Cerpen

Cerpen Wahyu Rusnanto: Meracik Hujan

Sahabat saya Retno,

Ketika menulis surat ini, saya sedang berada di sebuah kafe di sekitaran kampus tempat saya belajar. Langit sedang mendung-mendungnya hari ini, tapi entah mengapa awan yang bergerombol menghitam-legam itu tak juga menurunkan hujan. Hanya semilir yang sesekali berembus, menerpa dan menggoyangkan daun-daun. Ya, Retno, tidak tahu mengapa saya sangat menikmati langit mendung hari ini.  Saya sedang duduk di sebuah bangku di luar kafe, dengan sebuah meja yang di atasnya terdapat secangkir kopi dan asbak tempat rokok yang sedari tadi saya hisap mengepul-ngepul. Saya tidak ingin untuk beranjak ke dalam kafe. Sebab, saya berkeyakinan bahwa meskipun di atas sana mendung terus berarak dan menggerombol, namun hujan tidak akan turun dengan cepat. Hujan itu seperti sedang menunggu rampungnya surat yang sedang saya tulis untukmu. Bagaimana kabarmu, sahabatku? Saya harap kau selalu dalam lindungan Tuhan dan kesehatan selalu menyertaimu. Maafkan, apabila datangnya surat ini tidak didahului kabar dari saya. Saya berharap sekiranya surat ini tidak mengganggu kesibukanmu.

Ah, entah dari mana saya harus memulai. Rasanya banyak sekali yang ingin saya sampaikan kepadamu, dan semuanya berkecamuk di dalam kepala. Baiklah, begini, kau pasti kaget mengetahui bahwa saya sekarang senang menghisap rokok. Sebenarnya, kebiasaan saya yang baru ini, berawal dari kekecewaan saya kepada seorang perempuan. Haha, saya tahu, pasti kau berpikir ini sangat konyol, melakukan kebiasaan buruk hanya karena seorang perempuan. Ah, saya pun tak mengerti, mengapa dampak dari perempuan ini teramat besar. Tidakkah kau penasaran akan dia, sahabatku? Saya harap kau tidak mudah bosan, karena memang ditulisnya surat ini untukmu karena saya ingin menceritakan tentang perempuan itu. Perempuan yang telah merenggut segenap pengharapan saya, perempuan yang telah menjatuhkan saya pada kedalaman paling kelam, paling malam.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Kau mesti tahu, Retno. Awalnya semua baik-baik saja. Saya masih merasakan bunga-bunga menyemak di seruang dada saya dan terus bertumbuh. Benar, Retno, saya masih sangat mengingat awal pertemuan saya dengannya. Ketika itu, setahun yang lalu, saya menjadi panitia di kegiatan orientasi Jurusan. Awal pertama saya melihatnya ketika kami berkunjung ke Taman Ismail Marzuki untuk melakukan kunjungan keilmuan, ketika itu dia berjalan dengan kedua temannya. Ah, saya tak pernah lupa hari itu, ketika ia mengenakan kaos hitam panjang dengan celana jeans serta kerudung berwarna krem. Apabila kau bersamaku saat itu, kau dapat melihat matanya.  matanya yang sejernih embun pagi itu tak pernah bosan saya pandangi, jernih mata itu seringkali  saya tawan apabila ia dekat dengan saya. Dan bola matanya yang menunjukkan kedalaman, saya sangat yakin, selamanya kedalaman itu tidak akan pernah selesai saya selami. Saya langsung jatuh hati detik itu juga, Retno. Semua yang ada pada dirinya seperti membuat saya takluk, dan menarik saya untuk ada di kehidupannya, setidaknya membuat saya tak tahan apabila harus jauh darinya.

Namanya Gita, setelah hari itu saya mencoba untuk mencari tahu tentang dia. Tak sulit memang, karena dia satu jurusan dengan saya, dan sebagai kakak tingkat kesempatan untuk saya mendekatinya memang besar. Maka, setelah beberapa hari saya mengetahui juga beberapa hal tentang dia. Bahwa dia adalah anak sulung dari tiga bersaudara yang tinggal di sebuah tempat yang tak jauh dari laut. Bakatnya adalah melukis, ya, dia sangat pandai melukis dan setelah saya melihat lukisannya, saya semakin jatuh hati padanya. Namun, ketika itu saya mengetahui pula bahwa dia sudah memiliki kekasih bernama Rian. Remuk hati saya mendengar hal itu, saya insaf dan menyadari, tak mungkin kiranya saya masuk ke kehidupan mereka berdua. Meski saya sangat menyukainya, tapi memulai hubungan dengan menghancurkan sebuah hubungan adalah hal yang tidak benar.

