InspirasiOpini

Menanti Sikap dan Gerakan Oposisi PDI Perjuangan

Oleh : Imron Wasi *)

biem.co – Kehadiran PDI Perjuangan dalam arena politik di Indonesia tidak bisa dinafikan dari munculnya dinamika politik yang terdapat di internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Konflik yang melanda PDI ini tentunya karena elite partai politik ini cenderung saling berebut kekuasaan. Imbasnya, konflik ini mengundang pemerintahan Orde Baru dalam pusaran konflik, termasuk berupaya melakukan intervensi secara politik.

Di samping itu, PDI yang lahir pada 10 Januari 1973 ini sebagai partai politik yang berasal dari kebijakan rezim Orde Baru untuk menjaga stabilitas politik melalui fusi partai politik. Kebijakan rezim Orde Baru berupa fusi partai politik tentunya dalam rangka menjaga kohesi sosial agar tidak terjadi perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan. Hasilnya, sebagian partai politik ada yang bergabung ke aliran politik Islam seperti PPP, dan aliran nasionalis. Partai politik yang ikutserta ke kongsi politik PDI terdiri atas PNI, IPKI, Partai Murba, Parkindo, dan Partai Katolik.

Pada akhirnya, dinamika politik pada internal PDI ini menghasilkan perubahan identitas PDI Perjuangan – sebuah partai politik yang berdiri pada 1 Februari 1999 dan diikuti dengan cara dideklarasikan di Stadion Utama Senayan pada 14 Februari 1999. Secara umum, partai politik berlambang banteng moncong putih ini dalam setiap pemilihan umum selalu menjadi satu partai yang mengusung kadernya pada kontestasi politik, termasuk pada kurun waktu 1999-2024.

Sejarah telah mencatat, bahwa PDIP selalu mengusung kader potensialnya maju dalam gelanggang politik nasional. Teranyar, figur Ganjar Pranowo yang diusung oleh PDIP pada Pemilu 2024. Sebagian besar lembaga survei telah mengeluarkan hasil hitung cepat dan memprediksi pasangan Prabowo-Gibran yang akan terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.

Di tengah hasil hitung cepat tersebut, jika menjadi kenyataan tentunya hal ini akan menjadi babak baru dalam panggung politik nasional. Sebab, realitas politik berbicara bahwa efek elektoral Jokowi terhadap putra sulungnya yang menjadi wakil dari Prabowo tampaknya begitu tinggi. Hal yang semula – efek ekor jas ini akan beralih ke Ganjar. Namun, setelah kasak-kusuk politik disertai dinamika yang riuh, dukungan Jokowi cenderung menuju arah Prabowo-Gibran.

Hal ini yang membuat respons kongsi Ganjar-Mahfud melakukan ‘perlawanan’ terhadap Jokowi. Akibatnya, masyarakat mengikuti pilihan Jokowi. Saat ini, apabila Prabowo-Gibran terpilih, partai politik yang di luar koalisi nomor urut 2 ini diharapkan akan menjadi oposisi pemerintahan, termasuk PDIP. Meski demikian, persepsi sebagai oposisi tidaklah mudah, karena kerapkali tidak mendapatkan tempat yang istimewa.

Kendati demikian, bagi partai berlambang banteng moncong putih ini, menjadi oposisi sangatlah mudah, karena pernah menjadi oposisi selama dua periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Terbaru, elite politik PDIP mengatakan akan menjadi oposisi. Akan tetapi, ungkapan ini perlu diucapkan oleh ketua umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Sebagaimana yang telah ia lakukan saat SBY menjadi presiden.

Tak hanya itu, sikap politik PDIP sebagai oposisi bahkan dilakukan secara tertulis. Dalam arena demokrasi, sangat diperlukan partai politik yang menjadi oposisi untuk mengawasi tata kelola pemerintahan. Jika dikonversikan partai politik yang menjadi oposisi tentunya lebih dominan di luar koalisi pasangan Prabowo-Gibran, apabila merujuk pada hitung cepat raihan suara pemilihan legislatif.

Selama ini, partai politik yang memiliki komitmen oposisi tampaknya PKS. Karena telah menjadi oposisi terhadap pemerintahan Jokowi. Rayuan terhadap kekuasaan sangatlah tinggi, terlebih jika Prabowo-Gibran terpilih ia akan merangkul semua pihak untuk kepentingan stabilitas kekuasaan. Dua periode kepemimpinan Jokowi, partai politik cenderung tidak tahan terhadap rayuan kekuasaan dan lengahnya kontrol dari oposisi membuat kebijakan yang tidak pro-rakyat tetap disahkan, termasuk PDIP.

Bisa saja, PDIP yang dikenal sangat merakyat secara simbolik, tapi elitis terhadap kebijakan. Hal ini yang tampaknya membuat masyarakat juga turut memberikan punishment secara politik. Sikap dan gerakan oposisi PDIP tentunya akan menjadi pembeda di bawah kekuasaan Prabowo-Gibran. Meskipun, Jokowi dan Gibran bagian yang tidak bisa dipisahkan dari PDIP, karena besar oleh partai ini.  Sikap dan gerakan oposisi yang dilakukan PDIP selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono membawa dampak terhadap kemenangan Presiden Jokowi pada 2014 yang lalu. Karena itu, PDIP selalu berbeda perspektif terhadap kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

PDIP sudah memiliki pengalaman luar biasa, termasuk menjadi oposisi. Bahkan, Megawati Soekarnoputri juga bisa melewati semua fase dengan baik, termasuk di tengah intervensi kekuasaan. Menurut hemat penulis, pasangan Prabowo-Gibran akan mencoba menjalin komunikasi dengan PDIP dan partai politik lainnya agar bisa terlibat dalam koalisi. Namun, tidaklah mudah bagi pasangan Prabowo-Gibran untuk mengajak PDIP, karena sikap politik PDIP sudah tercermin dari simbol dan identitas politiknya. (Red)

 

*) Imron Wasi, penulis adalah Peneliti dan Manager Riset dan Advokasi Publik Netfid Indonesia

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button