biem.co – Meski dianggap masih merupakan cara terbaik untuk mengelola kehidupan bernegara dan masyarakat, setidaknya dibandingkan dengan faham yang tersedia saat ini, demokrasi sesungguhnya juga bukan tanpa cacat, baik dalam praktik maupun asumsi-asumsi yang melandasinya. Salah satu cacat, setidaknya potensi cacat ini pernah diungkapkan Leslie Lipson dalam sebuah tesis menarik lebih dari setengah abad silam (1964). Bahwa sistem demokrasi cenderung menempatkan “orang-orang bodoh” ke dalam tampuk kekuasaan (the leadership of ignorant). Diksi “ignorant” tentu bukan terutama soal aspek kognisi (meski juga tidak sepenuhnya keliru), melainkan lebih ke soal tidak terpenuhinya sejumlah kerakteristik ideal yang dibutuhkan dalam konteks kepemimpinan politik.
Per gramatikal, istilah “ignorant” sendiri memiliki 6 makna semantik, yakni : “Yang tak menyadari; Jahil; Yang tidak tahu; Bebal; Dungu; Jahil; dan Bodoh”. Dalam KBBI versi daring, 4 dari 6 kosakata ini memiliki arti yang saling melengkapi. Mari kita periksa. “Bebal” artinya : sukar mengerti; tidak cepat menanggapi sesuatu; bodoh. “Dungu” artinya : sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh. “Jahil” artinya : bodoh, tidak tahu (terutama tentang ajaran agama). Dan “Bodoh” artinya : tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu, tidak dapat mengerjakan; tidak memiliki pengetahuan (pendidikan dan pengalaman). Dua frasa lainnya : “Yang tidak menyadari” dan “Yang tidak tahu” dengan demikian merupakan “kesimpulan eksistensial” yang pasti akan dialami oleh para ignoran.
Jadi seorang pemimpin yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang dikendalikan para oligarch misalnya, dia ignorant. Gubernur yang tidak lekas mengerti situasi darurat yang sedang dihadapi rakyatnya, dia ignorant. Bupati yang bertindak tidak cerdas dalam merumuskan prioritas kebijakan daerahnya, dia ignoran. Walikota yang lambat merespon problematika yang membebani rakyatnya, dia ignoran. Dan para wakil rakyat yang tidak memiliki derajat pendidikan memadai dan/atau pengetahuan, wawasan dan pengalaman, lalu akibatnya lebih banyak tidak memahami dan tidak mengerti persoalan rakyatnya, lantas karenanya jadi lambat bersikap dan merespon, dapat dipastikan : mereka ignorant!
“Cacat Bawaan” Demokrasi
Lantas mengapa para ignorant bisa naik ke panggung kekuasaan? Pertama, karena demokrasi adalah sistem yang terbuka bagi semua orang, termasuk tentu saja dalam proses rekruitasi para pemimpin dan pejabat politik. Dalam tradisi yang terbuka, demikian ungkap Lispon, para ignorant (bahkan seorang despot sekelas Hitler pun) bisa menjadi penguasa. Di sisi lain, dalam perspektif elit-nya Gaetano Mosca dan Vilfredo Parreto misalnya, ada satu konsepsi dasar bahwa secara alamiah sesungguhnya hanya segelintir manusia yang memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk berkuasa dan memimpin orang banyak.
Kesulitan dilematisnya kemudian, bahwa tidak ada suatu cara atau mekanisme apapun yang bisa diberikan oleh demokrasi untuk bisa mendeteksi dan menseleksi “orang-orang terpilih” yang memiliki pengetahuan, kemampuan serta kepantasan dan kelayakan untuk menjadi penguasa, kecuali melalui jalan elektoral. Sementara itu “hukum besi” demokrasi elektoral adalah bahwa sekali orang terpilih menjadi penguasa dalam suatu pemilihan umum, ia sah sebagai penguasa, meski mungkin integritas dan kapabilitasnya jauh dari memadai, atau moralitasnya jauh dari yang dikehendaki banyak orang. Ambyar dan amburadul. Inilah salah satu problematika, bisa juga disebut sebagai “cacat bawaan” demokrasi. Lipson sendiri menyebutnya sebagai salah satu dilema demokrasi.