Sampai suatu saat, saya mendengar mereka telah berpisah karena suatu hal. Dan itu membuat hati saya kembali berharap. Setelah sebelumnya, saya dan Gita jalan berdua. Benar, Retno, kami jalan berdua di naungan langit malam. Ketika itu, kami bertemu di acara ulang tahun kampus kami, dan setelah acaranya selesai ia hendak pergi ke indekos temannya yang kebetulan dekat dengan kontrakan saya. Kau mesti tahu, saya sangat gembira ketika itu, rasanya seperti mimpi berjalan bersandingan dengannya. Saya dapat puas menatap wajahnya yang seanggun senja atau bulu matanya yang lentik seperti nyiur kelapa yang melambai-lambai menyapa saya. Dan tentu saja, saya tidak akan pernah melupakan harum tubuhnya. Malam itu, meskipun singkat kami membicarakan banyak hal, ia berkata bahwa sebenarnya ia ingin marah kepada saya karena telah mendekati temannya secara bersamaan dan saya tidak berkata banyak selain menjelaskan bahwa ia hanya salah paham dan saya tidak bermaksud begitu. Duh, seandainya saja ia tahu bahwa yang saya nanti-nantikan adalah dirinya. Bahwa yang selalu saya telusuri dan bayangkan di seruang hati saya adalah wajahnya.

Setelah malam itu dan setelah ia berpisah dengan kekasihnya. Saya dan Gita semakin dekat, kami jadi lebih sering bertukar kabar atau berbasa-basi di chat. Dan tentu saja, tarikan pesonanya kepada saya semakin kencang, semakin meyakinkan diri saya bahwa kepada dialah hati saya mesti pulang. Ketika itu, sebuah kegiatan yang diadakan organisasi kami membuat saya dengannya semakin lekat-erat. Membuat saya tak tahan apabila sedetik saja jauh darinya, membuat saya semakin sering menatap matanya dan mencoba mengirimkan kerinduan yang selalu saja menyiksa dada saya. Perasaan itu menjadi candu bagi saya, dan ketika malam menjelang saya selalu ingin cepat tidur agar esok kembali datang dan saya dapat kembali menawan tatapannya. Maka, perasaan yang semakin hari semakin besar dan saya tak yakin apakah dapat membendungnya itu, saya ungkapkan juga kepadanya. Saya katakan, bahwa saya telah mencintainya dan ingin berbagi kebahagian dengannya, ingin sekadar membagikan sesak rindu yang selalu saya rasakan di seruang dada, seruang jiwa. Ia termenung ketika itu, dan mengatakan bahwa ini terlalu cepat dan belum bisa menerima perasaan saya. Saya pun mengerti dan berkata bahwa saya akan sabar menunggu.

Kami pun menjalani hari-hari seperti biasa. Setiap bertemu, saya selalu bercanda dengan terus mengatakan, “maukah kau menjadi kekasih saya?”. Hingga, mungkin akhirnya ia bosan, maka ia pun menerima saya menjadi kekasihnya. 19 Desember, saya masih ingat hari itu, hari di mana saya menjadi salah satu orang paling berbahagia. Merasa menjadi manusia paling beruntung di dunia. Ah, saya belum pernah mendengar kata paling merdu selain kata yang ia ucapkan pada hari itu. Maka, setelah itu kau dapat membayangkan Retno, bagaimana saya dan dia—atau mungkin hanya saya—melewati hari-hari yang penuh suka cita. Meskipun saya pun tak memungkiri bahwa sesekali ada saja angin yang menerpa hubungan kami. Namun, saya sebisa mungkin menahan amarah, dan saya sebisa mungkin tak menyakiti hatinya dengan kata-kata kasar atau bentakan. Karena, saya sangat menyayanginya, lelaki macam apa yang berani membentak perempuannya. Dan, saya pun mencoba untuk tidak melarangnya sedemikian rupa, agar ia merasa tidak terkekang dengan menjalin hubungan dengan saya.

Retno, saya mengalami hal-hal yang indah ketika itu. Bagaimana ia memperlakukan saya, saya sangat menyukainya. Dari semuanya, saya sangat menyukai ketika ia memperbolehkan saya, untuk menempelkan pipi saya di perutnya. Saya sangat merindukannya, merindukan kehangatan yang sebelah wajah saya rasakan, apalagi setelahnya ketika saya menatap wajahnya, bola matanya—yang sepertinya tak akan pernah dapat kuselami itu—memandang mata saya, dan seperti menujahkan berjuta-juta benih cinta ke dalam bola mata saya. Menebarkan dan menyiramnya di ladang-ladang hati saya.

