“Wakil rakyat seharusnya merakyat, Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu ‘setuju'”
― Iwan Fals, surat buat wakil rakyat
Fantastis! Biaya Perjalanan Dinas DPRD Pandeglang Rp44 Miliar hanya untuk rumuskan Empat Perda. Alokasi biaya perjalanan dinas DPRD sebesar Rp44 Miliar itu, menyedot setengahnya dari total anggaran perjalanan dinas Pemkab Pandeglang yang berjumlah Rp89 Miliar rupiah. Dari Rp41 Miliar, hanya Rp3 Miliar yang dialokasikan untuk perjalanan dinas dalam daerah. Sisanya diperuntukan perjalanan dinas luar daerah.
DPRD Pandeglang sendiri berdalih bahwa bertambahnya anggaran tersebut sudah sesuai dengan aturan dan tak ada satu aturan pun yang dilanggar. Klaim mereka sudah terbaca, bahwa biaya perjalanan dinas tersebut sudah sesuai dengan regulasi yang berlaku mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 tahun 2020 tentang Standar Satuan Harga Regional.
Masbro! Ada dua perpektif untuk bisa melihat permasalahan tersebut secara menyeluruh: Pertama, perpektif legal birokrasi, yang artinya memperlihatkan sebuah kondisi yang sesuai dengan aturan, sesuai dengan kerangka yang berlaku yang disepakati oleh aktor politik dan pemerintahan. Kedua, perpektif solidarity maker, artinya anggota dewan merupakan aktor yang mampu/memiliki solidaritas terhadap kondisi sosial di masyarakat.
Mereka (DPRD) mengatakan bahwa meningkatnya anggaran perjalanan dinas tersebut sudah sesuai dengan aturan. Ini kan mereka berlindung di balik aturan semua. Persoalannya adalah, ketika kita dihadapkan dengan kondisi masyarakat Pandeglang yang tidak memadai, kondisi Pemkab jeblok. Harusnya bisa dibaca sebagai kondisi yang dipertimbangkan. Jadi tidak menyorongkan legal demokrasi itu untuk mengambil keuntungan.
Ya, masyarakat mesti dicerdaskan, DPRD jangan bersembunyi dengan aturan main yang ditentukan oleh mereka sendiri. Ini pemborosan, padahal berulang kali negara mengingatkan untuk melakukan efisiensi. Pertanyaannya? adakah manfaat untuk kepentingan masyarakat, perjalanan dinas itu?
Kunjungan kerja ke luar daerah dan luar kota sudah menjadi tradisi akut di DPRD. Alih-alih untuk studi banding, belajar dari pengalaman di daerah lain dalam hal manajemen pengelolaan pemerintahan serta strategi pembangunan. Faktanya, lebih banyak jalan-jalan daripada tujuan belajarnya.
Baca juga:
Mestinya yang diperbanyak adalah perjalanan dinas ke dalam daerah. Mengapa ke dalam daerah itu penting, dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan, memastikan bahwa program yang sudah disusun dilaksanakan dengan baik di lapangan serta menyerap aspirasi masyarakat. Kalau diperbanyak ke dalam daerah, maka anggota DPRD bisa bertemu dengan banyak orang, masyarakat. Supaya bisa kita awasi pelaksanaan APBD, apakah ada korelasinya dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi daerah.
Melihat borosnya belanja serta manfaatnya yang tidak menyentuh langsung kepada kepentingan masyarakat, tidak heran jika DPRD terus menjadi sarang kritik masyarakat.
Makanya, saran penulis belanja perjalanan dinas dan belanja lainnya perlu dikurangi. Lebih-lebih dengan kondisi masyarakat Pandeglang yang masih cukup tinggi angka kemiskinannya, masih sangat besar membutuhkan peran daerah untuk mengentaskannya, lewat program-program. Pengelolaan anggaran di sekretariat DPRD Pandeglang memang banyak masalah, tidak transparan dan tidak akuntabel. Kunker itu umumnya punya motifnya penambahan penghasilan dan ajang jalan-jalan. Karena kunker punya anggaran uang saku dan sisa biaya penginapan.
Modus Korupsi DPRD
Tak seorang pun bisa memungkiri bahwa caleg terpilih, baik di DPRD maupun DPR RI, dalam Pemilu Legislatif 2019 mengeluarkan biaya tinggi. Kemerebakan praktik politik uang telah memaksa uang ’’berbicara”. Uang menjadi faktor dominan terkait dengan keterpilihan mereka. Sulit menalar, seorang caleg terpilih DPRD kabupaten/kota menghabiskan lebih dari Rp 0,5 miliar, caleg DPRD provinsi di atas Rp 1 miliar, dan caleg DPR bisa sampai Rp 3 miliar.