Kedua, dalam konteks kepolitikan Indonesia mutakhir, mudahnya para ignorant naik ke panggung kekuasaan tampaknya bersitemali dengan fenomena banalitas politik yang belakangan kian marak. Istilah banalitas ini diilhami oleh tulisan Hannah Arendt, Einchman in Jerussalem: A Report of Banility of Evil yang menjelaskan perihal kejahatan, kekerasan atau perilaku-perilaku amoralitas lainnya yang menjadi atau dianggap biasa dalam masyarakat karena seolah mendapat “dukungan” atau legitimasi sosiologis dan politis. Gejala banalitas politik ini muncul misalnya dalam bentuk permisifitas terhadap perilaku dan kebiasaan partai-partai politik dalam mengedepankan para kandidat pemimpin baik di legislatif maupun eksekutif.
Partai politik terkesan tidak terlalu peduli perihal siapa memiliki track record seperti apa ketika proses kandidasi atau rekruitas politik berlangsung dalam setiap perhelatan elektoral (pemilu maupun pemilihan). Bagi mereka yang penting para bakal kandidat pemimpin ini memiliki kemampuan modal finansial dan logistik untuk dapat memenangi kontestasi. Perkara moralitas dan integritas bisa nomor tujuh atau delapan. Ini kemungkinan salah satu sebabnya mengapa kemudian lahir para pemimpin ignoran di tampuk kekuasaan.
Ketiga, ada satu adagium klasik dalam tradisi demokrasi, bahwa pemimpin yang baik hanya lahir dalam lingkungan konstituen yang baik dan literate secara politik. Selain karena dua faktor tersebut diatas, mudahnya para ignorant manggung di pentas kekuasaan boleh jadi juga karena literasi politik warga yang belum memadai untuk mendorong lahirnya para pemimpin yang ideal. Dan ini terkonfirmasi melalui praktik-praktik money politics yang sulit dihilangkan dalam setiap kali perhelatan elektoral berlangsung. Kita tahu, politik uang adalah fenomena transaksional yang hanya bisa terjadi jika ada dua pihak yang saling bersepakat: pemberi dan penerima.
Jejak para Ignorant
Kembali ke pemikiran Lipson, fenomena maraknya para ignorant di panggung kekuasaan ini baginya merupakan problematika demokrasi, salah satu dilema yang tidak mudah diputus matarantai muasal dan perkembangannya. Dan tanpa bermaksud meng-genarilisir, panggung kepolitikan Indonesia mutakhir tampaknya juga sedang dijangkiti patologi politik ini.
Beberapa indikasinya antara lain diawali dengan fakta, bahwa diantara ratusan kepala daerah dan para kandidat wakil rakyat misalnya, sebagian (jika bukan mayoritas) dari mereka maju ke arena kontestasi dengan lebih mengedepankan kekuatan modal finansial ketimbang rekam jejak kompetensi, kecakapan dan kelayakan pribadinya sebagai calon pemimpin. Fakta ini bisa lebih masif lagi jika satuan contoh analisisnya diperluas ke ranah legislatif, baik di DPR maupun DPRD. Sialnya, kecuali sedikit orang yang literate secara politik, masyarakat juga terkesan “mempersilahkan” mereka hadir dan berkiprah.
Kepemimpinan para ignoran itu banyak terkonfirmasi kemudian melalui antara lain sejumlah jejak faktual, mulai dari lahirnya kebijakan-kebijakan politik yang lebih banyak memihak para oligarch dan tidak berpihak pada kepentingan orang banyak; eksplorasi sumberdaya alam yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan kemerosotan tatananan sosial; alergi akut terhadap kritik, koreksi dan suara-suara publik yang berbeda; dan tentu saja korupsi yang semakin mewabah di berbagai lini dan tingkatan kekuasaan dan jabatan yang dilakukan atau sekurang-kurangnya melibatkan peran-peran mereka.