar sesi pertama dihadiri pembicara dari berbagai kalangan yaitu, Pimpinan Pusat  Muhammaddiyah yang diwakili Prof. Syafiq A. Mughni, MA, Ph,D. Dalam kesempatannya sebagai keynot speech beliau mengatakan bahwa dalam memahami relasi kebudayaan dan Islam sangat penting dan didasarkan pada dua hal. Pertama, kehidupan beragama yang tentu memerlukan kebudayaan. Kedua, ajaran Islam mempengaruhi kebudayaan. Lebih lanjut lagi, beliau mengatakan bahwa kesadaran attitude harus dijadikan landasan dalam berbangsa dan bernegara. Karena tanpa adanya etika, kebudayaan Indonesia tidak akan pernah maju dan tidak bermakna. Muhammadiyah dapat dijadikan model dalam membangun kerukunan di dalam konteks etika kebudayaan.

Selanjutnya, dalam sesi pertama Prof. Dr. Romo Magnis Suseno berkesempatan menyampaikan materinya, dalam materi yang disampaikan beliau mengatakan bahwa perlu dibedakan agama dengan relativisme. Agama menurut relativisme itu berkaitan dengan selera. Toleransi berarti menganggap yang lain tidak yang paling benar melainkan toleransi itu menghormati. Kita tidak bisa memaksakan agama. Orang beragama mestinya rendah hati. Penilaian terakhir serahkan pada Tuhan. Toleransi itu dimana orang tidak takut di tengah-tengah orang yang berbeda.

Kemudian Prof. Dr. Masykur Abdillah, MA dari perspektif yang berbeda menjelaskan mengenai peran negara dalam menangani toleransi di Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara modern yang menjunjung agama. Indonesia menerapkan positive right dimana negara terlibat dalam pelayanan agama. Ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu kebijakan negara dan sikap perilaku umat beragama.

Pemateri selanjutnya adalah Dr. Yusnar Yusuf yang menyampaikan bahwa perlu ada perubahan metodologi berfikir kita dan itu akan menjadi dasar bagi terbangunnya toleransi yang kuat. Selanjutnya, dalam sesi pertama ini Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasy, M.Si selaku Direktur PSIP Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta, juga memiliki kesempatan menyampaikan materi. Beliau menjelaskan bahwa toleransi adalah hal yang pasti dalam hubungan antar umat beragama karena kita sudah bersepakat dengan pancasila.

Selanjutnya dalam sesi kedua, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkan, MA menyebutkan bahwa hubungannya kebudayaan dengan toleransi, Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan.

Kini kita bukan hanya masuk pada peradaban industrial heterogen, melainkan industri lanjut, peradaban medsos, bahkan post-truth society. Sudah bukan waktunya memperdebatkan agama dengan kebudayaan,” ujarnya.  

Kemudian, Hajrianto Y. Thohari, MA juga berkesempatan materi yang menekankan kebudayaan pada persoalan politik. Wujud kebudayaan bisa sebagai ide, gagasan, nilai, aturan, dan sebagainya.

Kenapa kebudayaan muslim tidak bisa disetarakan dengan kebudayaan Eropa, padahal Eropa menganut kesetaraan. Inilah yang terjadi di Indonesia, kelompok minoritas seperti sekte-sekte menuntut kesetaraan karena menganggap telah dihegemoni oleh pihak sebelumnya,” tanya Drs. Ahmad Suaedy, M. Hum. (red)

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button