Oleh Arif Sodakoh
biem.co — Jalan kampung sudah bukan tanah merah, semuanya aspal. Setiap tahun selalu diperbaiki, itupun karena janji kepala desa ketika kampanye di setiap kampung-kampung. Bukan hanya jalan utama perkampungan tetapi juga pelosok-pelosok kampung setiap jalanan ditutup batako. Semuanya sepakat bahwa jalan-jalan yang diaspal atau dibatako akan terlihat rapih terutama ketika musim hujan tiba, tidak akan terasa becek atau si pejalan kaki maupun pengendara motor tidak terpeleset karena tanah merah yang basah menjadi licin. Kepala desa pun akan merasa tenang jika urusan jalan ini tidak lagi bermasalah. Salah satu tuntutan warga salah satunya yaitu askes jalan. Tanah merah yang basah merupakan salah satu kendala warga. Seolah-olah kampung menjadi kotor dan warga malas berpergian, yang mengakibatkan pertumbuhan dan pertukaran ekonomi di desa sedikit macet. Sekolah pun lebih mudah rusak karena tembok-tembok sekolah menjadi kotor, banyak tapak sepatu dan telapak tangan atas ulah para pelajar. Tembok kotor artinya pihak sekolah harus membeli cat dan mengecat ulang tembok sekolah, maka yang dapat imbasnya para orang tua murid, harus memberikan iuran yang sudah ditentukan sekolah.
Namaku Rudi, tempat sekolahku tidak jauh dari rumah hanya berjarak satu kilometer. Lokasi sekolah saya sangat dekat dengan sungai. Ada sungai maka ada jembatan sebagai penghubung jalan. Setiap hari saya harus melewati jembatan untuk sampai ke sekolah. Saya sering terlambat sekolah bukan karena bangun tidur siang, tapi saya sering berhenti sejenak di jembatan. Saya buka resleting tas, saya ambil buku, saya sobek buku itu untuk mendapat secarik kertas. Saya lipat-lipat kertas itu sampai membentuk perahu. Tapi bentuk perahunya tidak pernah sempurna. Saya lemparkan kertas yang saya lipat itu ke sungai. Perahu lipatan kertas itu tidak mendarat dengan baik, akhirnya basah dan tenggelam. Tidak seperti perahu yang saya tonton di telivisi, bergerak, melaju terbawa arus. Seiring waktu saya melipat kertas begitu banyak yang lewat jembatan, teman sekolah saya sudah beberapa lewat sambil berkomentar. Ada yang mengajak bareng, ada yang memberikan peringatan bahwa sekolah sebentar lagi masuk, ada yang bertanya sedang apa, ada yang heran dengan apa yang saya lakukan setiap hari di jembatan. Saya sering mencuekan mereka, kebanyakan teman teman sekolah saya diantarkan oleh orang tuanya. Terkadang saya juga ditegor oleh orang tua teman saya untuk tidak main di sungai, diajaknya bareng menuju sekolah. Tapi saya hanya mendengarkannya saja. Setelah orang tua teman saya balik lagi melewati jembatan baru lah saya pergi ke sekolah.
Jembatan ini terbuat dari papan dan bambu yang berukuran 6×1 meter. Kebanyakan yang lewat hanya pejalan kaki, jarang sekali dilewati pengendara motor. Mungkin karena kekhawatiran terpeleset dan jatuh ke sungai. Tinggi jembatan hanya dua meter menuju sungai. Biasanya pengendara motor harus memutar arah, jaraknya lebih jauh. Jembatan ini penghubung dua kampung. Rumah saya di kampung Pamancingan dan lokasi sekolah saya di kampung Masjid. Jembatan ini penting bagi desa sebab menjadi pemersatu antar dua kampung.