Gita sangat mengerti saya, Retno. Saya dapat merasakan sayang ia berikan kepada saya sebesar sayang yang kuberikan padanya. Pernah, suatu hari demam menyerang saya. Ketika itu, rasanya panas membakar tubuh saya, namun anehnya badan saya tak henti-hentinya menggigil, tak peduli saya telah memakain berlapis kaos dan juga jaket. Maka, hari itu ia pun datang, dan merawat saya tak kenal lelah. Mengompres dahi saya, menyuapi saya dengan bubur, membantu saya minum obat, dan setia menunggu di samping tempat tidur saya sembari sesekali menempelkan telapak tangannya pada dahi saya, berharap panas tubuh saya segera turun. Ah, saya bersumpah Retno, saya sangat menyayanginya dan berjanji tak akan menyakiti hatinya.

Banyak perlakuannya yang menyenangkan hati saya. Seperti ketika ia menyuapi saya dengan tangannya, ah manis jemarinya tak kalah dengan manis jemari ibu saya. Saya tak absen memandang lekat matanya ketika tangannya menuju mulut saya, yang setelah itu ia akan berkata, “Gak usah liat-liat, nanti suka, loh.”. Duh, wajahnya yang lucu itu selalu tersimpan di jiwa saya, ia akan menjadi prasasti dan tidak akan pernah bosan saya pandangi. Selain itu, saya menyukai ketika ia memeluk saya dari belakang sembari mencium pundak saya ketika saya memboncengnya menggunakan sepeda motor. Ah, kecupan itu selembut kelopak bunga mawar, lekas membekas di dada saya. Kami melewati, hari-hari dengan penuh warna, Retno. Pada hari ulang tahunku, ia memberikan tiga buah dua buah pakaian dan sepasang sepatu untukku, yang selamanya akan menjadi hadiah paling berharga. Gita pulalah yang membuat semangat belajar saya bangkit setelah sebelumnya terpuruk. Semuanya begitu indah dan terasa akan seperti itu dalam waktu yang lama.

Sampai suatu hari, ketika libur perkuliahan telah tiba dan saya pulang ke kampung halaman, ia berubah, Retno. Sikapnya tak lagi seperti dahulu. Pesan yang kukirimkan padanya, ia balas dengan singkat dan seperti ogah-ogahan. Katanya, ia tidak bisa selalu membalas pesan dari saya setiap waktu. Tapi, saya tetap selalu mengiriminya pesan, sekadar meringankan beban rindu yang saya rasakan ketika saya jauh darinya. Namun, semakin hari perubahan sikap itu semakin kentara. Saya tidak mau berpraduga, saya pikir, mungkin jarak yang menjadi penyebab mengapa ia begini. Maka, saya pun memajukan hari kepulangan saya ke rantau dan mengumpulkan uang untuk perjalanan. Berharap, setelah pertemuan, kerinduan akan menebar dan kebahagian akan menyemak kembali di seruang dada kami. Namun, Retno, setelah saya kembali ke perantauan, tidak ada yang berubah. Malah, saya mendengar kicauan-kicauan buruk tentang dia, yang membuat dada saya panas dan ingin membuncah. Saya tak ingin menyakiti hatinya dengan menujahkan bermacam tuduhan kepadanya atau menanyakan perkataan orang-orang tentangnya. Maka saya pun hanya diam dan berharap semua kicauan itu tidaklah benar.

