Oleh: Udi Samanhudi
Disadari atau tidak, pola komunikasi masyarakat global saat ini cenderung lebih banyak bersifat transaksional. Salah satu ciri khas dari pola komunikasi ini adalah adanya upaya untuk meyakinkan salah satu pihak untuk kemudian sekedar, misalnya, meyakini gagasan yang disampaikan atau merealisasikannya dalam bentuk aksi nyata. Keterampilan persuasif, yaitu keterampilan untuk menata ide dengan baik dan membujuk sekaligus meyakinkan pihak komunikan yang kita ajak berdialog, kemudian menjadi sangat penting untuk dikuasai oleh setiap dari kita tak terkecuali saya sebagai bagian dari masyarakat dunia saat ini.
Tulisan singkat dan ringan ini sebetulnya dilatabelakangi oleh pengalaman pribadi saya berinteraksi dengan anak-anak muda terbaik dari Indonesia maupun negara-negara lain di dunia yang kebetulan tengah menempuh studi tingkat undergraduate, master maupun doktoral di salah satu universitas di benua Eropa. Satu pengalaman menarik yang saya coba urai dalam tulisan ini adalah cara mereka berwacana lisan.
Dari pengamatan saya, bagi mereka berwacana lisan adalah sebuah perayaan kebebasan berpendapat dan berargumen akan sebuah isu. Agar mampu menjadi seorang pelaku percakapan yang komunikatif dan persuasif, tak jarang saya menemukan rentetan argumen yang terbangun apik dengan dukungan alasan dan bukti-bukti yang coba mereka tata sedemikian hingga agar mampu meyakinkan rekan cakapnya yang lain (termasuk saya). Yang juga tak kalah penting adalah ekspresi wajah lengkap dengan sorot mata yang tajam saat berpendapat seolah menegaskan citra diri mereka sebagai pemuda milik dunia yang cerdas dan percaya diri.
Yang tak kalah menarik, meski dalam percakapan yang sangat tidak formal (saya menyebutnya ‘friend to friend talk’) mereka seringkali menstrukturkan ide-ide yang akan mereka jabarkan selama percakapan berlangsung. Ekspresi seperti ‘my first idea is ….’ ‘my second idea would be …’ menjadi sebuah pembuka wacana lisan yang akan mereka sajikan selama percakapan dengan saya. Maka tak jarang, otak saya bekerja untuk dua hal: mencerna isi percakapan dan mengingat bagaimana isi percakapan itu disajikan untuk kemudian saya coba terapkan dalam gaya berwacana lisan saya di kemudian hari. Tak ayal saya menjadi sangat terobsesi untuk juga memiliki kemampuan berwacana seperti apa yang teman-teman muda saya tunjukan dan contohkan dengan gamblang pada saya ini.
Cerita singkat saya di atas mengajarkan pentingnya keterampilan berwacana lisan yang persuasif bagi kita sebagai bentuk adjustment atau penyesuaian diri kita dengan tuntutan budaya (komunikasi) global. Dipungkiri atau tidak, budaya ‘tepo saliro’ yang telah lama menjadi slogan tangguh dalam menjaga harmonisasi hubungan dengan orang lain pada sebagian masyarakat kita telah banyak dimaknai sebagai sebuah ‘larangan’ akan wacana-wacana persuasif yang konon berasal dari tradisi berpikir dan gaya berkomunikasi barat. Sehingga, banyak dari kita yang terjebak pada pola komunikasi yang cenderung menerima sebuah ide tanpa mencoba untuk meng-‘counter’ atau menegasikan gagasan yang disampaikan oleh orang lain. Alhasil kita menjadi sasaran empuk bagi pihak lain dari latar belakang budaya yang lebih persuasif untuk memaksakan ide-ide mereka terhadap kita. Hal ini tentu juga berlaku dalam lingkup yang lebih makro seperti dalam konteks negosiasi para pejabat negara kita dengan pihak asing dimana komunikasi persuasif ini menjadi senjata ampuh untuk benar-benar memastikan bahwa negara kita tidak dirugikan dikemudian hari hanya karena ketidakmumpunian para petinggi bangsa ini bernegosiasi dengan cara yang ‘persuasif’ di meja-meja perundingan kerjasama antar bangsa.
Tulisan singkat ini akan saya tutup dengan cerita singkat keinginan seorang teman asal negeri jiran mengajar di sebuah universitas berlabel internasional di Jakarta. Dengan kemampuan di atas rata-rata pada bidang leadership in education yang telah lama ia geluti dan ia dalami melalui program master di universitas dimana saat ini saya belajar, teman saya ini adalah seseorang dengan keterampilan berwacana lisan yang sangat mumpuni dan keterampilan bernarasi yang apik dan sangat persuasif. Jika proses seleksi di univeritas yang ia tuju tersebut dilakukan secara objektif dan tanpa mengandung unsur SARA, saya yakin, teman lintas benua saya ini akan menjadi salah satu rival terberat bagi anak muda Indonesia lain yang kebetulan menaruh harap yang sama untuk bisa berkarya di salah satu kampus ‘internasional’ terbaik di ibu kota ini. Alasannya cukup jelas, keterampilan berwacana persuasif menjadi bagian penting dalam paketan keahlian teman saya ini sehingga sangat memungkinkan untuknya sukses di meja wawancara. Dan, sampai tulisan ini lahir, sayapun masih bergulat untuk betul-betul memahami wacana persuasif dan berupaya menjadi seseorang dengan kemampuan berwacana persuasif yang juga baik dan mumpuni. Bagaimana dengan Anda?