Semenjak Kepala Desa Sukanta menjabat begitu banyak perubahan seperti bentuk fisik maupun pemerdayaan warga (SDM) yang dirasakan oleh warga, salah satunya yaitu keharmonisan antar kampung antara kampung Pamancingan dengan kampung Masjid. Sukanta dahulunya dikenal sebagai pemuda yang bergajulan. Anak muda yang gandrung dengan musik biasanya dikenal sebagai pemuda yang membuat onar di kampung. Malam hari kumpul dan bernyanyi sepanjang malam begitu nyaring terdengar satu kampung. Sewaktu sekolah menengah pertama Sukanta dikenal sebagai musisi kampung, dia memiliki group musik yang bernama “Roenkhal”. Pada tahun 80’an “Roenkhal” dibentuk, personilnya ada lima, Sukanta sebagai vokalis dan guitaris, Budi sebagai Guitaris, Roni sebagai Drummer, dan Mustajin sebagai bassis. Pada era 90’an “Roenkhal” sangat dikenal di Desa bahkan namanya dikenal sampai Kabupaten. Terutama di lingkungan sekolah-sekolah. Nama Sukanta terutama. Dia sangat familiar bagi anak sekolah, secara Sukanta seorang pemimpin di group musiknya. Sukanta dianggap berhasil menjadi leader terlihat dari eksistensi dan bertahannya group musik mereka selama 15 tahun. Hanya saja “Roenkhal” tidak mau menjadi group musik yang profesional. Mereka hanya sebatas group musik di kampung. Manggung di tingkat Kabupaten pun itu hanya karena mewakili sekolah dalam ajang festival. “Roenkhal” hanya mendapat juara ke-2 padahal penilaian para penonton sudah memprediksi akan mendapatkan juara ke-1. Rupaya juara pertama sudah dipesan oleh sekolah favorit se-Kabupaten. Penilaian juri sudah tidak objektif dan otentik. Walau demikian, “Roenkhal” tetap saja menjadi juara utama bagi para pendengar.
Sukanta hanya pernah memimpin satu group musik, membawa group musik itu menjadi juara bagi para pendengarnya. Sampai sekarang “Roenkhal” mencatatkan sejarah di Desa bahwa pada era tahun 80’an pernah terbentuk group musik dan populer pada tahun 90’an. Bahkan saat ini, Sukanta lebih dikenal sebagai musisi ketimbang Kepala Desa. Anak anak muda tahun 2000-an pun masih ada yang mengenal “Roenkhal”.
Pada suatu malam, bukan malam minggu. Waktu itu hari Kamis sekitar pukul 21.00 WIB. Anak anak muda di kampung biasanya kumpul di halaman rumah mang Ujang. Di kampung saya, malam Jumat merupakan malam yang sepi, warga hampir semuanya asik di dalam rumah menonton telivisi atau sudah tertidur lelap. Konon ada satu kisah kejadian di kampung saya yang begitu mencekam, lokasi kejadian di jembatan dan sekitaran sungai. Dahulunya sungai itu digunakan warga sebagai tempat mandi, mencuci dan aktivitas lainnya yang berhubungan dengan sungai. Saat itu sore hampir habis, sinarnya meredup perlahan. Malam mulai menyelinap di kampung saya. Segala aktivitas di sungai sudah tidak terlihat lagi. Pamali kata orang tua jika “wanci magrib, sandekala lamun masih di sungai” larangan yang begitu jelas untuk anak anaknya. Magrib tiba semuanya dianjurkan untuk masuk ke dalam rumahnya masing-masing, bahkan pintu dan jendela harus ditutup rapat. Zaman Sukanta remaja peristiwa hilangnya tiga seorang anak di sungai sekitaran jembatan. Tiga orang anak itu lenyap begitu saja, tidak ada jejak. Ditelan sungai. Hanya cerita saja yang terus-terus menggaung di kampung saya. Menurut desas-desus pengakuan para warga bahwa mereka lenyap karena melanggar perintah orang tua yaitu larangan mandi di sungai melewati batas waktu magrib. Saat ini seiring zaman berubah, terutama sejak berkibarnya bendera P.T. Industri sungai itu sudah tidak digunakan untuk mandi dan mencuci. Sekarang sungainya hanya sebatas pembuangan seperti sampah, saluran pembuangan. Airnya pun sudah hitam, tidak lagi bening dan jernih. Sungai dan jembatan itu tetap masih punya cerita sejarah di kampung saya.
Sungai dan jembatan sudah tidak lagi dipandang sebagai kawasan kampung yang asri. Warga hanya memandang bahwa sungai tempat pembuangan semata. Suata masa di kampung saya tidak turun-turun hujan sedari bulan Januari sampai Oktober, kemarau total. Jika hujan pun selisihnya tidak banyak, hanya sesekali saja turun hujan. Saya hari itu ketika berangkat sekolah sangat tidak bersemangat karena tidak bisa mampir sejenak di jembatan hanya sekadar merobek kertas selembar, melipat kertas itu membentuk perahu setelah itu aku lemparkan ke sungai dari atas jembatan. Lebar sungai mengecil, sampah sudah menggunung menghadang jalur laju air sungai. Warga dari setiap kampung itu mayoritas membuang sampah ke sungai. Kampung yang dulu asri karena sungai kini sudah tidak lagi bahkan ada sebagian warga menganggap sungai merupakan bencana terutama ketika banjir yang disebabkan sampah.
