Opini

Ade Jahran: Problematika Menyongsong Pemilu 2024

biem.co – Pemilihan Umum (Pemilu) di negara kita dilaksanakan tiap lima tahun sekali. Pemilu sebagai sarana menyalurkan aspirasi warga dalam memilih pemimpin dijamin oleh UUD 1945. Dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Setiap warga Negara Indonesia yang sudah memenuhi syarat hanya memiliki satu suara dalam pemilu. Siapapun itu orangnya, baik profesor, doktor, pengusaha, pejabat, tukang becak, petani, pedagang dan lainnya. Agamanya apapun juga tetap hanya memiliki satu suara. Tidak bisa satu orang memiliki suara lebih dari satu suara. Bila ada yang mencoblos menyalurkan suaranya dua kali saat pemilu maka ini merupakan tindak pidana, sesuai dengan Pasal 533 UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi “setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara mengaku dirinya sebagai orang lain/atau memberikan suaranya lebih dari satu kali di TPS atau lebih, dipidana denga pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan dan denda paling banyak Rp 18 juta.”

Pada Pemilu 2019, kita punya pengalaman yang sebelumnya belum pernah dilakukan, terutama terkait surat suara yang mencapai lima lembar, yakni surat suara pilpres, pemilihan DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kelima surat suara itu harus dicoblos oleh pemilih. Tentu bukan perkara gampang adanya lima surat suara itu, terlebih masalnya bagi orangtua yang sudah lanjut usia, sehingga tak heran waktu pencoblosan memakan waktu cukup lama. Belum lagi proses penghitungan yang sampai dini hari. Akibatnya banyak penyelenggara di tingkat adhoc yang sakit bahkan meninggal dunia. Kerumitan dan faktor psikologis dan kondisi badan yang kurang fit menjadi salah satu penyebab tumbangnya penyelenggara pemilu baik KPU maupun bawaslu.

Nah, lalu bagaimana menyongsong Pemilu 2024 yang juga serentak antara pemilu dan pilkada?

Tentu bukan perkara mudah untuk melaksanakan hajatan besar ini. Indonesia yang dinilai sebagai negara paling demokratis, tentu memiliki sejumlah permasalahan seperti yang disebutkan di atas, misalnya kerumitan, SDM, waktu, dan anggaran, teknis lainnya.

Sebelum ada kesepakatan keserentakan pemilu dan pilkada dalam tahun yang sama, sejumlah pegiat demokrasi, termasuk penyelengara pemilu menginginkan agar pelaksanaan pemilu dan pilkada itu dipisah. Misalnya untuk pilkada tetap dilaksanakan pada 2022 dan pemilu tahun 2024. Ini bertujuan untuk mengurangi beban kerja penyelenggara pemilu dan pemerintah yang dinilai terlalu menumpuk baik di tahapan hingga pelaksanaan dan evaluasi. Namun pada akhirnya pemerintah, penyelenggara pemilu dan DPR menyepakati bahwa perencanaan waktu pencoblosan pemilu pada 28 Februari 2024 dan pilkada pada 27 November 2024.

Dengan kesepakatan tersebut maka penyelenggara pemilu sebagai ujung tombak pelaksanaan harus siap dan mampu menyelenggarakan hajatan demokrasi tersebut di tengah pandemi Covid-19 ini. Tentu KPU dan Bawaslu punya pengalaman yang mumpuni dalam pelaksanaannya. Berbagai upaya tentu akan dilakukan, misalnya penyederhanaan surat suara juga teknologi informasi saat penghitungan. Ini baru wacana tetapi patut menjadi perhatian semua pihak.

Beberapa persoalan berdasarkan pengalaman 2019 terkait SDM di tingkat adhoc, juga usia petugas di KPPS, termasuk periodesasi anggota KPU. Ini menjadi persoalan tersendiri sehingga rekapitulasi perolehan suara cukup lama. Hal-hal seperti ini perlu disederhanakan dengan cara menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang selanjutnya diatur lebih rinci lagi di Peraturan KPU.