Bagaimana dan dari mana seorang wakil rakyat bisa mengembalikan dana kampanye ketika dana halal (gaji dan tunjangan) tak mungkin bisa menutup? Tentu ada beberapa peluang dan skenario mengembalikan dana politik, khususnya di DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Tentu skenario ini ilegal atau setidak-tidaknya berada di wilayah abu-abu. Skenario korupsi itu mencakup sedikitnya 4 (Empat) modus.
Pertama, korupsi Proyek. Era reformasi melahirkan budaya aneh wakil rakyat: berburu proyek. Wakil rakyat tak boleh mengerjakan proyek APBD karena dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan. Fakta wakil rakyat (ikut) ’’mengerjakan’’proyek itu jadi pemandangan biasa, bahkan menjadi bagian dari keputusan setengah resmi. Utamanya, sejak budaya politik berbiaya tinggi menggejala. Ikut mengerjakan proyek tergolong cara gampang cari duit. Caranya?
Dalam pembahasan anggaran di tingkat komisi atau badan anggaran (banggar), ada ”negosiasi” nilai proyek yang hendak didistribusikan. Anggota (yang bersedia) memperoleh semacam ’’voucher’’ untuk melaksanakan proyek fisik. Terkait lelang, semua bisa diatur. Anggota DPRD berlatar belakang kontraktor biasanya cerdas menyikapinya dengan menggunakan ”orang-orangnya”. Fee 5-10% dari pagu proyek dipastikan masuk kantong.
Kedua, proposal fiktif korupsi bantuan sosial (bansos). Modusnya bisa melalui proposal fiktif atau bekerja sama dengan masyarakat yang ingin mendapat bantuan, dan diawali negosiasi fee atas cairnya bantuan. Semua anggota DPRD memperoleh semacam dana aspirasi untuk masyarakat. Warga bisa mencairkannya dengan mengajukan proposal lewat wakil rakyat.
Biasanya, persentase potongannya tinggi karena modus korupsi ini tergolong paling mudah. Terjadi semacam simbiosis mutualisme antara masyarakat dan anggota DPRD.
Ketiga, korupsi perjalanan dinas. Sudah jadi rahasia umum, perjalanan dinas di negeri ini menjadi salah satu bagian pendapatan pelaksana negara, termasuk anggota DPRD. Sebenarnya, anggaran perjalanan dinas itu suatu keharusan dan pelaksana negara wajib melakukan berbagai kunjungan guna menunjang kinerja. Sayang selama ini, khususnya di lembaga legislatif, perjalanan dinas sudah tidak proporsional. Kegiatan itu bukan hanya untuk menunjang kinerja, melainkan sudah jadi modus mencari tambahan pendapatan. Terjadilah korupsi lewat modus perjalanan dinas fiktif, atau memperbanyak kunjungan, bisa di dalam/luar daerah, atau luar negeri. Formatnya pun bermacam-macam, semisal studi banding andai berkunjung ke pemda lain.
Baca juga:
Banyak perjalanan dinas ”tidak masuk akal” karena niat awalnya mencari tambahan pendapatan. Ironisnya, seluruh alat kelengkapan DPRD punya rencana perjalanan dinas. Bahkan, badan musyawarah (bamus) yang bertugas hanya membuat agenda kegiatan pun melakukan studi banding. Akibatnya, karena tidak proporsional tadi, anggaran perjalanan dinas membengkak. Bahkan mayoritas agenda DPRD didominasi kunjungan ini, sehingga tak sempat lagi mengontrol pelaksanaan APBD. Rapat dengar pendapat dengan masyarakat juga jarang dilakukan.
Keempat, korupsi anggaran peningkatan kapasitas. Berdasarkan UU tentang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD), salah satu hak anggota DPRD adalah mengikuti orientasi dan pendalaman tugas, dan wujud kegiatan tersebut dinamakan workshop. Cara memperoleh uang lewat lokakarya antara lain dengan menyelenggarakannya di luar daerah supaya bisa mendapat anggaran perjalanan dinas. Mengingat workshop dilaksanakan oleh pihak ketiga, biasanya anggota DPRD meminta cash back darinya. Besaran cash back yang ditawarkan oleh pihak ketiga akan menentukan pihak ketiga mana yang ditunjuk menyelenggarakan ”proyek” lokakarya.
Dalam satu tahun anggaran, workshop bisa beberapa puluh kali kegiatan, dengan berbagai alasan. Anggota DPRD hasil Pileg 2019, khususnya wajah baru, harus mewaspadai jebakan modus korupsi yang telah melembaga dan volumenya dari satu periode ke periode berikutnya, makin bertambah.