Tapi, semuanya semakin tak karuan. Kami menjadi sering bertengkar karena hal-hal yang sepele. Saya dengannya, telah beberapa kali berpisah dan kembali lagi. Saya pikir, setelah perpisahan yang terakhir semuanya akan menjadi lebih baik. Namun, dugaan saya keliru, kecurigaan saya kepadanya semakin besar. Dan pada hari itu mencapai puncaknya, ketika saya tak sengaja menemukan sebuah pesan di ponselnya yang ditujukan kepada lelaki lain, ia memanggil lelaki itu dengan sebutan “mas”, yang terasa ganjil bagi saya. Maka saya pun menanyakan hal ini kepadanya, dan ia berkata bahwa itu bukanlah sesuatu yang penting baginya. Bahwa lelaki itu hanyalah temannya di sebuah komuGitas. Tapi, saya tak begitu saja percaya dan tanpa pikir panjang meretas ponselnya. Retno, apa yang saya temukan di ponselnya mungkin tak akan kau percayai. Ternyata, selama ini ia menjalani hubungan dengan lelaki itu di belakang saya. Saya membaca pesan-pesan mereka yang sangat mesra, kata kangen, sayang, cinta saya temukan di dalamnya. Pesan-pesan itu membuat saya muak, dan membuat hati saya terbakar. Maka, dengan kemarahan yang meluap-luap saya pun mengirimkan pesan kepadanya bahwa saya sudah tahu semuanya dan ingin hubungan saya dengan dia diakhiri. Awalnya ia tidak mau, dan ingin saya menarik kata-kata saya kembali. Tapi, saya yang ketika itu dikuasai amarah tidak berpikir jernih dan tak memperdulikan kata-kata darinya.

Retno, saya menyesali perkataan saya yang terlanjur termuntahkan. Saya pun berpikir kembali, mengapa saya tidak berpikir jernih dan membicarakan hal ini dengan baik-baik. Namun, semuanya sudah terlanjur, kata-kata tak mungkin ditarik kembali. Maka, saya pun menangis setelahnya, ya, saya menangis dan tak malu mengakuinya. Mengutuk betapa kejamnya dia mengkhianati kesetiaan saya dan mencemooh bodohnya saya yang begitu gampangnya melepas dia. Butuh waktu berminggu-minggu agar persedian air mata saya mengering dan tak mengalir lagi. Hingga saya yakin, luka yang saya rasakan di hati saya telah berkarat dan tak terasa lagi.

Namun, dugaan saya kembali salah, Retno. Nyatanya, tak mudah menghilangkan ia di pikiran saya. Wajahnya selalu saja membayang dipandangan saya. Dan bukannya hilang, kerinduan saya kepadanya semakin besar. Saya sangat merindukannya, merindukan suapan tangannya di mulut, kecupan di pundak, tatapan matanya, bahkan saya merindukan segala omelannya apabila saya tidak masuk kuliah. Bagaimana saya menghilangkan semua ini? Setiap malam, saya melihat fotonya yang masih saya simpan di komputer saya. Saya pun masih sering memimpikan ia. Bahkan di beberapa malam, saya melewati kontrakannya, sekadar mengenang kebersamaan saya dengannya di rumah itu. Ah, sebegitu besarkah perasaan saya, sehingga ia tak mau pergi dari pikiran saya. Terkadang saya bertanya pada diri sendiri, apakah ia selalu memikirkan saya seperti saya yang selalu memikirkan ia? Dan pertanyaan itu terus membuat dada saya sesak.

Retno, itulah yang saya rasakan hari ini. Kerinduan yang tak berbalas. Saya harap kau tidak bosan membaca surat ini. Tapi, yang mesti kau tahu adalah isi surat ini semuanya tentang kejujuran. Bagaimana hancurnya hidup saya setelah ia tak lagi ada. Bagaimana tersiksanya saya menanggung cinta. Mungkin, kau akan berkata bahwa saya melebih-lebihkan, tapi memang begitulah keadaannya. Namun, bagaimanapun memilikinya adalah anugerah dan kebahagiaan yang tak kunjung berkesudahan. Saya merasa beruntung pernah menjalani hari-hari bersamanya, berbagi keluh dan  juga air mata, dan merasakan cinta yang teramat sangat melalui jari-jemari juga tatapannya. Ah, entah sampai kapan saya akan terus seperti ini, sepertinya luka saya yang kali ini akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengering. Dan cinta saya kepadanya tidak akan pernah hilang.

Retno, saya tak meminta balasan untuk surat ini, saya hanya membutuhkan teman yang sekiranya dapat berbagi kesukaran yang sekarang sedang dirasakan hati saya. Mungkin, cukup sekian surat dari saya, sahabatku. Sekiranya kau dapat memaklumi keadaan di hati saya. Seperti yang saya katakan, di sini hujan tak juga mau turun. Mereka menunggu saya untuk merampungkan surat ini. Maka sahabatku, setelah ini saya akan masuk ke dalam kafe dan diam untuk merenungi hujan, hujan di luar dan hujan di hati saya.

Sahabatmu, Gus

Tentang Penulis

Wahyu Rusnanto adalah seorang penulis kelahiran Cirebon, 10 Februari 1995. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan tinggi di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Untirta, Banten. Ia berkegiatan di UKM Belistra FKIP Untirta.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button