biem.co – Belakangan ini ruang publik diramaikan oleh wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Wacana ini pertama kali diutarakan oleh Arsul Sani, politisi PPP yang sekarang menjabat salah satu Wakil Ketua MPR yang kabarnya berasal dari aspirasi yang diterima partai Nasdem dalam kerangka diskursus rencana amandemen UUD 1945. Salah satu argumen usulan ini adalah bahwa waktu 10 tahun dianggap tidak cukup bagi Presiden untuk merealisasikan janji dan program kampanyenya.
Gagasan perpanjangan masa jabatan hingga tiga periode sebetulnya bukan hal baru. Setidaknya Ruhut Sitompul (politisi Partai Demokrat) pernah melempar wacana itu ke ruang publik tahun 2010 silam. Tetapi ide Ruhut langsung macet karena tidak ada seorang pun yang merespon positif. Bahkan SBY yang saat itu menjabat Presiden pun menolak dengan tegas. Penolakan juga datang dari Ketua MPR, Taufik Kiemas; Ketua PP Muhammadiyah, Dien Syamsuddin dan berbagai elemen masyarakat sipil, intelektual serta tokoh masyarakat pada waktu itu.
Di tengah concern dan kesibukan berbagai elemen masyarakat mengonsolidasikan demokrasi yang tidak mudah sambil berusaha keras merealisasikan cita-cita reformasi yang masih tertatih-tatih lantaran berbagai kendala, gagasan menambah masa jabatan presiden hingga tiga periode ini ahistori dan pastinya kontra-produktif. Dikatakan ahistori karena seperti lupa atau tidak tahu sejarah mengapa dan bagaimana masa jabatan presiden dibatasi menjadi dua periode saja pasca orde baru. Gagasan ini juga kontra-produktif dilihat dari dinamika demokrasi yang tengah dikonsolidasikan bersama oleh berbagai elemen bangsa.
Mengapa cukup dua periode?
Jauh sebelum amandemen tahun 1999-2000, UUD 1945 tidak membatasi masa jabatan presiden. Teks Pasal 7 mengenai hal ini berbunyi : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Dalam sejarah perpolitikan bangsa narasi konstitusi ini kemudian disalahgunakan oleh Soekarno dengan mengangkat dirinya sebagai Presiden seumur hidup dan Soeharto dengan menyiasati demikian rupa proses pemilihan presiden di MPR hingga ia terpilih sampai 6 (enam) kali.
Pada umumnya para penguasa, termasuk di era modern, yang berkuasa terlalu lama dan tanpa pembatasan berakhir dengan buruk. Demikian pula yang terjadi dan dialami oleh Bung Karno dan Pak Harto, kedua pemimpin bangsa ini berakhir dengan tragis. Bung Karno diberhentikan dengan tidak hormat oleh MPRS dan Pak Harto dipaksa lengser oleh kekuatan rakyat yang disuarakan para mahasiswa, setelah keduanya terjebak dalam model operasi kekuasaan otoritarian akut.
Tragedi politik itulah yang kemudian melatarbelakngi kesepakatan MPR melakukan amandemen terhadap Pasal 7 UUD 1945. Hasil amandemen pertama tahun 1999 mengubah teks Pasal 7 menjadi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Dengan amandemen ini, clear sudah masa jabatan presiden cukup 2 (dua) kali berturut-turut.
Semangat amandemen itu jelas untuk membatasi kekuasaan dengan menetapkan durasi masa jabatan presiden. Mengapa harus dibatasi ? Karena sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan yang terlalu lama dalam kendali seorang penguasa potensial melahirkan berbagai kejahatan politik, ekonomi, hukum bahkan kemanusiaan. Dalam sejarah kepolitikan bangsa ini potensi itu menjadi nyata. Di era Soeharto misalnya yang masih hangat dalam memori kolektif kita, demokrasi dan kebebasan yang sesungguhnya dijamin oleh konstitusi tidak pernah sungguh-sungguh hadir dalam kehidupan politik; pelanggaran HAM terjadi di banyak tempat dan kasus; serta ketimpangan sosial-ekonomi melebar antara lain karena praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan secara masif, sistemik dan terstruktur oleh penguasa.
Baca Juga
Jebakan batman
Nah, saat ini semangat menghadirkan demokrasi yang lebih substantif sekaligus memagari agar tatakelola kekuasaan tidak kebablasan melalui pembatasan masa jabatan presiden diganggu oleh ambisi segelintir elit di partai politik dan parlemen melalui rencana amandemen kembali UUD 1945. Mereka seperti lupa (atau melupakan ?), bahwa bangsa ini pernah mengalami sejarah buruk karena masa jabatan presiden tidak dibatasi.
Dalam kaitan wacana ini Presiden Jokowi sendiri bereaksi negatif. Seperti dilansir banyak media, beliau merespon usulan itu sebagai cari muka yang bahkan bisa menjerumuskan dirinya. Dalam situasi kepolitikan dan dinamika interaksi antar elit yang masih kental diwarnai gejala rent seeking pasca Pilpres silam, upaya-upaya sejenis cari muka ini memang lumrah terjadi. Bagaimanapun setiap partai politik, khususnya yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah tentu akan terus berikhtiar untuk mengambil hati Presiden bagi kepentingan partainya sendiri.
Tetapi lebih dari yang diutarakan Jokowi, gagasan menambah durasi masa jabatan presiden sesugguhnya bahkan bisa menjadi “jebakan batman”, bukan hanya untuk Presiden Jokowi sendiri, melainkan juga bagi bangsa ini. Bangsa ini bisa terjebak kembali pada lubang kecelakaan politik seperti di era orde baru silam meskipun misalnya usulan ini diberlakukan setelah Presiden Jokowi menuntaskan masa tugasnya tahun 2024 yang akan datang.
Karenanya publik harus melawan ambisi, atau anggap saja wacana yang dilempar sebagai test the water oleh segelintir elit itu. Ambisi ini harus dihentikan karena bisa menjerumuskan bangsa ini kedalam jurang kecelakaan politik seperti yang pernah dialami di era orde lama maupun orde baru. Pembatasan 2 kali 5 tahun masa jabatan presiden sudah cukup bijak dan tepat sebagai pilihan kesepakatan politik. Tentu saja, sebagai wacana diskursus opsi gagasan lain masih dimungkinkan asalkan semangatnya sama, yakni pembatasan kekuasaan dan masa jabatan. (red)
Penulis adalah Komisioner KPU Provinsi Banten.