Hal yang krusial selanjutnya adalah periodesasi anggota KPU dan KPU di daerah. Pada pemilu 2019, beberapa KPU daerah menjabat atau dilantik hanya beberapa bulan sebelum pencoblosan. Bahkan ada yang hanya hitungan minggu jelang hari H. Tentu ini kurang efektif karena kurangnya adaptasi yang memadai. Menyikapi persoalan tersebut maka ada usulan atau wacana untuk memperpanjang periodesasi anggota KPU, namun lagi-lagi ini baru sebatas wacana dan belum final. Apakah disetujui atau tidak? Ya kita lihat saja perkembangan beberapa waktu ke depan.

Juga persoalan penghitungan perolehan suara wacananya akan disederhanakan dengan menggunakan teknologi informasi yang canggih, sehingga tidak banyak persoalan di tingkat KPPS. Memperpendek waktu untuk mengetahui perolehan suara. Itu semua sedang digodok di KPU pusat dan nantinya mudah-mudahan bisa diterapkan di pemilu 2024.

Pemilu 2019 dan pilkada 2020 tentu jauh berbeda kondisinya baik dari segi logistik, kerumitan, tahapan dan lainnya dibandingkan nanti dengan pemilu 2024. Proses pilkada 2020 berjalan dengan lancar di tengah pandemi meski sebelumnya sempat dikhawatirkan. Kemudahan lainnya adalah di pilkada 2020 surat suara yang tidak banyak yaitu hanya satu surat suara saja. Sehingga tidak banyak insiden bagi penyelenggara. Tetapi sekali lagi pemilu 2024 yang tetap dengan lima surat suara jenjang pemilihan dan dilanjutkan dengan dua surat suara jenjang pemilihan kepala daerah, memiliki kerumitan tersendiri.

Persoalan anggaran juga sangat penting. Pemerintah pusat maupun daerah dan semua pihak harus memahami bahwa biaya demokasi untuk menghasilkan pemimpin itu sangat mahal. Tetapi bila pemilu tanpa biaya juga tidak akan berjalan dengan baik. Tentu pencermatan anggaran untuk penghematan sangat dibutuhkan, namun sekali lagi tidak menghambat semua proses tahapan. Jadi semua pihak harus memahaminya.

Dari segi SDM. KPU dan jajaran di bawahnya sudah terbiasa merekrut petugas adhoc mulai PPK, PPS hingga KPPS. Pasukan ini yang menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada mendatang haruslah yang memiliki integritas tinggi dan komitmen yang kuat untuk menyelenggarakan pemilu yang baik. Saat ini honor bagi petugas adhoc sudah dinaikkan sehingga diharapkan akan menunjang kinerja mereka.

Menghadapi semua persoalan tersebut, tentu KPU dan penyelenggara pemilu sudah siap dengan segala risiko yang ada. Paling tidak menyiapkan payung hukum agar proses tahapan, pelaksanaan, hingga evaluasi berjalan dengan lancar dan aman, yang ujung-ujungnya hak warga negara tidak terabaikan dalam menyalurkan suaranya. Ini inti dari demokrasi menjamin hak konstitusional warga terjaga.

KPU memiliki pengalaman yang cukup lama. Setiap gelaran hajatan demokrasi selalu ada perbaikan untuk kualitas demokrasi. Tentu kesuksesan setiap hajatan tidak hanya ditentukan oleh semata-mata penyelenggara pemilu, tetapi semua pihak saling mendukung baik TNI, Polri, media massa, pemerintah, LSM, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemuda, partai poltik, perguruan tinggi, sekolah, dan lainnya. Semua harus bersatupadu dalam mensukseskan pemilu 2024 mendatang. Saling membahu, bukan saling menyerang dan menyalahkan satu lembaga dengan lembaga lainnya. Kekompakan semua pihak dengan niat untuk mensukses pemilu 2024 sangat diharapkan dan didambakan oleh kita semua. Semoga.

_______________________

Ade Jahran, Ketua KPU Kota Serang

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button