Oleh Udi Samanhudi
biem.co – Memiliki keterampilan berkomunikasi aktif dalam bahasa Inggris tentu menjadi impian hampir setiap orang. Selain karena statusnya yang bergengsi sebagai bahasa Internasional, bahasa Inggris juga merupakan bahasa ilmu pengetahuan. Beragam informasi terkini dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan umumnya ditulis dalam bahasa kaum Anglo-Saxon ini.
Temuan-temuan penelitian terkini para profesor dari universitas-universitas ternama di dunia, misalnya, diterbitkan di jurnal-jurnal internasional yang notabene berbahasa Inggris. Berbagai jenis buku berkualitas dan informasi-informasi penting terkini yang tersedia online di internet juga mayoritas tersaji dalam lingua franca yang satu ini.
Sangat wajar jika memiliki kemampuan dan keterampilan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis dalam bahasa Inggris menjadi sesuatu yang diusahakan oleh sebagian besar penduduk dunia tak terkecuali kita. Keterampilan berbahasa Inggris yang mumpuni memungkinkan akses yang lebih mudah terhadap berbagai bentuk informasi terbaru dan bahkan akses pertemanan yang juga jauh lebih luas (international contact).
Pertanyaannya adalah, haruskah kita berbahasa Inggris seperti Native Speaker? Banyak ahli bahasa mendorong setiap orang yang belajar bahasa Inggris untuk dapat mencapai tingkat keterampilan berbahasa Inggris layaknya penutur asli (native like proficiency) terutama pada keterampilan berbicara.
Munculnya gerakan seperti English Only Policy yang diterapkan oleh banyak guru-guru bahasa Inggris adalah salah satu bentuk upaya yang dilakukan untuk membiasakan siswa berkomunikasi lisan dalam bahasa Inggris minimal selama kegiatan belajar di dalam kelas berlangsung. Alasannya cukup jelas yaitu siswa diharapkan mampu berbicara bahasa Inggris dengan baik (baca: fasih). Akan tetapi realitas terkadang tak selalu beriringan dengan harapan.
Meski banyak siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan baik, masih banyak kelompok siswa lain yang ternyata dianggap ‘gagal’ untuk mampu berbicara dalam bahasa internasional ini dengan ‘fasih’. Pengalaman saya sebagai pengajar di jurusan Bahasa Inggris di sebuah universitas negeri di Banten pun menghadapi realitas yang kurang lebih sama.
Umumnya, kegagalan sekelompok mahasiswa untuk mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan baik disebabkan oleh rasa percaya diri yang kurang. Penyebabnya, bahasa Inggris yang mereka produksi adalah bahasa Inggris dengan aksen bahasa pertama mereka yang kental (‘local’ English). Dalam banyak kasus, hal semacam ini justru mengundang banyak ‘tawa’ dari kelompok mahasiswa lain yang merasa lebih baik kemampuannya dalam berbahasa Inggris. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah berbicara dalam bahasa Inggris dengan dialek lokal yang kental semacam ini tidak bisa diterima?
Hal menarik dikemukakan oleh Suresh Canagarajah seorang pakar dalam bidang Applied Linguistics dari Departments of Applied Linguistics and English, Pennsylvania State University . Menurutnya bahasa Inggris saat ini sudah tidak seharusnya lagi menjadi hegemoni bangsa-bangsa ‘penutur asli’ seperti Inggris, Amerika, Australia, Kanada dan Selandia Baru (Metropolitant English).
Suresh menegaskan bahwa bahasa Inggris telah bermetamorfosa menjadi sebuah bahasa multinasional yang digunakan oleh komunitas yang beragam di hampir seluruh penjuru dunia (multilingual speakers of English) untuk memenuhi kebutuhan komunikasi mereka. Bahasa Inggris digunakan oleh penutur dari beragam bangsa dan budaya yang jumlahnya bahkan melebihi jumlah para penutur asli bahasa Inggris itu sendiri.
Sehingga, wajar jika ditemukan banyak variasi bahasa Inggris (world Englishes) yang sama sekali tidak merujuk pada British maupun American English. Berkembangnya istilah Indian English, Sri Lankan English dan yang sangat populer, Singaporian English dengah partikel lah-nya. Fenomena tersebut adalah contoh penerimaan terhadap variasi bahasa Inggris yang lekat dengan konteks sosiokultural masyarakatnya.
Ke depan, sangat memungkinkan ketiga contoh variasi bahasa Inggris ini menduduki status yang sama seperti halnya British English dan American English yang sampai saat ini masih menjadi rujukan ‘bahasa Inggris standar’ terutama dalam konteks akademik (sekolah dan universitas). Keberterimaan terhadap berbagai jenis varian bahasa Inggris ini adalah sebuah realitas yang menggambarkan bahasa Inggris sebagai bahasa global seperti yang dikemukakan oleh Crystal yang sangat populer dengan bukunya ‘ English as a Global Language’.
Apa yang dikemukakan oleh Suresh Canagarajah tentang keberagaman bahasa Inggris di atas adalah apa yang saya juga temui langsung di tempat para penutur asli bahasa Inggris yaitu Inggris Raya di mana saat ini saya tengah menempuh studi lanjut. Mendengarkan bahasa Inggris orang-orang London jauh lebih mudah untuk dipahami jika dibandingkan dengan bahasa Inggris di Irlandia Utara.
Selain variasi kosakata, aksen juga sangat menunjukkan perbedaan yang nyata meski mereka sama-sama bagian dari Inggris Raya. Hal serupa juga saya temukan pada rekan-rekan mahasiswa internasional lain yang datang dari berbagai negara lengkap dengan bahasa Inggris mereka yang juga tak kalah ‘asing’ di telinga saya.
Seorang teman dari Afrika yang kebetulan satu ruangan (office) dengan saya adalah teman internasional yang paling sulit bahasa Inggris-nya untuk saya pahami saat ia berbicara. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa ibu yang kuat melekat dalam bahasa Inggris-nya. Pun seorang teman dari Korea yang percaya diri dengan bahasa Inggris-nya meski jika didengar bahasa Inggris-nya hampir mirip dengan dialek bahasa Koreanya saat ia berbiacara.
Sejauh ini, saya berkesimpulan bahwa bahasa Inggris yang baik adalah bahasa Inggris yang dapat dipahami dan bukan bahasa Inggris yang harus persis sama dengan aksen para penutur asli terutama dalam konteks komunikasi lisan.
Meskipun untuk diaplikasikan dalam konteks akademik masih cukup sulit dan membutuhkan proses yang lama. Untuk memenuhi kebutuhan berbahasa Inggris dalam konteks non akademik, seperti dalam percakapan sehari-hari atau percakapan untuk kepentingan bisnis, setidaknya pandangan Suresh di atas memberikan angin segar. Bahwa, interferensi bahasa ibu (aksen) dalam bahasa Inggris yang kita gunakan adalah hal yang sepatutnya berterima.
Untuk guru, pandangan ini juga memberikan kita ruang untuk lebih mengapresiasi siswa yang kebetulan berbahasa Inggris dengan cita rasa ‘lokal’. Jadi, mengatakan kalimat seperti “aduh, bahasa Inggris saya masih ‘Indonesia’ banget”, sudah sepantasnya kita cek ulang ya. Sepakat?
Udi Samanhudi adalah Akademisi Untirta, Awardee Beasiswa LPDP program Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) Kemenkeu RI dan saat ini tengah menempuh studi doktoral dalam bidang Teaching of English for Speakers of Other Languages and Applied Linguistics, Queen’s University of Belfast, United Kingdom. Koordinator Bidang Pendidikan PPI Belfast, UK.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.