HiburanKomunitas

Bagaimana Literasi dan Fasilitasi di Papua?

biem.co — Literasi, baca tulis, dan pendidikan, sering sekali masuk dalam sebuah percakapan sehari-hari, yang tidak lain adalah mengenai sudut pandang kemirisan. Sudah banyak pula masyarakat yang berlomba-lomba untuk meningkatkan itu semua, namun selalu saja banyak kekurangan karena masih kurangnya bantuan-bantuan dari pemerintah. Bicara mengenai Papua, kita juga tahu betul bagaimana mirisnya berbagai hal di sana, seperti pendidikan ataupun ekonominya. Mereka tidak mudah mendapatkan akses pendidikan ataupun keterampilan.

Dengan hal tersebut, Komunitas Book For Papua tidak pernah putus semangat untuk terus memberikan peluang kepada masyarakat Papua agar tetap setara dalam hal pendidikan, seperti yang masyarakat kota dapatkan. Banyak kita tahu, keadaan pendidikan di kota-kota besar di Papua cukup bagus, hanya saja biaya kehidupan di sana mahal dan untuk sekolah hanya ada di kota, sedangkan distrik pedalaman tidak tersentuh oleh pendidikan, karena memang alasannya tak jauh dari perekonomian.

Komunitas Book For Papua pun menyambangi distrik-distrik pedalaman itu, untuk membuat rumah singgah belajar yang sederhana, entah itu sumbangsih dari RT di sana ataupun rumah warga. Mereka membantu anak-anak belajar baca-tulis seadanya di lapangan atau rumah pohon. Komunitas Book For Papua pun mengajak beberapa komunitas lain di seluruh Indonesia untuk ikut andil mengajak masyarakat Indonesia mengumpulkan buku-buku layak baca dan donasi seikhlasnya, yang nantinya akan dikirim ke pedalaman Papua.

Seperti Komunitas Backpaker Tangerang yang turut andil membantu mengumpulkan buku-buku dan donasi di wilayah Tangerang, Romis Gani salah satu panitia dari Komunitas Backpaker Tangerang menjelaskan kepada biem.co bahwa pencapaian yang didapat sudah lumayan besar, banyak sekali buku-buku atau alat pelajaran yang diterima dalam lingkup Jabodetabek dan nasional.

“Tapi untuk program yang sedang kita kebut ini masih sangat kecil, untuk di Jabodetabek sendiri itu baru sekitar 5% dari target uang yang kita kumpulkan untuk membantu projek pembangunan Rumah Singgah Belajar Wamena. Kalau secara nasional yang digawangi Komunitas Book For Papua itu sudah berkisar 50% untuk biaya, dan program 20ribuku itu continous, berjalan terus menerus dengan melihat kondisi lapangan di sana,” tuturnya.

Untuk kampanye pengumpulan buku diawali sejak terbentuk Komunitas Book For Papua, yaitu sejak 2015. Lalu program 20ribuku, kampanye ini untuk mencari donatur-donatur tetap yang siap menjadi donatur dengan tiap bulan mentranfer uangnya sebesar 20ribu dengan catatan si donatur itu sudah siap dan konsisten untuk berdonasi selama minimal satu tahun penuh, lalu uang donasi dari program 20ribuku itu sepenuhnya untuk membantu biaya operasional rumah-rumah belajar yang didirikan, dan hasil 20% akan disimpan untuk dijadikan Beasiswa Musa, program beasiswa untuk anak-anak yang harusnya bisa melanjutkan jenjang sekolah lebih tinggi.

“Harapan saya secara pribadi di program Book For Papua ini ingin mengubah mindset bahwa orang-orang di pulau Jawa itu harusnya sudah bersyukur karena mudah mengakses segala hal, dan sedangkan di Papua sana untuk bisa baca dan menulis saja sangat sulit. Jadi harapan saya biar masyarakat-masyarakat Indonesia itu mau saling bantu buat orang-orang yang memang membutuhkan, jangan sampai kita cuma omongan-omongan atau sekadar manis di media sosial tapi hatinya itu tidak tergugah, itu sih yang saya harapkan dari masyarakat Indonesia khususnya di pulau Jawa ini,” lanjut Romis.

Tak hanya itu, ia juga menyayangkan kepada pemerintah yang punya peran utama untuk menghimpun keinginan mereka yang sebenarnya memiliki minat baca tinggi. “Kita selaku penggiat, organisasi, hanya memfasilitatori dengan keterbatasan dan kekurangan yang kita punya, itu hanya bisa dibantu oleh teman-teman atau yang mempunyai jiwa sosial, jadi saya katakan minat belajarnya anak-anak Papua itu sangat antusias, tapi kalau tidak ada fasilitator itu percuma,” ungkapnya.

Beberapa peran yang seharusnya memang terlibat adalah pemerintah, organisasi besar, orang tua dan lingkungan sekitar, karena di sana jarak sangat berjauhan, aksesnya sangat susah dan dorongan dari masyarakat  sekitar hanya beberapa.

“Jadi sebenarnya ini menyangkut KOMNASHAM, ya. Hak anak itu untuk memperoleh pendidikan kurang lebih 9 tahun, atau malah 12 tahun kalau bisa. Jadi saran saya untuk organisasi yang besar jangan hanya menyuarakan ketika mengkritiki terjadi kasus ketidak-enakan kepada seorang anak, itu berarti kita menyoroti akibatnya, bukan menyoroti penyebabnya. Jadi penyebabnya itu yang harus disoroti, minat sangat ada cuma tinggal bagaimana pemerintah merangkul masyarakat dan organisasi-organisasi kecil yang bergerak di bidangnya,” pungkasnya. [uti]

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button