InspirasiOpini

Firman Firdaus Nuzula: Ranub, Dari Simbol Adat Hingga Makna dalam Ilmu Psikologi

Oleh Firman Firdaus Nuzula

biem.co – Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai keanekaragaman budaya, seperti tarian, kuliner, destinasi wisata, adat budaya dan hukum yang berlaku di daerah tersebut. Pasca terjadinya konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan bencana tsunami tahun 2004 silam, membuat Aceh menjadi salah satu provinsi yang memiliki sejarah  panjang dan cerita yang pelik untuk dikenang. Namun dengan kegigihan masyarakatnya, Aceh saat ini berkembang pesat menjadi provinsi yang dikenal nusantara.

Selain itu, Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang memiliki otonomi khusus untuk melaksanakan peraturan daerah yang berbasis syariat Islam. Tatanan sosial dan adat budaya di Aceh menjadikan masyarakat Aceh gigih, kuat dan memiliki ciri khas dari masyarakat lainnya di Indonesia. Dengan sejarah, adat dan budaya yang unik, saat ini Aceh dikenal oleh dunia, sehingga saat ini Provinsi Aceh menjadi salah satu destinasi wilayah yang menarik untuk dikunjungi.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Salah satu ciri khas dari adat Aceh adalah penggunaan ranub dalam berbagai prosesi penting di Aceh. Penggunaan ranub mempunyai makna yang dalam bagi masyarakat Aceh. Ranub (sirih) merupakan salah satu rempah yang tumbuh di indonesia dimana mempunyai manfaat bagi kesehatan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sirih (ranub) adalah tumbuhan yang merambat di pohon lain, daunnya terasa pedas, biasa dimakan bersama dengan pinang, kapur, gambir sebagai makanan yang mencandu, penguat gigi dan sebagainya. Namun dalam adat Aceh, penggunaan ranub bukan hanya sekadar rempah yang menyehatkan bagi tubuh, melainkan mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat Aceh.

Sejarah Ranub Aceh

Tradisi makan ranub dalam budaya Aceh merupakan warisan budaya masa silam, lebih dari 300 tahun lalu atau di zaman Neolitik. Pada zaman dahulu, orangtua kita mempunyai tradisi “makan ranub” atau “menyirih”. Konon tradisi makan ranub ini dibawa oleh rumpun bangsa Melayu 500 SM ke beberapa negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Tradisi mengunyah ranub dengan biji pinang, gambir dan sedikit kapur, diyakini mampu memperkuat cengkraman gusi terhadap gigi.

Penggunaan ranub di Aceh dapat ditelusuri dari kajian naskah kuno kitab “Mujarabat”. Dalam kitab Mujarabat yang telah dialihaksarakan, ranub dan pinang disebutkan secara bekali-kali sebagai bahan ramuan obat-obatan. Pada masa kesultanan Aceh, ranub memainkan peranan penting bukan hanya sebagai bahan konsumsi semata, tetapi juga digunakan dalam upacara-upacara besar sultan.

Falsafah Ranub

Dalam perkembangannya, ranub juga memiliki peranan penting dalam sistem daur hidup (life cycle) masyarakat Aceh. Ranub seolah menjadi makanan atau hantaran wajib. Pemaknaan yang diberikan masyarakat Aceh terhadap ranub ternyata tidak tunggal. Ada banyak makna sosial dan kultural yang terkandung dari ranub.

Pemaknaan yang beragam tersebut terjadi karena ranub dalam kehidupan masyarakat Aceh digunakan dalam banyak cara dan aktivitas, sehingga makna yang terkandung akan menjadi berlainan. Makna ranub yang terknadung dalam beberapa prosesi ialah:

1. Pada saat upacara antar mengaji. Sudah menjadi suatu keharusan dalam masyarakat Aceh bahwa setiap anak yang akan diantar mengaji pertama kali, anak tersebut akan dipeusijuk dan dibekali bawaan yang akan dipersembahkan kepada teungku yang mengajarkan diantaranya adalah ranub seuseupuh (ranub seikat) dan beberapa barang lain seperti buleukat kuneng (nasi ketan kuning), manok panggang (ayamg panggang) hingga enam hasta ija puteh (enam hasta kain putih).

2. Pada upacara pernikahan. Tepatnya pada saat kedua belah pihak keluarga mempelai menyepakati tanggal dilaksanakan pernikahan, pihak calon pengantin laki-laki akan mendatangi rumah pihak calon pengantin perempuan dengan membawa ranub kong haba (sirih penguat kata) sebagai lambang penjanjian kawin (bertunangan).

