biem.co — Jalan demokrasi tahun 2020 ini, 270 daerah akan melaksanakan pemilihan kepala daerah. Agenda besar nasional perhelatan ini merupakan gelombang keempat Pilkada serentak sejak tahun 2015.
Pilkada, sebagaimana sudah sering dijelaskan para ahlinya, adalah ikhtiar paling strategis untuk mengonsolidasikan demokrasi di aras lokal. Terkonsolidasinya demokrasi lokal bukan hanya bermakna bahwa pemilu berkala dan tertib berlangsung, partisipasi pemilih meningkat, orang boleh mengartikulasikan sikap dan aspirasi politiknya tanpa intimidasi, dan seterusnya.
Lebih dari itu, ia harus dan terutama dimaknai sebagai situasi dimana operasi kekuasaan yang demokratis itu berhasil mewujudkan cita-cita kolektif publik; sejahtera dan berkeadilan, bonnum publicum, kebahagiaan publik.
Di beberapa daerah cita-cita itu mungkin sudah berhasil diwujudkan. Tapi di banyak daerah lain, alih-alih menjadi bahagia, publik justru disuguhi tontonan mengenaskan; saban tahun belasan, bahkan puluhan kepala daerah hasil proses demokrasi elektoral itu justru diseret lembaga anti-rasuah.
Penting untuk selalu diingat, bahwa “demokrasi”, kosa kata yang paling banyak disebut sekaligus menjadi rujukan paling populer ketika bicara soal tata kelola kekuasaan negara itu memang bukan tanpa cacat. Di negeri asalnya sendiri, bahkan sejak era Plato dan Aristoteles, demokrasi sudah dikritik.
Di abad pertengahan, pemikir-pemikir Aristotelian seperti Al Mawardi dan Al Farabi juga menolak demokrasi. Di abad modern, tidak sedikit, lagi-lagi para scholar barat sendiri, telah mengungkap “the dark side of democracy”. Mayoritas yang kemudian hadir menjadi fir’aunic regime, monster predatoris, atau fenomena genocida misalnya, seperti dibeber Michael Mann, kerapkali juga terbangun di atas keyakinan pada demokrasi.
Dalam sejarah elektorasi, pilkada kita memang belum tersiar kabar, bahwa paslon terpilih kemudian berubah perform dari “bersorban atau berpeci haji” menjadi seorang tiran berlumur darah. Tetapi, bahwa pasca dilantik mereka kemudian mengoperasikan kekuasaan di tangannya mirip dengan menjalankan kerajaan bisnis keluarga, sudah terlalu sering kita menyaksikannya.
Di negeri ini, sisi gelap demokrasi memang hadir dalam banyak praktik abuse of power akut lainnya, seperti perilaku para elit oligarkh di puncak kuasa yang berkhianat pada konstituennya sendiri, dan yang nyaris masif, saban waktu terjadi: korupsi, maling!
Sisi Tengah dan Hilir
Lantas apa yang harus dilakukan? Kita sering lupa bahwa proses kepemimpinan, kepemerintahan keseharian (daily governing); bagaimana kekuasaan dioperasikan adalah peristiwa siklis yang berhulu, bertengah dan berhilir.
Pilkada hanyalah sisi hulu dari proses ini, yang keriuhannya kerap membuat kita lupa, bahwa sisi tengah dan sisi hilir Pilkada adalah arena dimana kita seharusnya mengawal, mengontrol bersama dan memastikan kepala daerah terpilih menjalankan amanahnya dengan baik sesuai janjinya dan sesuai harapan konstituen.
Kontestasi Pilkada sering hanya menjadi momentum kepada siapa “cek kosong” untuk berkuasa kita berikan. Nah, “cek kosong” kekuasaan itulah yang kemudian diisi seenaknya oleh para pemimpin yang terpilih. Itulah sebabnya, mengapa pasca pilkada banyak diantara kepala daerah dan/atau wakilnya diseret KPK.