Perlunya Indikator Kinerja DPRD
DPRD sangat perlu menetapkan target untuk meningkatkan kinerjanya. Perlu ada indikator-indikator yang ditetapkan untuk mengukur peran di bidang legislasi, bidang anggaran, dan bidang pengawasan. Dengan ditetapkannya target kinerja ini, akan mudah diukur apakah di akhir jabatannya DPRD berhasil atau melaksanakan targetnya tersebut atau tidak.
Kritik masyarakat kepada DPRD yang cenderung terkesan DPRD tidak optimal dalam melakukan perannya bisa ditepis, jika DPRD berhasil melaksanakan target kinerja tersebut. Oleh sebab itu, dengan adanya penetapan target kinerja, masyarakat juga bisa melakukan evaluasi di akhir tahun sampai seberapa jauh DPRD berhasil melaksanakan capaian kinerja yang sudah ditetapkannya itu. Sebagai contoh, DPRD menetapkan dalam satu tahun 5 perda/tahun. Tetapi, apakah dalam pembahasannya DPRD sudah mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat dalam pembahasan perda tersebut. Jadi, yang dilihat dalam realisasi capaian indikator tersebut bukan aspek kuantitasnya, melainkan peran politik DPRD dalam memengaruhi proses pengambilan kebijakan.
Baca juga:
Demikian halnya beberapa indikator yang lain, seperti penetapan anggaran pendidikan 20%, anggaran kesehatan 10%, komposisi belanja modal harus lebih dari belanja barang dan jasa, terciptanya APBD yang berkualitas, dan sebagainya. Akan berhasil direalisasikan jika DPRD memiliki militansi politik untuk memaksakan target capaian kinerja tersebut. Jika tidak memiliki sikap militansi politik tersebut, peran DPRD hanya bisa dipahami sebagai instrumen politik untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan yang ditawarkan pemerintah daerah. Dengan demikian, kinerja DPRD bukan hanya sebatas melaksanakan fungsi-fungsinya, melainkan secara moral DPRD dituntut menyuarakan apa yang diinginkan rakyat dan juga memiliki kemampuan untuk mengatasi problem sosial yang mereka hadapi.
Kemampuan DPRD untuk memetakan persoalan politik yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi sangat penting bagi DPRD untuk peningkatan kinerja. Jadi, dalam perspektif ini, capaian kinerja DPRD bukan hanya diukur oleh indikator-indikator yang secara kasat mata sudah menjadi agenda rutin DPRD, tetapi juga diukur oleh kemampuan DPRD untuk meminimalisasi terjadinya proses politik yang tersembuyi sehingga mampu menutup ruang terjadinya kepentingan memaksimalisasi keuntungan-keuntungan ekonomis.
Peningkatan kinerja DPRD membutuhkan kondisi politik di internal DPRD yang secara kondusif bisa mendukung terhadap pelaksanaan capaian indikator kinerja DPRD. Tanpa dukungan politik dan kesamaan sikap politik, sulit bagi DPRD untuk melakukan kerja-kerja politik yang optimal.
Keberagamaan partai di DPRD seharusnya tidak menjadi kendala untuk membangun sikap politik yang sama dalam melakukan fungsi kontrol terhadap pemerintah daerah, jika saja sikap politik DPRD itu dibangun oleh kesamaan isu, bukan oleh kepentingan partai. Namun, sering kesamaan sikap politik untuk memperjuangkan kepentingan publik sulit terbangun karena terpengaruh kepentingan-kepetingan yang bersifat pragmatis.
Kondisi internal politik DPRD juga tidak didukung kemampuan untuk melakukan memobilisasi politik dari luar DPRD. Kemampuan Dewan untuk membangun opini di media jarang dilakukan, DPRD juga jarang mengundang stakeholders untuk mendiskursuskan isu yang akan dibahas.
DPRD juga jarang menyatakan sikap politik yang tegas dalam merespons terhadap persoalan-persoalan publik yang berkembang di masyarakat. Padahal peran itu sangat dibutuhkan tidak hanya untuk membangun proses komunikasi politik dengan publik, tetapi juga untuk memperkuat legitimasi publik terhadap peran-peran yang dilakukan DPRD.
Agak pesimis, kualitas anggota DPRD hasil Pileg 2019 bisa makin baik, mengingat biaya politik yang tinggi. Artinya, hasrat untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkan juga makin besar.
Apakah hasrat untuk korupsi juga makin tinggi? Wallahu aílam.
Eko Supriatno, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Hukum dan Sosial UNMA Banten. Ia mengampu berbagai mata kuliah pemerintahan dalam ranah politik seperti Pengantar Ilmu Pemerintahan, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Selain itu, Ia juga memiliki keterkaitan terhadap riset yang berhubungan dengan kajian dan riset di bidang agama dan sosial-budaya.