OpiniReview

‘Voice’ Muhammad Iqbal: Gombal Calon Pemimpin

Oleh Muhammad Iqbal

 

biem.co – “Hobi kamu nyapu, ya? Soalnya kamu sudah menyapu bersih semua cewek di hatiku, sehingga yang tersisa cuma kamu seorang.”

 

“Cita-citaku dulu pengin jadi dokter. Tapi setelah ketemu sama kamu berubah jadi pengin membahagiakan kamu aja.”

 

Uh, gombal!

 

Kita orang Indonesia, menerjemahkan gombal sebagai ungkapan atas sesuatu yang tidak berguna atau tidak berarti, dalam bahasa Inggris, artinya hampir sama dengan kata shit atau bullshit.

 

Baca juga: 'Voice' Muhammad Iqbal: Melawan Korupsi dari Ruang Kelas

 

Kata-kata gombal sering digunakan oleh seseorang (biasanya pria) untuk merayu, menggoda, dan atau mencari perhatian oarng lain terutama lawan jenis. Namun, saat sekarang ini juga banyak digunakan hanya untuk hiburan atau juga merayu masyarakat secara umum.

 

Fenomena menjelang pilkada Banten 2017 mendatang, tidak jarang kita mendengar gombal-gombal politik yang diungkapkan oleh bakal calon gubernur, bupati, hingga wali kota. Sebagian dari nama-nama yang tengah mencuat di bursa pencalonan semakin intens mengemas gombalnya dalam bentuk program-program politik yang dikemas dan disampaikan melalui bahasa-bahasa yang dipoles sampai manis. Seperti pendidikan gratis, pelayanan kesehatan yang baik, dan mungkin pembangunan infrastruktur dijadikan bumbu agar gombalannya terasa semakin mantap di lidah saat dibaca. Tentu masih banyak lagi gombal-gombal politik sebagai stategi untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat.

 

Inilah tradisi klasik yang mewarisi sistem demokrasi kita dewasa ini. Identik dengan janji-janji politik seperti gombalnya seorang jomblo yang sedang mencari pasangan.

 

Tentu sangat kecewa ketika janji-janji politik tak pernah ditepati. Entah memang terlalu banyak atau terlalu mudah memberi janji, sehingga membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang hukum berdosa bagi pemimpin yang tidak menepati janjinya saat kampanye.

 

Karena, menurut kesepakatan ulama MUI dalam acara ijtima Komisi Fatwa MUI V di Tegal pada 7-10 Juni 2015, fatwa ini berlaku bagi pemimpin dan calon pemimpin publik, baik itu di legislatif, yudikatif, maupun eksekutif.

 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, termasuk seorang yang sangat mengapresiasi keluarnya fatwa dari MUI terkait pemimpin ingkar janji. Pemimpin semacam itu memang seharusnya untuk dimakzulkan. Tetapi hal itu belum dapat dilakukan karena tidak ada landasan hukum yang jelas terkait impeachment.

Terlebih, MK saat ini tidak dapat mengadili seorang pemimpin yang ingkar janji jika tidak ada yang mendakwa, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat atau lembaga legislatif. Sehingga, dirinya berharap adanya dasar hukum yang akan mendorong para pemimpin untuk menunaikan janji-janji manisnya saat kampanye. Sehingga, program-program yang ditawarkan kepada publik saat kampanye tidak menjadi sekadar janji palsu atau lip service semata. Lantas bagaimana seharusnya seorang pemimpin?

 

Seorang pemimpin sejati tidak akan pernah ingkar janji, baik pada janji yang diucapkannya secara sadar kala menerima amanah jabatan (pelantikan) lebih-lebih janji yang dilontarkan kepada rakyat secara langsung lewat lisannya sendiri.

 

Nilai utama seorang manusia terletak pada konsistensinya menepati janji (jujur). Jika tidak, ia terkategori sebagai seorang munafik, yaitu suatu karakter yang melekat pada diri seseorang yang memang tidak punya komitmen untuk menepati janji.

 

Ibn Khaldun dalam kitab monumentalnya, Muqaddimah, menyatakan bahwa salah satu sebab utama yang membuat pemimpin berubah menjadi pribadi munafik adalah kala mendapat kekayaan. Umumnya akan bergaya hidup megah, mewah, dan penuh keindahan.

 

Ibarat kata, rakyat kepanasan, macet, lapar, makan apa adanya. Pemimpinnya tidak pernah kegerahan, lancar dalam perjalanan, kenyang dengan makanan lezat dan mahal, serta tidak pernah berpikir mau makan apa tetapi makan dimana.

 

Hal-hal sederhana inilah sebenarnya yang membuat seorang pemimpin gagal menepati janji.

 

Menurut Ibn Khaldun, dampak dari gaya hidup mewah dapat merusak kepribadian, karena menghiasi jiwa dengan berbagai kejahatan, kebiasaan hidup yang tidak teratur, dan berbagai dampak buruk lainnya.

 

Selanjutnya, pemimpin yang bergelimang kemewahan akan terperangkap pada kemalasan. Akibatnya akan muncul kelemahan jiwa dan tidak bersemangat dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi. Lebih-lebih dalam menghadapi masalah-masalah krusial di masyarakat.

 

Dengan demikian, agar terhindar dari kemunafikan, seorang pemimpin mestinya sudah tidak lagi memelihara impian untuk hidup dengan bergelimang kekayaan. Pemimpin seharusnya berpikir bagaimana berkarya dan bekerja untuk rakyatnya. Karena dengan itulah ia benar-benar akan bisa memberikan manfaat bagi kehidupan.

 

Belajarlah pada apa yang dilakukan sahabat Nabi, mereka tidak hina hanya karena hidup sederhana. Justru sebaliknya, setiap zaman memuja dan memuliakan mereka, membanggakan mereka, menyebut-nyebut mereka. Bukan tunggangannya, pakaiannya, dan makanannya, tetapi kesederhanaannya dan kepeduliannya yang nyata terhadap derita rakyatnya.

 

Mereka tidak sibuk membangun citra, tetapi memperbanyak kerja nyata. Umar bin Khattab, seorang pemimpin tertinggi yang tidak melewati malam harinya, melainkan berpatroli mencari rakyatnya yang kesulitan, lalu ia turun tangan dan mengatasinya dengan kekuatan dirinya.

 

Semua itu dilakukan karena rasa tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin. Menariknya, meski Umar tidak pernah membayar media massa sebagai alat pencitraan, kemuliaan beliau yang mau bekerja secara nyata untuk rakyatnya ini tak pernah terhapus oleh pergiliran zaman.

 

Dengan demikian, untuk apa jadi pemimpin jika niatnya tidak ingin menepati janji? Seperti janji dan gombalnya seorang jomblo ketika sedang sibuk mencari pasangan. [*]


Pemimpin Gombal biem

Muhammad Iqbal, kader HMI Komisariat Unsera & Jamaah Pakupatan

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button