Alih-alih mengalami kemajuan, daerah-daerah justru banyak yang menjadi arena pemerahan berbagai sumber dayanya oleh para pemimpin yang dihasilkan melalui proses demokrasi elektoral ini. Celakanya, fenomena ini juga terjadi secara siklis.
Ada benarnya apa yang diungkap oleh Robert Michels: sekali seorang pemimpin mencapai puncak kuasa, melalui jalan demokrasi tentu saja, maka tak ada sesuatu pun yang dapat dengan mudah menjatuhkannya. Revolusi, mungkin suatu ketika terjadi dalam sejarah dan para tiran diganti, tetapi tiran-tiran baru muncul, dan dunia berjalan seperti sedia kala.
Arus sejarah demokrasi pada akhirnya, seringkali mirip gelombang laut yang saling bergantian. Mereka selalu hancur pada tepian yang sama. Tepian yang sama itu adalah siklus demoralisasi!
Pilkada digagas diatas pondasi nilai-nilai luhur demokrasi, diselenggarakan dengan perangkat regulasi modern yang menempatkan hajat kerakyatan diatas segalanya, namun sebagian output dan outcome politiknya selalu, secara siklis berujung pada situasi akhir kemudian yang sama: daerah tidak bertambah maju, rakyat tidak bertambah sejahtera, sebagian kepala daerah terpilihnya ditangkap KPK.
Lalu, seperti tak ada yang peduli, kehidupan tetap berjalan, lima tahun berlalu, pilkada kembali digelar, dan hasilnya idem ditto.
Mengakhiri siklus demoralisasi
Pilkada atau pemilihan tahun 2020 merupakan gelombang keempat pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Rakyat tentu berharap Pilkada kali ini akan menghasilkan para pemimpin yang jauh lebih baik, berintegritas, kompeten dan visioner.
Pilkada tidak berhenti sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang dianggap cukup ketika secara prosedural sudah dilakukan dengan baik. Pilkada harus menjadi jalan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan memajukan daerah.
Tidak mudah memang, tetapi bukan tidak bisa diikhtiarkan jika semua pihak (pemerintah, penyelenggara, pengawas, peserta, elemen civil society dan tentu saja masyarakat pemilih sendiri) memiliki keinginan, tekad dan komitmen yang sama.
Beberapa isu yang selama ini dianggap menjadi persoalan dalam proses pilkada sekaligus menghambat lahirnya para pemimpin daerah yang unggul, memiliki integritas baik, kompeten, dan visioner harus diakhiri. Misalnya ketidaknetralan pemerintah dan/atau jajaran aparaturnya (termasuk di dalamnya aparat keamanan).
Demikian pula menyangkut ketidakprofesionalan penyelenggara dan pengawas serta jajarannya, termasuk masih ditemukannya sikap dan perilaku unfair terhadap peserta pemilihan dan pemilih.
Tetapi isu yang paling krusial sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hasil riset adalah proses-proses transaksional yang mewabah secara akut mulai dari tahapan kandidasi, kampanye, hingga pemungutan suara.
Problematika ini sulit di akhir karena melibatkan banyak pihak yang saling berkepentingan. Mulai dari partai politik, bakal kandidat dan timsesnya, serta para pemilih sendiri. Fenomena transaksional inilah yang telah memungkinkan figur-figur calon pemimpin daerah yang baik menjadi terhambat, baik di proses kandidasi maupun di tahapan kontestasi memenangi suara rakyat.
Puncak dari gejala transaksional ini adalah politik uang menjelang dan saat-saat hari pencoblosan. Dan sebagaimana ditengarai banyak pihak, para kepala daerah yang kemudian terjerumus dalam kasus korupsi di kemudian hari, sebagian besarnya jika tidak semua, bermula dari perkara transaksional yang sangat mahal ini.
Hemat penulis, jika semua pihak memiliki komitmen dan tekad yang sama untuk mengakhiri perilaku haram transaksional dan turunannya itu, Pemilihan 2020 mestinya dapat mengakhiri siklus demoralisasi. (red)
Penulis adalah Komisioner KPU Provinsi Banten.