3. Pada saat menjelang persalinan, keluarga calon bayi akan mendatangi bidan yang nantinya akan menangani kelahiran sang bayi. Kedatangan ini disebut dengan peunulang yang artinya menyerahkan hidup dan mati sang ibu dan calon bayi kepada bidan. Peunulang dilaksanakan dengan membawa beberapa hantaran diantaranya ranub setepak (bahan-bahan ranub), pakaian sesalin dan uang ala kadarnya.

4. Ranub sebagai simbol pemuliaan tamu. Hal ini sangat jelas terlihat baik dalam kesenian (Tari Ranub Lam Puan) maupun berbagai jamuan ranub yang ditunjukan kepada tamu, besan dan juga orang-orang yang dihormati. Pemulia wareh ranub lampuan, memuliakan tamu dengan ranub. Demikian makna utama dari penyajian ranub kepada tamu.

5. Ranub sebagai simbol perdamaian dan kehangatan sosial. Hal ini tergambar ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, upacara peusijukmeu-uroh dan upacara lainnya. Ranub melambangkan sifat dan watak para peserta musyawarah yang dijiwai oleh semangat setia kawan, setia sekata, hidup rukun dan damai, sapeu kheun ngon buet (satu kata dengan perbuatan).

6. Ranub sebagai media komunikasi sosial. Dalam hal ini ranub sering diungkapkan dengan istilah ranub sigapu yang berati sebagai pembuka komunikasi. Makna ranub secara simbolik adalah sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu pembicaraan. Ranub adalah lambang formalitas dalam interaksi masyarakat Aceh. Setiap acara dimulai dengan menghadirkan ranub dan kelengkapannya.

Peranan Ranub dalam Pernikahan

Pengertian ranub lampuan di sini bermakna suatu proses seremoni, atau suatu acara yang mengundang teman, ahli famili dan saudara sekampung. Undangan dengan memakai ranub akan terkait dengan upacara pernikahan dan perkawinan pada masyarakat Aceh.

Di suku Aceh, perkawinan adalah suatu kegiatan hidup manusia yang sakral. Perkawinan adalah tidak hanya melibatkan linto baro (pengantin pria) dan dara baro (pengantin perempuan), tetapi juga semua ahli famili terlibat dalam proses perkawinan tersebut. Juga untuk menjajaki calon linto dan dara baro, masing-masing pihak menunjuk perantara yang disebut seulangke. Menurut Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), proses pemanfaatan ranub dalam prosesi pernikahan dan perkawinan di Aceh adalah:

  1. Ranub Bate

Ranub bate adalah ranub yang dibawa oleh seulangke calon linto baro kerumah calon dara baro untuk menyelidiki status calon dara baro. Apakah calon dara baro telah mempunyai calon linto baro (calon pengantin pria). Juga sambil meneliti posisi dan keberadaan calon dara baro dilingkungan masyarakat setempat. Dalam adat perkawinan Aceh, tahapan ini disebut dengan Ba Ranup.

Sambil mengunyah ranub, seulangke pihak calon linto baro berkomunikasi dengan pihak calon dara baro. Dalam meneliti keberadaan dara baro ini biasanya seulangke didampingi satu atau dua orang pendamping dari pihak linto baro.

Demikian juga halnya pihak dara baro akan menunjuk seulangke calon dara baro untuk meneliti dan mengetahui keberadaan keluarga dan pasangan calon linto baro. Setelah kedua belah pihak setuju, maka akan diberikan/disampaikan informasi penerimaan lamaran tersebut.

2. Ranub Kong Haba (Ranub Putu Mayang)

Ranub kong haba dibawa oleh seulangke beserta rombongan kerumah calon dara baro untuk meminang calon dara baro, atau kata lainnya Jak ba Tanda. Maksud dari jak ba tanda adalah memperkuat (tanda jadi). Berbagai istilah digunakan untuk upacara ini antara lain untuk meminang (tunangan) yang disebut “intat tanda” atau tanda kong haba “peukong haba” atau “intat ranub tanda kong haba”.

Dilangsungkan upacara ini yaitu dengan penyerahan sirih “ranub” bersusun, pinang celop sebagai simbol tunangan, macam-macam bahan makanan kaleng, telur rebus berwarna-warni, seperangkat pakaian yang dinamakan lapek tanda dan perhiasan dari emas sesuai dengan kemampuan calon linto baro yang ditempatkan di dalam “talam/dalong” yang dihias sedemikian rupa.