Sukanta selain ahli di bidang musik ternyata beliau juga ahli dalam membaca persoalan yang dialami warga kampung. Salah satu peroalan yang menghantui warga yaitu banjir. Banjir ini sebetulnya disebabkan persepsi warga yang salah terhadap sungai. Selama ini soal banjir berhasil Sukanta minimalisir terutama soal persepsi warga soal lingkungan. Sukanta mengadakan petemuan dengan ketua rukun warga, ketua rukun tetangga dan ketua pemuda yang ada Desa. Sukanta membangun persepsi yang sama perihal pembangunan yang berskala panjang yaitu dengan cara pemahaman warga terhadap lingkungan.
“Sungai itu bagian dari alam, air yang mengalir secara terus menerus tanpa henti, kita sebagai manusia itu ibarat sungai. Airnya jernih atapun airnya kotor itu tergantung manusianya, bagaimana cara kita memperlakukan sungai? Saya ingat betul ketika saya sekolah dasar, sungai dan jembatan itu merupakan bagian dari kampung, sumber kehidupan, taman bermain, saya bisa kreatif karena sungai, seperti membuat perahu dari pelepah pisang atau dari bahan apa saja, yang penting produktif dan seusia saya itu bersaing untuk membuat perahu yang bagus. Selain itu, sungai bisa digunakan untuk memancing. Sekarang sungai seperti tidak ada harganya bahkan tidak dijadikan potensi cemerlang dalam pertumbuhan warga kita yang sehat” Sukanta menyeruakan pentingnya sungai kepada para pejabat kampung.Bahkan di area jembatan dipasang papa nama yang bertuliskan “Sungai adalah soal ekonomi maka harus asri”.
Sungai menjadi cerminan perilaku warga kampung. Berkat Sukanta mengintervensi warga terhadap pemeliharaan lingkungan, akhirnya banyak warga yang mengakomodir sampah. Banyak warga kampung yang putus sekolah tidak usah jauh-jauh pergi ke kota untuk mencari uang sebab di kampung sendiri pun bisa. Warga sudah secara perlahan tidak membuang sampah ke sungai. Warga cukup menaruh sampah itu di depan rumahnya, nanti ada petugas pembersih sampah yang beroperasi setiap hari dua kali yaitu pagi dan sore. Mereka akan mengambil sampah-sampah di kampung menggunakan sepeda motor gerobak yang sudah didesain untuk menampung sampah. Sampah itu mereka alokasikan di tanah yang terbuka dan luas. Merka akan memilah, sampah mana yang bisa diolah dan tidak bisa diolah. Jika bisa mereka akan kumpulkan untuk ditukarkan menjadi uang, dikirim ke pabrik peleburan bahan rongsokan. Jika sampah yang bukan olahan mereka memiliki jadwal pembakaran setiap satu minggu sekali dengan volum sampah yang tidak besar. Semua pekerja itu berasal dari warga desa.
Hari minggu, sekolah tentu libur. Tapi saya terbiasa bangun pagi buta. Hanya untuk bermain di sungai. Sekarang sungai dijadikan tempat untuk bermain dan mencari ikan, bahkan para pedagang asongan mulai berkumpul untuk berjualan dikarenakan banyak warga berkumpul disini setiap hari minggu. Entah kenapa mereka memilih sungai ini menjadi pilihannya untuk dikunjungi. Bahkan anak-anak sudah berani meninggalkan telivisi di hari minggu pagi hari, mereka asik menikmati sungai.
Seperti biasa, tidak ada yang berbeda dari saya. Tetap membawa kertas beberapa lembar untuk dijadikannya kertas itu membentuk perahu untuk saya landaskan di sungai. Berbedanya hari Minggu yaitu, saya sudah punya saingan dalam membuat perahu kertas bahkan kita balapan perahu kertas yang jarakanya hanya 15 meter. Begitu bahagianya saya bahkan ketika saya kalah sekalipun masih bisa tersenyum lebar. Biasanya saingan itu warga kampung sebelah yang dipertemukan di jembatan.
Rubrik ini diasuh oleh Muhammad Rois Rinaldi.