Di Aceh, sirih yang dijadikan simbol ikatan janji tunangan dan perjanjian itu wajib dipatuhi secara bersungguh-sungguh oleh kedua belah pihak. Bagi yang melanggarnya akan mendapat sanksi adat. Sebegitu jauh belum dijumpai syara’ata yang dapat menerangkan sejak kapan orang Aceh menggunakan sirih sebagai simbol pertunangan.

Seulangke dan beberapa orang tua gampong mendatangi rumah pihak wanita yang dituju untuk melaksanakan tanda kong haba. Selain membawa hadiah pertunangan sebagai tanda kong haba, mereka juga membawa satu dalong (baki) yang berisi ranub dong atau sirih berdiri lengkap dengan ramuan yang dipakai untuk makan sirih, seperti pinang, gambir, kapur, bunga lawing (cengkeh). Dikatakan ranub dong karena disusun tegak lurus dalam sebuah dalong (talam) atau tafsi yang bulat, bagian tengahnya terdapat kayu tegak lurus.

Ranub dong dan tanda ikatan kong haba yang berupa emas atau benda berharga lainnya ditempatkan didepan Keuchik, Teungku. Kemudian diserahkan ranub kong haba sebagai symbol pengesahan janji yang dibuat untuk kemudian ditaati oleh kedua belah pihak secara bersungguh-sungguh.

Dalam pertemuan ini, disepakati: Jeuname (mas kawin); waktu yang baik untuk ghatib (menikah) dan mempleue (bersanding); dan hal-hal lain yang dirasa perlu dan berkaitan dengan pelaksanaan pernikahan dan perkawinan seperti berapa orang yang mengantar linto baro (intat linto) kerumah dara baro.

Makna Ranub di Acara Pernikahan dalam Persepektif  Psikologi

Kaitan antara kegiatan membawa ranub ke acara lamaran dan pernikahan baik intat dara baro maupun intat linto baro yaitu berdasarkan pada Teori Segitiga Cinta (The Triangular Theory of Love) Sternberg. Sternberg (dalam Sternberg dan Barnes, 1988) mengemukakan teori segitiga cinta adalah bahwa cinta memiliki tiga bentuk utama (tiga komponen), yaitu: keintiman (intimacy), gairah (passion), dan keputusan atau komitmen (decision/commitment).

Kegiatan membawa ranub ini berfokus pada komitmen, komitmen itu adalah komponen keputusan atau komitmen dari cinta mengandung dua aspek, yang pertama adalah aspek jangka pendek dan yang kedua adalah aspek jangka panjang. Aspek jangka pendek adalah keputusan untuk mencintai seseorang. Sedangkan aspek jangka panjang adalah komitmen untuk menjaga cinta itu.

Komitmen sendiri adalah suatu ketetapan seseorang untuk bertahan bersama sesuatu atau seseorang sampai akhir. Kedua aspek tersebut tidak harus terjadi secara bersamaan, dan bukan berarti bila kita memutuskan untuk mencintai seseorang juga berarti kita bersedia untuk memelihara hubungan tersebut, misalnya pada pasangan yang hidup bersama atau sebaliknya, bisa saja kita bersedia untuk terikat (komit) namun tidak mencintai seseorang.

Komponen ini sangat diperlukan untuk melewati masa-masa sulit. komitmen berinteraksi dengan intimacy dan passion. Untuk sebagian orang, komitmen ini merupakan kombinasi dari intimacy dan timbulnya passion, bisa saja intimacy dan passion timbul setelah adanya komitmen, misalnya perkawinan yang diatur (perjodohan).

Keintiman dan komitmen nampak relatif stabil dalam hubungan dekat, sementara gairah atau nafsu cenderung relatif tidak stabil dan dapat berfluktuasi tanpa dapat diterka. Dalam hubungan romantis jangka pendek, nafsu cenderung lebih berperan. Sebaliknya, dalam hubungan romantis jangka panjang, keintiman dan komitmen harus memainkan peranan yang lebih besar (Sternberg, dalam Strernberg & Barnes, 1988).

Ketiga komponen yang telah disebutkan di atas haruslah seimbang untuk dapat menghasilkan hubungan cinta yang memuaskan dan bertahan lama. (red)


Firman Firdaus Nuzula, Mahasiswa Psikologi Universitas Syiah Kuala. Wakil Presiden Mahasiswa Unsyiah periode 2018-2019.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button